Kesenjangan,
Jokowi, dan Demokrasi Ekonomi
Tanri Abeng ;
Mantan Menteri Pemberdayaan BUMN;
Komisaris Utama Pertamina
|
KOMPAS, 27 Januari 2017
Saya
mengamati, sidang kabinet 4 Januari 2017 terfokus pada masalah kesenjangan
dan program pemerataan. Salah satu upaya untuk mengatasi yang disebut adalah
redistribusi aset dan regulasi tanah bagi petani.
Bilamana
Rasio Gini berada di kisaran 0,40 dan 1 persen penduduk menguasai 50,35
persen kekayaan negara, jelas sekali bahwa negara belum hadir untuk
menciptakan kemakmuran yang berkeadilan bagi bangsa Indonesia. Kesenjangan
ini tidak saja tecermin dari perbedaan pendapatan atau kekayaan
antargolongan, tetapi juga antardaerah. Lebih mengkhawatirkan lagi,
kesenjangan kapasitas sumber daya manusia yang diakibatkan oleh kesenjangan
kualitas pendidikan antardaerah.
Wajar
saja Presiden Joko Widodo mengangkat kesenjangan sebagai musuh negara yang
harus ditaklukkan. Panglimanya tentulah Jokowi.Melawan musuh kesenjangan yang
demikian tangguh membutuhkan pendekatan manajemen komprehensif berbasis 5 S,
yakni strategi, struktur, skala, sistem, dan skill, sebagai senjata pendobrak
yang ampuh.
Pendekatan
parsial dan transaksional tak akan melahirkan kemenangan berkelanjutan.
Kita
telah memiliki strategi konstitusional sebagai sasaran pembangunan ekonomi
bangsa.Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan, ”Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkesinambungan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”.
Perintah
konstitusi ini jelas. Namun, setelah tujuh dekade kemerdekaan, justru
kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi semakin mengkhawatirkan. Lalu, apa saja
yang telah dilakukan oleh elite politik bangsa ini? Kenapa visi keadilan dan
keseimbangan ekonomi semakin jauh dari sasaran? Boleh jadi karena pendekatan
manajemennya tidak komprehensif, bahkan lebih parsial dan transaksional.
Soekarno
memilih politik ekonomi sosial (tujuan pemerataan) sebagai opsi strategis,
tetapi manajemen sumber-sumber daya ekonomi yang berlimpah gagal menciptakan
kekayaan atau wealth karena lembaga pelaku ekonomi belum terstruktur sesuai
pilihan strategisnya.
Soeharto
memilih politik ekonomi pasar terkendali dengan melahirkan UU Penanaman Modal
Asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).Langkah prioritasnya
terstruktur dalam Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan, dan
Pemerataan, yang dioperasionalkan dengan penuh disiplin sehingga mampu
melahirkan pertumbuhan berkelanjutan selama tiga dekade.Namun, keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi tak juga terwujud karena rakyat lapisan bawah
tak punya kedaulatan ekonomi.
Susilo
Bambang Yudhoyono tampil dengan strategi Triple Tracks (pro-growth, pro-job,
pro-poor) yang juga menyasar keadilan ekonomi. Kembali struktur kelembagaan
pelaku ekonomi tak sesuai strategi ini. Politik ekonomi pasar tanpa
keberpihakan justru melahirkan kesenjangan ekonomi yang makin melebar.
Restrukturisasi lembaga
pelaku ekonomi
Harus
diapresiasi bahwa pelaku ekonomilah yang menciptakan kekayaan sebuah negara
melalui proses produksi, distribusi, perdagangan yang selain mempekerjakan
tenaga kerja juga membayar pajak langsung dan tak langsung.Pelaku ekonomi,
melalui perilaku kewirausahaan (entrepreneurial)-nya yang menciptakan nilai
tambah ekonomi sebagai sumber kekayaan sebuah negara-bangsa. Business
entrepreneurs create wealth for the nation.
Sebuah
premis yang dikembangkan dari teori yang sebenarnya sangat klasik karena
pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Inggris, Adam Smith (1723-1790), dalam
buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776),
hingga ekonom Austria-Amerika Joseph Schumpetter (1883-1950) dalam karyanya,
Capitalism, Socialism and Democracy (1942). Meski klasik, seperti halnya
musik klasik, relevansi dan keindahannya tak lekang oleh waktu dan zaman.
Kemakmuran
suatu negara sangat bergantung pada peran efektif yang dilakukan pelaku
ekonomi melalui badan-badan usahanya. Adalah pelaku ekonomi yang dapat
memobilisasi dan menciptakan nilai tambah dari sumber-sumber daya ekonomi
secara efektif.Pemerintah harus berperan untuk melahirkan regulasi dan
pengawasan serta insentif seraya menjaga keseimbangan kemajuan masing-masing
pelaku ekonomi.
Dari
perspektif demokrasi ekonomi, kita mengenal tiga pelaku ekonomi: swasta
(nasional dan asing), negara (BUMN), dan koperasi (termasuk UMKM).Dua pelaku
ekonomi, yaitu swasta dan negara, telah tumbuh dan berkembang meninggalkan
koperasi dan UMKM yang tetap bercokol pada dasar piramida karena tak memiliki
skala dan akses pendanaan serta pasar di samping tanpa sentuhan manajemen
korporasi.
Maka,
dibutuhkan restrukturisasi lembaga pelaku ekonomi koperasi dan UMKM menjadi
badan usaha milik rakyat (BUMR).Dalam tulisannya di harian ini, ”BUMR: Menuju
Model Pembangunan Pasca Elite”, Fachry Ali menuliskan bahwa apa yang disebut
”membangun dari pinggiran” (start from the periphery), dalam program Presiden
Jokowi, menemukan rangka operasional melalui gagasan yang saya tulis dalam
buku sayaberjudul Badan Usaha Milik Rakyat.
Mengapa
demikian? Karena seluruh aktivitas BUMR didasarkan pada pengolahan produk
lokal, maka pelaksanaannya bukan saja tak memerlukan impor yang menghabiskan
devisa, melainkan berpotensi mendorong ekspor dengan aktor utama rakyat
biasa. BUMR akan beranggotakan lebih dari 100 juta penduduk, dengan demikian,
identik dengan pemberian otonomi ekonomi kepada mereka. Dalam posisi semacam
ini, proses penguatan demokrasi akan lebih mudah berlangsung di Indonesia,
yaitu ketika rakyat secara ekonomi tak lagi bergantung kepada siapa pun juga.
Secara
harfiah, BUMR adalah badan usaha yang beranggotakan rakyat dalam bentuk
korporasi. Namun, secara konseptual, proses korporatisasi badan usaha ini
adalah membangunkan ”raksasa ekonomi” secara tak berpreseden.Data Kementerian
Koperasi dan UKM 2012 saja memperlihatkan terdapat 56.534.592 unit usaha
dalam skala ini dengan daya serap tenaga kerja langsung 107.657.509 orang atau
97,2 persen dari seluruh angkatan kerja.
Angka
ini tampak raksasa di hadapan usaha besar yang hanya 4.968 unit dengan daya
serap tenaga kerja 3.150.645 orang.Korporatisasi adalah pembentukan badan
hukum usaha rakyat dalam bentuk BUMR. Ini adalah solusi terhadap kelemahan
struktural koperasi dan UMKM untuk menjadi lembaga pelaku ekonomi yang
memiliki posisi sejajar dengan badan-badan usaha lain.
Di
bawah manajemen modern yang efektif, beranggotakan 56.534.592unit usaha,
didukung 107.657.509 pekerja (lebih besar dari 75 juta penduduk Thailand atau
90 juta penduduk Filipina), BUMR akan menjadi kekuatan bisnis tak tertandingi
dan memaksa badan-badan usaha milik swasta (BUMS), BUMN, bahkan NUMS milik
asing untuk bekerja sama.Di samping jumlah anggota BUMR itu telah menjadi
pasar tersendiri, artikulasi potensi bisnis di bawah manajemen modern
berpotensi melahirkan kekuatan ekonomi yang tak terbayangkan.
Sinergi dengan BUMN
Sebetulnya
sejak didirikan awal 1998, Kementerian BUMN ditugasi mengemban 10 misi, tiga
di antaranya belum terlaksana: (1)mengalokasikan keuntungan BUMN guna
membayar/melunasi utang negara, (2) memberdayakan UMKM dan koperasi, (3)
menjadi kekuatan penyeimbang terhadap pelaku ekonomi lainnya demi tercapainya
sasaran demokrasi ekonomi.
Pelaku
ekonomi koperasi dan UMKM saja jumlahnya sudah lebih dari 100 juta orang yang
terpinggirkan dan belum diberdayakan.Salah satu penyebabnya, sebagaimana
kritik presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, karena BUMN terlampau
fokus pada ambisi mengejar keuntungan. Padahal, BUMN dapat bersinergi dengan
UMKM dan koperasi yang terorganisasi secara baik dalam BUMR sehingga pelaku
ekonomi ini lebih produktif dan berskala untuk berkembang lebih baik lagi.
Sebagai
contoh, atas persetujuan Menteri BUMN Rini Soemarno, prototipe BUMR Pangan
telah direalisasikan dengan memanfaatkan PKBL Pertamina. Pendekatan
kelembagaan seperti ini akan melahirkan pelaku ekonomi rakyat yang dapat
berkembang secara berkelanjutan untuk mengatasi kesenjangan.
Maka,
yang kita butuhkan saat ini adalah politik ekonomi baru yang mampu
mengimplementasikan amanat Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945. Politik ekonomi baru ini
hanya bisa dijalankan secara optimal melalui pendekatan manajemen karena apa
pun masalah sebuah bangsa, sebetulnya hanya manajemen solusinya.
Konkretnya,
perlu restrukturisasi pelaku ekonomi guna menghadirkan lembaga pelaku ekonomi
baru, yaitu BUMR yang sejajar dan seimbang dengan pelaku ekonomi negara dan
swasta besar. Dengan demikian, institusionalisasi BUMR lewat korporatisasi koperasi
dan UMKM adalah langkah konkret politik ekonomi baru yang perlu diambil
Presiden untuk mengatasi kesenjangan, meningkatkan PDB, sekaligus mengurangi
kemiskinan dan pengangguran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar