Kegaduhan
di Awal Tahun Politik
Adi Prayitno ; Direktur Eksekutif
Parameter Politik Indonesia;
Dosen Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2018
BARU saja kita
meninggalkan tahun 2017 yang penuh gejolak dan luka politik mendalam efek
dari Pilkada DKI Jakarta. Luka yang hingga saat ini belum sepenuhnya terobati
dan mengakibatkan fragmentasi politik kian ekstrem pada kutub yang saling
mengeras.
Di berbagai wilayah rakyat
terbelah karena pilihan politik berbeda.
Di awal tahun politik
kegaduhan terjadi secara paralel. Di Jawa Barat, PKS bersitegang dengan
Partai Demokrat karena meninggalkan perkongsian dengan calon gubernur Deddy
Mizwar. Begitu pun riuh rendah Partai Golkar yang mencabut dukungan dari
Ridwan Kamil.
Di Kalimantan Timur Partai
Demokrat curhat kandidatnya dikriminalisasi partai politik (parpol) tertentu.
Sementara Di Jawa Timur, mantan calon wakil gubernur Azwar Anas diserang isu
skandal “foto panas”. Teranyar soal nyanyian La Nyalla Mattalitti tentang
mahar politik yang diminta Partai Gerindra.
Kini, kita memasuki tahun
politik 2018 yang sesungguhnya. Sebuah tahun serba gaduh yang dibarengi
dengan begitu banyak aktivitas demokrasi elektoral pilkada serentak di 171
wilayah. Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik karena sejak awal Januari
hingga pertengahan Juni, semua kontestan, parpol, tim sukses, serta relawan
berjibaku dengan beragam agitasi dan propaganda pemenangan. Itu artinya,
selama 6 bulan ke depan, kita akan dijejali dengan ingar-bingar hajatan
politik yang penuh intrik.
Pada saat bersamaan, di
tahun ini pula, tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah dimulai. Dari awal Maret
hingga Agustus semua parpol dihadapkan pada situasi sibuk menghadapi tahapan
pemilu serentak.
Mulai dari pengumuman
parpol peserta pemilu, pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD, dan DPD
hingga persiapan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (capres
dan cawapres). Sementara di awal September, KPU akan menetapkan capres dan
cawapres.
Inilah tahun politik yang
mahadahsyat dalam sejarah politik kita. Jadwal serta tahapan pilkada dan
pemilu serentak berlangsung secara berhimpitan. Tentu kita berharap, tahun
politik kali ini bukan semata ritual prosedur demokrasi namun minim pemimpin
baru berkualitas yang bisa memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat.
Robert Dahl dalam
Democracy and Its Critics (1989) menegaskan bahwa demokrasi prosedural
merupakan mekanisme memilih pemimpin secara periodik yang menekankan aspek
keterbukaan, partisipasi, dan kompetisi. Cara ini dianggap ampuh melahirkan
pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Modal
Sosial dan Politik
Kontestasi elektoral di
tahun politik tentu makin panas di tengah trauma merebaknya wabah efek
Pilkada DKI Jakarta yang terus menghantui. Sebab itu, tahun politik kali ini
harus disongsong dengan kekuatan modal sosial dan politik sebagai fundamen
utama mengonsolidasi demokrasi.
Robert Putnam dalam Making
Democracy Work (1993) menyebut modal sosial sebagai rasa simpati, keinginan
baik, persahabatan, serta sikap saling percaya pada orang lain yang pada
galibnya membentuk budaya politik toleran dan menjunjung tinggi pluralisme.
Pilkada DKI Jakarta
memberi banyak pelajaran penting betapa rasa simpati, persahabatan, dan
interpersonal trust tercerabut dari
akar budaya politik kita. Padahal, sikap empati penuh persahabatan mendarah
daging dalam cita-cita luhur bangsa. Tahun politik kali ini harus
menanggalkan tradisi lama sembari menawarkan satu alternatif politik yang
lebih beradab.
Pada saat bersamaan, kita
juga memiliki modal politik cukup kuat yakni kesesuaian antara Islam dan
demokrasi. Kemajuan demokrasi Indonesia sejauh ini disebabkan oleh budaya
politik umat Islam yang mengedepankan sikap moderat, inklusif, dan toleran.
Di Indonesia, sejak lama
demokrasi bersemai indah di tengah mayoritas komunitas Islam. Berulang kali
pilpres, pileg, dan pilkada semunya berjalan damai meski banyak celah yang
harus dibenahi.
Namun secara umum,
sustainabilitas demokrasi sejauh ini sangat dipengaruhi oleh sikap politik
umat Islam yang mengedepankan budaya toleran dan menjunjung tinggi
pluralisme. Bisa dilacak, pasca-Reformasi nyaris tak ada pertumpahan darah
akibat kontestasi elektoral. Jikapun terjadi letupan, hal itu masih dalam
batas kewajaran sebagai sebuah bangsa yang baru terbebas dari
otoritarianisme Orde Baru. Itu artinya umat Islam Indonesia merupakan modal politik
sempurna untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Praktik demokrasi yang
tumbuh subur ini sekaligus menjungkalkan klaim ketidaksesuaian demokrasi
dengan Islam. Meski dalam hal tertentu nilai-nilai Islam dan demokrasi saling
bertabrakan namun bisa berjalan seiring.
Modal sosial dan politik
inilah yang kemudian menjadi bekal menghadapi tahun politik yang kian aktual.
Politik sejatinya dimaknai perkara biasa saja tanpa harus saling menegasi.
Politik adalah seni menciptakan kebaikan bersama demi terciptanya masyarakat
yang adil makmur.
Optimistis
Tahun politik mesti
dimaknai sebagai tahun penuh optimisme guna memilih pemimpin transformatif
yang bisa mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat. Sudah terlalu lama kita
terjebak dalam kubangan demokrasi prosedural yang hanya mementingkan suksesi
seremonial namun abai terhadap pemimpin berkualitas pro rakyat.
Inilah paradoks demokrasi
kita saat ini. Di tengah keberlimpahan demokrasi yang kian tumbuh mekar tapi
sulit mencari pemimpin yang rela berkorban sepenuh demi rakyat. Begitu banyak
kepala daerah hasil pilkada yang hanya berakhir di penjara akibat korupsi,
menyuburkan praktik politik dinasti, serta menjamurnya kekuasaan oligarkis.
Kinilah saatnya membamngun
politik sebagai kebaikan bersama untuk rakyat. Pilkada serentak kali ini
harus dijadikan momentum memilih pemimpin dengan narasi besar membangun
demokrasi yang sehat dengan komitmen menuntaskan persoalan rakyat seperti
kemiskinan dan kesejahteraan.
Pada saat bersamaan, kita
juga harus belajar banyak dari pembelahan politik akibat pilkada Jakarta.
Perang opini, saling fitnah, industri hoax, serta ujaran kebencian menjadi
menu keseharian yang menggerus mental model toleran.
Tentu saja kita tak mau seperti
keledai jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Cukup sudah kita
dengan pilkada prosedural tanpa substansi. Saatnya memilih pemimpin populis
memperjuangkan rakyat. Mari kita akhiri fragmentasi politik akibat politisasi
SARA, kampanye hitam, dan ujaran kebencian yang mengakibatkan rakyat
terbelah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar