"Trump
Effect" dan Ekonomi Indonesia
Sunarsip; Ekonom, The Indonesia Economic Intelligence
|
REPUBLIKA, 23 Januari 2017
Pada
20 Januari lalu, Amerika Serikat (AS) telah memiliki presiden baru, presiden
ke-45, Donald Trump. Sejumlah analis swasta menempatkan kemenangan Trump
("Trump Effect") ini sebagai faktor penting dalam analisis mereka
terkait dengan outlook perekonomian suatu negara. Belum lama ini, misalnya,
kita dihebohkan dengan hasil riset sebuah bank di luar negeri yang memberikan
penilaian negatif (namun tak lama kemudian direvisi) terhadap outlook
investasi surat berharga di Indonesia, juga gara-gara "Trump
Effect".
Donald
Trump dalam kampanyenya memang banyak melontarkan gagasan yang dinilai oleh
sejumlah kalangan sebagai kontroversial. Salah satunya adalah sikapnya
terhadap perdagangan bebas yang kemudian dinilai sebagai kembalinya era
proteksionisme. Trump, misalnya, menolak kerja sama Trans-Pacific Partnership
(TPP). Trump juga memperlihatkan gagasan yang 'kurang bersahabat' dengan
Tiongkok dan Meksiko, seperti terlihat dari keinginannya untuk memberlakukan
tarif impor sebesar 35 hingga 45 persen untuk barang-barang dari Tiongkok dan
Meksiko.
Dalam
perspektif saya, gagasan Trump (di bidang ekonomi) sebenarnya hanya terlihat
'kontroversial' dalam isu hubungan kerja sama perdagangan AS dengan luar
negeri, itupun hanya terhadap beberapa negara saja, seperti Tiongkok.
Selebihnya, gagasan Trump terkait hubungan kerja sama perdagangan AS dengan
luar negeri terlihat netral. Sementara itu, gagasan Trump terkait dengan
isu-isu ekonomi dalam negerinya justru terlihat positif.
Di
bidang perpajakan, misalnya, Trump akan melakukan pemotongan pajak (tax cuts)
bagi kalangan berpenghasilan tinggi dan perusahaan dari 35 persen menjadi 15
persen serta melakukan pengampunan pajak (tax amnesty). Pajak tambahan
investasi juga akan dihapus. Salah satu alasan kebijakan tax cuts ini akan
diambil adalah karena menurut Trump, tarif pajak di AS terlalu tinggi
sehingga banyak perusahaan yang keluar dari AS. Trump bahkan menyebut
kebijakan tax cuts yang diambilnya akan menjadi yang terbesar sejak Ronald
Reagan.
Trump
tampaknya menyadari bahwa kebijakan tax cuts ini akan mendorong kenaikan
defisit fiskal (APBN) AS. Oleh karena itu, Trump pun menyiapkan jurusnya
untuk mengurangi terjadinya kenaikan defisit fiskal yaitu dengan dengan
mengompensasi sekitar 75 persen turunnya penerimaan negara akibat tax cuts
tersebut dengan pemotongan anggaran (sisi pengeluaran). Meskipun sisi
pengeluaran negara akan dipangkas, namun Trump akan mendorong belanja
pemerintah terutama belanja infrastruktur. Dengan konfigurasi kebijakan
fiskal seperti ini, terlihat bahwa Trump ingin sekali mengandalkan sisi
investasi (terutama swasta) sebagai pendorong pertumbuhan ekonominya, cocok dengan
karakter Trump yang juga merupakan pengusaha sekaligus kapitalis sejati.
Saya
menilai bahwa memang berlebihan bila "Trump Effect" ditempatkan
sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menilai perekonomian suatu
negara. AS memang masih menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di
dunia. Namun, dengan melihat konfigurasi gagasan Trump tersebut sebenarnya
Trump masih memperlihatkan gagasan yang seimbang: korektif terhadap kebijakan
perdagangan luar negerinya namun suportif terhadap kebijakan ekonomi dalam
negeri. Kebijakan korektif pun terlihat masih dalam batas-batas yang wajar,
terutama terhadap Tiongkok, karena memang selama ini neraca perdagangan AS
defisit dengan Tiongkok.
Rencana
Trump yang akan menghentikan TPP sebenarnya juga menguntungkan bagi
Indonesia. Seperti kita ketahui, Indonesia belum terlibat dalam kerjasama TPP
ini, dan baru di masa Presiden Joko Widodo, Indonesia menyatakan minat untuk
bergabung dengan TPP. Salah satu pertimbangan Indonesia ingin masuk TPP
adalah adanya kekhawatiran bahwa TPP ini akan menyulitkan barang-barang
ekspor kita masuk ke pasar AS. AS, misalnya, diperkirakan akan lebih
mengutamakan produk tekstil dari negara anggota TPP seperti Vietnam dan
Malaysia dibanding tekstil dari Indonesia. Nah, bila nanti AS mundur dari
TPP, tentunya ini kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat kerjasama
bilateral dengan AS.
Kebijakan
reformasi perdagangan Trump (bila direalisasikan) diperkirakan akan
memberikan dampak langsung bagi Tiongkok, Meksiko, dan Kanada. Ini mengingat,
ketiga negara tersebut menguasai hampir 50 persen pangsa impor AS. Sedangkan
bagi Indonesia, gagasan Trump tidak akan memberikan dampak yang bersifat
langsung, tetapi kemungkinan ada dampak tidak langsung (second round effect)
dari Tiongkok jika tidak ada pengalihan pasar ekspor Tiongkok dari AS.
Itupun
dengan catatan bahwa Trump akan betul-betul 'menutup pintu' bagi perdagangan
dengan Tiongkok, dan itu sebenarnya sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi
mengingat Trump juga memiliki relasi perdagangan dan bisnis dengan pebisnis
Tiongkok. Trump juga pastinya akan melindungi kepentingan pengusaha-pengusaha
AS yang telah menanamkan investasinya di Tiongkok. Dengan kata lain,
sebenarnya 'Trump Effect' ini relatif netral bagi perekonomian Indonesia.
Dalam
konteks Indonesia, adalah kurang tepat bila "Trump Effect" menjadi
faktor utama dalam menentukan outlook investasi (terutama di pasar keuangan)
Indonesia. Terlebih bila menempatkan outlook investasi Indonesia lebih rendah
dibanding negara-negara yang secara fundamental lebih buruk dibanding
Indonesia. Sebagai misal, indikator rasio utang pemerintah Indonesia terhadap
PDB, lebih baik dibanding Turki, Philipina, Thailand, Afrika Selatan,
Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia, India, dan Vietnam. Indikator utang
pemerintah Indonesia per kapita juga lebih baik dibanding Rusia, Turki,
Philipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia,
India, dan Vietnam.
Selisih
(spread) imbal hasil (yield) obligasi negara (SUN) kita dengan surat berharga
yang diterbitkan di AS juga relatif lebih rendah yang menunjuk bahwa tingkat
risiko berinvestasi di surat berharga di Indonesia juga lebih rendah
dibanding negara lain. Oleh karenanya, adalah tidak fair bila misalnya
outlook investasi pada surat berharga di Indonesia ditempatkan lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara tersebut hanya karena "Trump
Effect".
Dengan
kata lain, dalam jangka pendek ini, perekonomian Indonesia masih memiliki
outlook yang relatif lebih baik dibanding sejumlah negara berkembang
(emerging market) yang menjadi mitra dagang dan investasi AS. Terlebih,
sejumlah lembaga internasional, misalnya Bank Dunia, belum lama ini juga
telah mengeluarkan outlook ekonomi Indonesia di 2017 yang diperkirakan lebih
baik dibanding tahun 2016, meskipun "Trump Effect" terjadi.
Dalam
perspektif saya, yang justru lebih perlu diwaspadai adalah risiko-risiko yang
berasal dari internal perekonomian kita. Setidaknya, terdapat lima faktor
internal hal yang perlu diantisipasi terkait dengan risiko ekonomi di 2017
tersebut, yaitu: kualitas pertumbuhan ekonomi yang masih rendah,
produktivitas yang rendah, kesenjangan ekonomi yang masih relatif tinggi,
inflasi yang diperkirakan lebih tinggi, dan rendahnya daya saing. Kemampuan
yang baik dalam mengelola kelima faktor ini akan sangat penting terutama
untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi agar tetap terjaga di tengah
situasi sosial politik yang kini cenderung semakin menghangat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar