Kamis, 01 Maret 2018

Pembelian Gabah Lesu dan Nasib Petani

Pembelian Gabah Lesu dan Nasib Petani
M Husein Sawit  ;   Pendiri House of Rice
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2018



                                                           
Harga gabah di petani telah mendekati angka Rp 4.000/kilogram gabah kering panen (GKP). Padahal, biaya produksi per kilogram (kg) GKP sekitar Rp 4.300/kg.

Penurunan harga terjadi karena dua hal. Pertama, petani sedang memasuki panen raya, puncaknya berlangsung awal Maret hingga Mei. Kedua, penggilingan padi (PP), terutama pengusaha penggilingan padi besar (PPB) enggan membeli gabah dan menyetok gabah/beras seadanya atau sangat berkurang dari normal. Mereka “takut”. Bagaimana kira-kira nasib petani pada musim panen raya ini, apakah mungkin harga GKP melorot ke Rp 3.700/kg?

Pemerintah tampaknya sangat berkeinginan menurunkan harga beras. Pemerintah berkeyakinan mahalnya harga beras karena biaya distribusi tinggi serta “permainan” harga yang dilakukan pengusaha PPB yang merangkap sebagai pedagang beras.  Bukan karena kekurangan produksi atau biaya produksi gabah/beras yang tinggi.

Harga beras juga dikerangkeng dengan ketetapan harga eceran tertinggi (HET), baik beras kualitas medium maupun premium. Pada wilayah produsen utama, HET beras berdasarkan kualitas ditetapkan masing-masing Rp 9.450 dan Rp 12.800/kg. HET sama tingginya sepanjang tahun seperti HET obat, tanpa mengindahkan tingkat produksi dan harga gabah yang mengikuti panen menurut musim. Harga gabah umumnya rendah pada musim panen raya, meningkat di musim panen gadu, tinggi saat musim paceklik.

Menjelang panen raya, harga gabah di tingkat petani terus merosot tajam, terutama di wilayah produsen utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat ini GKP sudah sampai kisaran Rp 4.200-Rp 4.500/kg, turun sekitar Rp 1.000/kg dibanding beberapa minggu sebelumnya.

Harga gabah  berpotensi terus turun. Kalau harga GKP mencapai Rp 3.700/kg seperti diinginkan pemerintah, petani pasti merugi, tak mampu menutupi ongkos produksi. Sekiranya Bulog mampu secara luas membeli gabah dengan menambah insentif harga di atas HPP yaitu maksimum 20 persen sesuai kebijakan fleksibilitas harga, maka harga GKP paling tinggi dibeli Bulog Rp 4.440/kg.

Kalau itu dapat terwujud, petani akan memperoleh keuntungan sangat tipis, hanya Rp 140/kg, tidak sepadan dengan risiko dan jerih payahnya.
Selama ini diyakini, harga GKP yang layak buat petani sekitar 30 persen di atas biaya produksi atau Rp 5.600/kg. Pada musim panen raya ini, hampir tidak mungkin petani memperoleh harga sebaik itu.

Instrumen non-pasar

Pemerintah menempuh instrumen “non-pasar” dalam menstabilkan harga beras dan pengadaan gabah/beras Bulog dengan mengerahkan Satgas Pangan dan tim Sergab. Para pelaku usaha trauma dengan “tindakan” Satgas Pangan yang dimotori polisi dan tim Sergap dengan mengerahkan TNI. Berbagai protes pun muncul.

Di Pinrang, Sulawesi Selatan, petani berunjuk rasa di kantor DPRD 
setempat memprotes operasi Satgas Pangan yang melarang mereka menjual gabah ke luar kabupaten dan pengusaha swasta. Mereka “dipaksa” menjual gabah ke Bulog padahal harga gabah/beras pembelian Bulog jauh di bawah harga pasar. Di Sragen, Jawa Tengah, petani juga dilarang menjual gabah ke PPB tanpa surat izin/rekomendasi dari tiga institusi (Dinas Ketahanan Pangan, Kantor Dinas Perdagangan dan Kantor Dinas Pertanian. Diberitakan ribuan petani demo.

PPB hingga kini masih trauma dalam membeli dan menyimpan gabah/beras. Banyak di antara mereka mengurangi bahkan berhenti membeli gabah di musim panen raya. Beberapa dari mereka beralih menyerap beras asalan, beras kualitas rendah dengan butir patah sekitar 35 persen, derajat sosoh sekitar 80 persen dari penggilingan padi kecil (PPK). Beras itu kemudian  diolah ulang menjadi beras premium oleh PPB.

Pembelian gabah petani bertumpu pada PPK dan Bulog. Daya serap gabah PPK terbatas pada musim panen raya, bukan saja karena sulitnya perolehan modal kerja, tetapi infrastruktur PPK lemah. Mereka tak punya pengering mekanis, tanpa tempat penyimpanan gabah memadai, apalagi dalam bentuk silo. Beberapa minggu terakhir, PPK juga mengurangi pembelian gabah karena harga gabah/beras terus turun dan perkembangan harganya tidak menentu serta berisiko rugi.

Bulog menjadi satu-satunya tumpuan penyerapan gabah/beras petani. Tantangannya, mampukah Bulog menyerap 2,5 juta ton setara beras di musim panen raya ini dalam situasi volume cadangan beras pemerintah (CBP) rendah, sekitar 300.000 ton dan tanpa program Rastra. Tanpa penyerapan Bulog dan penggilingan padi dalam jumlah yang memadai, harga gabah akan terpuruk dan berlangsung pada waktu yang lama.

Dalam kaitan itu, pemerintah perlu mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, pemerintah sebaiknya tak menggiring tujuan kebijakan beras nasional untuk menurunkan inflasi pangan sebagai tujuan sentral.  Peran Satgas Pangan dan tim Sergab perlu ditinjau ulang, karena merusak peran pasar serta membuat pelaku usaha takut dan trauma.  Hal itu berdampak pada daya serap gabah petani dan merosotnya harga gabah.

Kedua, penetapan HET relatif efektif di pasar formal/swalayan yang berasnya disuplai PPB. Namun, jumlah dan merek beras kemasan kian sedikit yang diperdagangkan. Sebaliknya, di pasar tradisional dan warung di mana banyak masyarakat umum berbelanja, harga beras jauh di atas HET. Oleh karena itu, penetapan HET baiknya ditata kembali berdasar hasil riset yang komprehensif. Kalau pasar beras dipahami keliru, keliru pula resep untuk mengobatinya seperti sekarang.

Ketiga, pengadaan dalam negeri Bulog harus menyerap 2,5 juta ton setara beras  pada musim panen raya ini. Tanpa itu, kejatuhan harga gabah akan lebih parah dan meluas, serta terjadi dalam waktu lebih lama. Kalau Bulog tak berhasil, jangan pula Bulog yang disalahkan. Sebaiknya pemerintah mengevaluasi kebijakan beras dan instrumen kebijakan serta asumsi dasar yang digunakan. Mudah-mudahan Indonesia masih menganut ekonomi pasar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar