Calon
Kepala Daerah sebagai Tersangka
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik Pada FISIP
Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
09 April
2018
Sampai akhir Maret 2018 terdapat
lima calon kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai tersangka karena diduga melaku- kan tindak pidana korupsi. Mereka
adalah calon gubernur NTT, calon gubernur Lampung, calon gubernur Sulawesi
Tenggara, calon bupati Subang, dan calon bupati Jombang.
Berdasarkan Undang-Undang (UU)
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, kelima calon kepala daerah
tersebut tidak dapat mengundurkan diri karena tidak ada syarat pengunduran
diri yang dipenuhi. Karena itu dua alternatif solusi ditawarkan oleh sejumlah
kalangan.
Pertama, meminta Presiden membuat dan mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang isinya memperbaiki UU yang
ada, sehingga siapa saja calon kepala daerah yang menjadi tersangka wajib
mengundurkan diri, dan partai berhak mengajukan calon pengganti.
Perppu dan aturan pencalonan
Menteri dalam negeri (mendagri)
memastikan pemerintah tidak setuju
membuat dan mengeluarkan perppu, dan
sebagai gantinya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU
tentang Pencalonan.
Solusi kedua ini ditolak oleh KPU karena merasa tidak
memiliki dasar hukum untuk membuat peraturan seperti itu. Intinya, KPU tetap
berpendirian sesuai dengan UU. Dengan demikian, calon kepala daerah yang
menjadi tersangka tetap dapat melakukan kampanye, bahkan dapat saja terpilih
seperti yang pernah terjadi pada kasus walikota Tomohon dan bupati Buton.
Pada pemilihan presiden Amerika
Serikat tahun 1988, calon presiden dari Partai Demokrat, Gary Hart,
diprediksi oleh para ahli yang melakukan jajak pendapat akan memenangkan
pemilihan presiden. Menawarkan program yang menarik perhatian publik Amerika,
dan berpenampilan seperti mantan Presiden John F Kennedy, Gary Hart dinilai
oleh banyak kalangan memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi. Pemungutan
suara tinggal beberapa bulan lagi.
Tetapi pada suatu hari tabloid
Amerika memuat foto yang menggemparkan, yaitu seorang perempuan dengan
pakaian renang (kalau tidak salah, Donna Rice) duduk di atas pangkuan calon
presiden Demokrat tersebut di depan kolam renang.
Walaupun tidak ada hukum yang
dilanggar oleh Gary Hart dengan memangku perempuan tersebut (karena suka sama
suka, tanpa paksaan), keesokan harinya Gary Hart memundurkan diri sebagai
calon presiden. Mengapa dia mengundurkan diri pada hal tidak ada hukum yang
dilanggar?
Jawabannya sederhana tetapi
menentukan. Sang calon tidak akan terpilih karena mayoritas pemilih Amerika
Serikat tidak menghendaki calon presiden yang sudah mempunyai istri tetapi
berselingkuh dengan perempuan lain. Para pemilih Amerika Serikat tidak
menghendaki calon presiden yang womanizing (suka main perempuan). Pemilih
Amerika memang unik dalam hal keluarga: menghendaki presiden yang mencintai
istri dan keluarganya, dan pada hari Minggu presiden dan keluarganya ke
gereja.
Karena Amerika adalah negara
hukum, baik pemerintahannya maupun masyarakatnya —lima dari 10 warga negara
Amerika adalah Sarjana Hukum, negara yang memiliki pengacara yang paling
banyak di dunia — maka para pemilih tidak akan memilih calon presiden (calon
senator, calon anggota DPR, calon gubernur, dan calon walikota) yang telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh instansi penegak hukum. Karakteristik
seperti ini berlaku baik untuk calon presiden dari Partai Demokrat maupun
dari Partai Republik.
Calon yang menjadi tersangka
mengundurkan diri bukan karena mereka sangat bermoral dan memegang teguh
etika (perilaku politisi cenderung sama saja di seluruh dunia), tetapi karena
calon tersebut berkeyakinan tidak akan terpilih. Sekali lagi karena mayoritas
pemilih tidak menghendaki calon yang tidak pantas dari segi keluarga dan
tidak menaati hukum.
Alternatif solusi hukum memang
lemah karena salah satu prinsip negara hukum (rule of law) adalah due process
of law, seperti presumption of innocence. Seseorang dianggap telah melanggar
hukum bila pengadilan memutuskan yang bersangkutan terbukti bersalah dengan
meyakinkan, dan amar putusan pengadilan tersebut telah memiliki kekuatan
hukum tetap.
Bagaikan aktor yang taat hukum, para politisi dengan segera
melalui pengacaranya akan menggunakan ketentuan ini. Para politisi cenderung
menaati hukum bila sesuai dengan kepentingannya.
Hukum cenderung dipahami dalam
konteks kepentingan politisi yang bersangkutan. KPU juga tidak bisa
menyebarluaskan informasi bahwa calon kepala daerah tertentu telah ditetapkan
KPK sebagai tersangka karena tersangka belum tentu bersalah. Bila
menyebarluaskan informasi seperti itu para anggota KPU akan diadukan kepada
KPK sebagai melanggar kode etik penyelenggara pemilu, yaitu tidak menghormati
hukum.
Solusi yang paling ideal tetapi
mungkin sukar dilaksanakan untuk konteks Indonesia dewasa ini adalah pihak
ketiga melakukan kampanye untuk menyebarluaskan informasi perihal calon
kepala daerah yang telah ditetapkan KPU sebagai tersangka karena diduga
melakukan tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan Pihak Ketiga (the Third
Party) adalah antara lain pemantau pemilu, berbagai organisasi masyarakat
sipil yang melaksanakan pendidikan pemilih, dan media massa. Pesan yang
hendak disampaikan Pihak Ketiga ini bukan informasi tentang calon yang
melanggar hukum melainkan informasi tentang calon kepala daerah yang telah
ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana
korupsi pada kasus atau proyek tertentu.
Pemilih cerdas
Dua kesulitan melaksanakan solusi
ini. Kesulitan pertama, pemantau pemilu ataupun organisasi masyarakat sipil
yang bergerak di bidang pendidikan pemilih dewasa ini kian sedikit, baik
karena sudah tidak ada donor yang menyediakan dana maupun semakin sedikit
warga negara yang tertarik terlibat dalam pemantauan pemilu ataupun
pendidikan pemilih.
Kesulitan kedua berkaitan dengan
kesadaran dan kepedulian pemilih akan integritas, kompetensi dan kepemimpinan
sang calon. Sebagian pemilih menyerupai pemilih di Tomohon dan Buton yang
memilih calon yang menjadi tersangka. Keterpilihan calon yang menjadi
tersangka sangat mungkin karena kriteria keterpilihan calon kepala daerah
bukan mayoritas (50 persen + 1), bukan pula suara terbanyak yang minimal
mencapai 30 persen, melainkan mencapai jumlah suara lebih banyak dari jumlah
suara dari masing-masing pasangan calon lain.
Barangkali deskripsi tentang
“kadar kedaulatan pemilih” mungkin dapat menggambarkan kesadaran dan
kepedulian pemilih Indonesia. Pertama, Warga Negara Indonesia (WNI) yang
berhak memilih tetapi terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
ditetapkan KPU. Jumlah WNI berhak memilih yang tidak terdaftar sangat kecil.
Derajat cakupan WNI yang terdaftar pada DPT diperkirakan sudah mencapai 95
persen.
Kedua, WNI berhak memilih,
terdaftar dalam DPT, dan menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan pemilu anggota
DPR pada tahun 2014, jumlah pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya
hanya 75,11 persen. Sebanyak 24,89 persen pemilih terdaftar tidak menggunakan
hak pilihnya. Pilkada yang mencapai prestasi terendah dalam penggunaan hak
pilih adalah pemilihan walikota Medan pada tahun 2016 yang hanya mencapai 26
persen.
Ketiga, jumlah WNI terdaftar,
menggunakan hak pilih, dan suaranya sah. Pada pemilu presiden pada tahun 2014
jumlah surat suara tidak sah mencapai 1,02 persen (1.379.690 suara). Jumlah
surat suara tidak sah pada pemilu anggota DPR tahun 2014 mencapai 10,77
persen (15.076.606 suara). Jumlah surat suara tidak sah pada pemilu anggota
DPR lebih besar daripada pemilu presiden.
Keempat, pemilih terdaftar yang
menggunakan hak pilih secara sah tetapi memberikan suara secara cerdas. Sukar
untuk mengetahui secara pasti jumlah pemilih yang memberikan suara secara
cerdas.
Memberikan suara secara cerdas
adalah memberikan suara berdasarkan pertimbangan tentang integritas,
kompetensi, dan kepemimpinan politik dan administrasi sang calon. Pemilih
cerdas seperti ini akan membandingkan pasangan calon dari tiga kriteria itu.
Dia akan memilih pasangan calon yang terbaik dari tiga kriteria itu, dan dia
akan memilih untuk tidak memilih bila tidak ada pasangan calon yang memenuhi
ketiga kriteria tersebut.
Pemilih cerdas niscaya tidak akan
memberikan suara karena uang (jual-beli suara) atau karena “serangan fajar.”
Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara hanya berdasarkan tradisi, dan
tidak akan memberikan suara semata-mata karena kekaguman pada pasangan calon
tetapi tanpa dasar atau bukti. Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara
semata-mata karena pertimbangan suku, agama, ras ataupun jenis kelamin.
Pemilih cerdas tidak akan memberikan suara karena ujaran kebencian SARA atau
informasi bohong (hoaks).
Berdasarkan derajat kedaulatan
pemilih di atas dapat disimpulkan betapa tantangannya sungguh berat. Karena
keterbatasan sumber daya (dana) dan aktivis seyogianya ketiga provinsi dan
dua kabupaten (daerah yang memiliki calon sebagai tersangka) itu dijadikan
sebagai fokus atau prioritas.
Betapapun sukar dan berat, kampanye dalam
bentuk pendidikan pemilih ini perlu dilakukan agar menjadi preseden positif
pada masa yang akan datang (baca: agar pada masa yang akan datang setiap
calon yang ditetapkan tersangka oleh penegak hukum akan mengundurkan diri
bukan karena hukum tetapi tidak akan dipilih oleh pemilih). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar