Pendidikan
dan Reorientasi Nilai Kebangsaan
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2017
PENDIDIKAN
merupakan instrumen yang paling kuat untuk menciptakan sistem nilai sebuah
bangsa. Melalui pendidikan, sebuah bangsa dapat memasukkan nilai-nilai apa
saja yang dimaksudkan untuk mempertegas identitas kebangsaan.
Kita
melihat Tiongkok, misalnya, menggunakan nilai-nilai sosialisme sebagai dasar
dan argumen identitas kebangsaannya sejak sekolah dasar. Amerika menggunakan
nilai-nilai kebebasan dan liberalisme sebagai dasar orientasi dan identitas
kebangsaan dalam semua instrumen kurikulum pendidikan. Sementara itu, di
beberapa negara yang mengatakannya sebagai negara Islam, nilai-nilai
keislaman diajarkan untuk menegaskan identitas kebangsaan juga, tapi lebih
banyak gagalnya.
Indonesia
sebagai sebuah bangsa tak memiliki instrumen yang valid untuk menegaskan
identitas kebangsaan dalam sistem pendidikan. Kita tak memiliki kejelasan
identitas karena Pancasila sebagai dasar negara gagal dipahami sebagai medium
untuk menegaskan kebinekaan, apalagi dengan banyaknya kejadian dan kasus
kekerasan yang terjadi di masyarakat karena enggan menerima kenyataan sebagai
bangsa yang majemuk. Bangsa Indonesia saat ini bahkan berada di tengah krisis
sosial yang dapat menyebabkan terpecahnya masyarakat kita karena baik negara
maupun masyarakat abai untuk menggunakan Pancasila sebagai instrumen dan
metode reorientasi nilai-nilai kebangsaan.
Persis
seperti kata Madeleine Mattarozzi Laming dalam Education as a Method of Re-Orienting Values (2009), ketika
hampir seluruh negara sedang berlomba untuk melakukan reorientasi nilai-nilai
kebangsaan mereka melalui sistem pendidikan, negara-negara berkembang malah
justru terseok oleh kesibukan kemiskinan dan kebodohan karena tidak kuatnya
identitas kebangsaan mereka dalam sistem pendidikan.
Contoh kecil
Dalam
konteks pendidikan kita, salah satu contoh kecil tidak adanya identitas
nilai-nilai kebangsaan dalam sistem pendidikan terlihat dari masih maraknya
kompetisi dalam sekolah. Padahal jika kita merujuk pada falsafah negara,
aspek gotong royong atau kerja sama sebenarnya harus lebih nyata dalam
praktik pengelolaan sekolah.
Kita
lebih senang melihat sekolah lain sebagai kompetitor atau saingan daripada
sebagai partner atau sahabat yang perlu dibantu atau dimintai bantuan. Kita
lebih senang menggunakan terminologi sekolah unggul karena
kelebihan-kelebihan fisik daripada keunggulan proses belajar-mengajar di
dalamnya. Pendek kata, sistem pendidikan kita tak mengenal istilah collaborative schooling, melainkan
lebih familier dengan jargon-jargon yang bersifat diskriminatif. Istilah collaborative schooling tidak pernah
digunakan dalam praktik kependidikan di Indonesia. Collaborative schooling sebenarnya merupakan kritik dari kondisi
aktual kualitas pendidikan kita di Tanah Air yang belum merata hingga saat
ini.
Sekolah-sekolah
yang dianggap baik oleh masyarakat, setidaknya dalam 40 tahun terakhir ini,
tak pernah berubah. Dalam satu kota/kabupaten, biasanya sekolah yang dianggap
baik kualitas atau mutunya oleh masyarakat hanya satu atau dua sekolah. Ini
artinya sekolah-sekolah unggulan itu tidak pernah mempraktikkan terminologi collaborative schooling karena tak
ingin mereka dikalahkan sekolah lain. Sistem pendidikan kita lebih
mengedepankan kompetensi antarsiswa dan sekolah daripada mempraktikkan
kolaborasi antar siswa dan sekolah.
Praktik
kecil ketiadaan kolaborasi antarsekolah yang berimbas kepada ketiadaan
kolaborasi antarsiswa sebenarnya bisa dilihat dari kebijakan rangking siswa
pada masing-masing kelas dan sekolah. Sekolah dan bahkan orangtua, jika
mereka pergi ke sekolah untuk menerima rapor dan evaluasi hasil belajar
anak-anak mereka, hal tersering yang ditanyakan anaknya rangking berapa di
dalam kelas.
Praktik
kecil ini sesungguhnya seperti sedang menanamkan kompetisi yang tidak sehat
di tingkat sekolah dan siswa karena mereka memandang siswa lain sebagai
kompetitor dan sekolah lain sebagai saingan. Efeknya setiap sekolah berusaha
mempertahankan posisi tersebut secara membabi buta karena tak ingin tersaingi
oleh siswa lain dan bahkan sekolah lain.
Kondisi
ini harus terus kita kritik dan ingatkan bahwa sistem pendidikan nasional
tidak boleh memperlakukan siswa secara diskriminatif berdasarkan rangking
kognisi semata, dan pada waktu yang bersamaan menilai sekolah lain rendah
kualitasnya karena capaian akademik mereka berbeda-beda dalam waktu yang
cukup lama.
Ini
artinya rata-rata sekolah kita, dalam hal yang menyangkut proses belajar-mengajar,
kurang menghargai proses yang positif. Pendidikan di sekolah sepertinya sama
saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai
bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik.
Karena lebih mementingkan pendekatan kognitif, sekolah dalam sistem
pendidikan kita saat ini sangat mendorong para siswa untuk menjadi
manusia-manusia individualis yang lupa sesungguhnya mereka makhluk sosial.
Di
sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek daya
saing (competitive), sebuah budaya
untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain sehingga menimbulkan banyak
sekali pelabelan seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas
khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang
sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi. Karena
itu, wajar orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap proses
pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat tempat para guru
membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka. Padahal
menciptakan jejaring (networking) dan kolaborasi antar sekolah sangat
dibutuhkan dalam rangka menciptakan partnership antara satu sekolah dengan
yang lainnya.
Dengan
menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center),
misalnya, sebuah sekolah harus menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar
untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar mengajar. Tujuan strategi
ini ialah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk
mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, yaitu
akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.
Mari
kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang selalu
mengejar keberhasilan dengan cara kompetisi menjadi kesadaran yang menghargai
kolaborasi. Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa
pendidikan ialah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kerja
sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras.
Nilai-nilai
kegotongroyongan harus menjadi esensi nilai yang terimplementasi dengan baik
pada kebijakan. Di sinilah reorientasi nilai-nilai kebangsaan untuk menegaskan
identitas kebangsaan perlu dilakukan dalam kerangka sistem pendidikan yang
berkeadilan.
Tanpa
reorientasi nilai, sistem pendidikan kita pasti akan terus menerus melakukan
kesalahan dalam membuat perencanaan kebijakan bidang pendidikan. Tanpa
reorientasi nilai, sistem pendidikan kita akan terus terombang-ambing oleh
nilai dan budaya yang lebih kuat seperti sosialisme dan liberalisme, dan akan
menjadikan sistem persekolahan kita menjadi limbung tanpa identitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar