Kamis, 01 Maret 2018

UUMD3 dan Problem Legislasi

UUMD3 dan Problem Legislasi
Zainal Arifin Mochtar  ;   Pengajar Ilmu Hukum dan
Ketua Dewan Direksi Pukat Korupsi FH UGM
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2018



                                                           
Revisi terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mendatangkan kontroversi cukup hangat.  Bagaimana mungkin pembentuk UU kembali memperlihatkan hasil dari proses legislasi yang cenderung mengangkangi hak rakyat dan menci- derai demokrasi?

Setidaknya, ada tiga pasal utama yang jadi perdebatan publik.

Pertama, Pasal 73 Ayat (3), (4) dan  (5) yang meneguhkan kewajiban bagi Kepolisian melakukan tindakan panggil paksa bagi pihak yang tak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, bahkan dilengkapi kemungkinan menyandera hingga 30 hari.
Kedua, Pasal 122 huruf k soal kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Ketiga, Pasal 245 tentang pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Kita semua paham pasal kontroversial ini. Pasal-pasal ini menunjukkan arogansi kekuasaan di hadapan publik. Bahwa, kekuasaan adalah segalanya. Apalagi, dibuat dengan konstruksi pasal “karet”. Hal yang membuat DPR bisa dapat kewenangan luar biasa melakukan panggil paksa, penyanderaan, pelaporan atas kritik terhadap DPR hingga memperpanjang birokratisasi pemanggilan terhadap anggota DPR. Pasal-pasal yang sedang mencoba menunjukkan supremasi parlemen, pada saat yang sama memperlihatkan proteksi kuat.

Perihal panggil paksa bukan pada tempatnya proses peradilan dan penegakan hukum masuk pada konsep parlemen. Apalagi, upaya besar ini hanya disematkan dalam sistem perlementer dan itu pun dalam konsep lama yang sudah tak tergunakan seiring penguatan hak asasi dan demokrasi. Termasuk kemungkinan pelaporan atas kritik.

Pasal sejenis biasanya digunakan untuk proteksi terhadap kemungkinan orang melakukan penyuapan pada anggota parlemen, karena seseorang itu sedang menghina anggota parlemen jika mencoba menyuap. Oleh karena itu, seiring berkembangnya aturan antikorupsi dan penyuapan, pasal itu sudah amat jarang digunakan. Begitu pula soal pemanggilan anggota DPR yang sudah pernah diputuskan oleh MK, namun kemudian dicoba dihidupkan lagi oleh DPR dengan konsep pertimbangan. Hal ini seakan makin meneguhkan jika kita sedang berjalan menuju ke arah penguatan perlemen.

Kesalahan Legislasi Presiden

Akan tetapi, kesalahan tak serta-merta bisa dilimpahkan sepenuhnya ke DPR. Separuh kesalahan harus kita alamatkan kepada presiden. Mengapa? Karena dalam sistem legislasi di Indonesia, separuh kekuasaan legislasi itu milik presiden, meski Pasal 20 Ayat (1) UUD memberikan kuasa legislasi kepada DPR. Pasal 20 Ayat (2) memberikan kewajiban bagi setiap RUU untuk dibahas dan disetujui secara bersama dengan pemerintah. Inilah yang membuat menguatnya kekuatan legislasi pemerintah, karena setiap UU hanya bisa dikeluarkan tatkala mendapatkan pembahasan bersama dan persetujuan bersama pemerintah.

Dengan model ini, apa yang terjadi di UU MD3 tentu saja adalah hasil pembahasan bersama serta persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Artinya isinya adalah kesepakatan bersama presiden dan pemerintah. Dan inilah yang mengherankan di balik pernyataan Jokowi dan menteri hukum dan HAM yang kurang lebih mengatakan bahwa ada banyak masalah di UU MD3 dan mempersilakan publik untuk bersama-sama melakukan uji materi ke MK.

Apalagi ini ditunjukkan dengan sikap semacam veto dengan tak akan menandatangani RUU MD3, sehingga RUU ini menjadi UU dengan sendirinya tanpa tanda tangan (pengesahan) presiden melalui mekanisme 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945.
Ini memang problem serius yang dilematis bagi Presiden Jokowi. Bagaimana mungkin sesuatu yang ia bahas bersama dan setujui bersama tetapi ia menolak menandatanganinya? Tidak pasnya lagi, ada mekanisme menjadi UU dengan sendirinya. Sehingga, langkah Presiden hanya semacam sikap “veto malu-malu”, karena tidak punya implikasi apa-apa terhadap posisi Presiden atas UU tersebut.

Pernyataan tersebut sesungguhnya lahir dari beberapa kemungkinan. Pertama, Presiden dan Menteri Hukum dan HAM sedang bermain “sandiwara politik” seolah membela aspirasi publik, padahal sebenarnya telah menyetujui dan berdiri bersama parpol di DPR terkait pasal-pasal yang mengangkangi rakyat tersebut. Kedua, Presiden tidak tahu sama sekali dan ini diakibatkan tidak padunya koordinasi antara Presiden dan para menteri yang mewakili Presiden dalam pembahasan dan persetujuan bersama dengan DPR.

Kejadian serupa pernah terjadi di masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang mengoreksi UU tentang pilkada melalui DPRD lewat sikap tak menandatangani, bahkan kemudian mengeluarkan perppu yang membatalkan pasal tersebut dan mengembalikan proses pilkada ke pemilihan secara langsung.

Kejadian berulang ini sesungguhya menunjukkan bahwa Presiden sangat mungkin bermain politik dalam menghadapi publik atau hanya oleh karena kurang padunya proses legislasi di tubuh Pemerintahan.

Perbaikan legislasi

Dengan dua asumsi di atas, antara “sandiwara politik” dan “kelemahan legislasi”, tentu ada hal yang harus diperbaiki dengan detail. Jika ini hanya “sandiwara politik”, tentu sangat disayangkan, karena rakyat hanya dapat remahan dari kepentingan politik. Tetapi jika ini disebabkan oleh hal yang kedua, maka tentu saja ada yang harus diperbaiki.

Hal yang harus dilihat bahwa konsepsi legislasi di Indonesia, khususnya pada tahapan di pemerintah, memang terlalu lemah. Pertama, setiap surat presiden (surpres) dikeluarkan hanya menjadi petunjuk sederhana tentang UU yang hendak diubah dan siapa yang akan menjadi wakil presiden dalam melakukan pembahasan dan persetujuan UU bersama DPR. Tak ada politik hukum utama presiden yang ingin diamanatkan di UU itu.

Harusnya, presiden sudah menunjukkan poin politik hukumnya dan menjadi garis posisi presiden dalam pembahasan dengan DPR. Menteri kemudian tidak bertindak sendiri dalam proses legislasi. Maka, tatkala ada pembahasan terhadap posisi politik hukum yang sudah digariskan oleh presiden, ketika tahapan pembahasan di DPR ingin keluar dari garis kebijakan presiden di dalam surpres, menteri sebaiknya tidak keluar dari pembahasan tersebut sebelum melaporkan ke presiden soal adanya permintaan dalam pembahasan DPR yang berimplikasi pada perubahan politik hukum presiden.

Kedua, tatkala menuju ke tahapan persetujuan, menteri tak boleh bertindak begitu saja dalam mewakili presiden untuk persetujuan bersama. Menteri yang mewakili haruslah balik dan menghadap ke presiden guna melaporkan draf RUU terakhir yang akan dimintakan persetujuan bersama. Setelah presiden setuju dengan draf terakhir maka dia menyerahkan ke menteri untuk melanjutkan ke tahapan persetujuan. Sebaliknya, jika presiden tak setuju dengan draf terakhir, maka hal itu harus dijadikan landasan menteri untuk tidak melanjutkan ke proses persetujuan bersama. Dengan begitu, kontrol presiden atas legislasi masih ada dan tidak ada kebijakan politik UU bukan oleh presiden tetapi oleh menteri.

Keadaan menjadi dilematis bagi Presiden Jokowi. Mengatakan “sandiwara politik” tentu tak menarik di era kontestasi pemilu langsung karena bisa menggerus kepercayaan publik. Pada saat yang sama jika mengatakan ada problem di kitaran proses legislasi maka pilihannya adalah memperbaiki tahapan legislasi presiden, dan pada saat yang sama mendorong perbaikan legislasi, semisal dengan perppu.

Namun, pilihan perppu pun akan dilematis karena kian memperlihatkan bahwa ada masalah dalam proses legislasi pemerintah. Apalagi, dengan memaksa perppu akan membuat posisi presiden akan kian berhadap-hadapan dengan parpol di DPR, khususnya saat pembahasan perppu menjadi UU. Tak mengherankan jika presiden kemudian memilih langkah “aman”, melalui uji materi di MK.  Presiden seakan berharap tangan MK untuk melakukan koreksi terhadap UU yang terlahir dalam problem legislasi yang berada di ranah pemerintah.

Akan tetapi, jika mau jujur dan melakukan perbaikan menyeluruh, juga harus dipikirkan perbaikan konstruksi legislasi dalam UUD 1945. Dalam riset yang saya lakukan bersama Saldi Isra (2009), hampir seluruh negara yang menggunakan sistem presidensial tak mengikutkan presiden dalam pembahasan dan persetujuan UU dengan DPR. Presiden hanyalah menunggu dengan konsep veto dalam menandatangani suatu RUU. Ini yang dalam disertasi Saldi Isra (2010) disebut sebagai praktik model legislasi parlementer dalam model legislasi presidensial Indonesia. Fajrul Falaakh (2003) menyebutnya “parlementarisme lewat pintu belakang”. Presiden dan DPR sebaiknya mempertanggungjawabkan UU MD3. Jika perppu menjadi berat secara politik, maka uji materi memang menjadi jalan terakhirnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar