Selasa, 18 April 2017

Robohnya Kandang Kami

Robohnya Kandang Kami
Suwidi Tono  ;   Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
                                                        KOMPAS, 17 April 2017


                                                                                                                                                           

Liberalisasi berkecepatan tinggi sedang melanda Republik. Ketiadaan koreksi dan intervensi negara melahirkan "hukum rimba"  dengan korban nyata di pihak yang lemah, yakni rakyat: petani, peternak, nelayan, dan 270 juta konsumen.

Dalam medan persaingan bisnis tidak setara itu, kekuatan kapital besar terus menjebol benteng pertahanan usaha peternakan ayam rakyat yang tidak cukup terlindungi.  Hasil liputan Kompas: "Ayam 'Makan' Ayam" (15/3/2017),  "Peternak Ayam Terpukul" (31/3/2017), dan "Usaha  Pertanian Dikuasai Modal Besar" (31/3/2017)  menegaskan bahwa the level playing field usaha  pertanian semakin tidak memihak kepada golongan usaha kecil dan menengah.

Dari studi lapangan penulis ke beberapa kota sentra industri peternakan ayam ras rakyat di Jawa Timur-yakni Malang, Blitar, Jombang, dan Sidoarjo, 19-22 Maret lalu- kecenderungan ambruknya usaha peternakan ayam rakyat yang telah dibangun beberapa dekade silam  tinggal menghitung waktu.

Para peternak kecil dengan skala usaha di bawah 20.000 ekor (ayam petelur) dan 5.000 ekor (ayam pedaging)  terus merugi akibat harga jual produk di bawah harga pokok produksi (HPP).  Komponen utama HPP, yaitu harga pakan, terus naik, pasar kelebihan pasokan akibat produk perusahaan integrator skala raksasa (industri bibit, pakan, sekaligus budidaya) turut membanjiri pasar tradisional.

Pertarungan vis a vis industri besar dengan peternak kecil yang juga sangat tergantung pasokan bibit dan pakannya kepada industri tersebut menyisakan pertanyaan besar atas kebijakan dan struktur tata niaga yang terbentuk. Efisiensi tinggi memang  menekan HPP. Namun, faktanya, harga jual telur dan daging ayam tetap tinggi di tingkat konsumen. Margin tata niaga yang tidak dinikmati peternak itu terus menjadi salah satu persoalan besar yang tidak tertangani.  

Dalam sejarahnya, peternakan ayam mengalami beberapa kali guncangan besar. Pada 1980-an, sejalan dengan introduksi program Peternakan Inti Rakyat (PIR) Perunggasan, upaya membangun kemitraan peternak-integrator tidak berjalan mulus. Kendati membuat  banyak  peternak kecil gulung tikar karena kebijakan yang asimetris itu, konsumsi daging dan telur per kapita masih sangat rendah serta penetrasi modal besar masih terbatas pada industri bibit dan pakan.

Tahun 1997-1998, seiring dengan krisis ekonomi yang membuat bahan baku pakan (sebagian besar impor) melonjak, terjadi konsolidasi antara integrator dan peternak mitra sehingga jumlah peternak kecil semakin menciut, dari 470.000 menjadi 245.000 peternak. Pada 2003, dunia peternakan ayam dilanda wabah flu burung yang menggerus aset peternak kecil. Sepanjang 2010-2014, sejalan dengan lonjakan pertumbuhan konsumsi daging ayam dan telur, persoalan justru semakin kronis dan menempatkan peternak kecil pada posisi terjepit.

Mereka kalah segala-galanya dalam bersaing dengan integrator yang menguasai produksi dan pemasaran dari hulu sampai hilir. Sepuluh tahun lalu, pangsa pasar daging ayam dan telur produksi peternak mencapai 80 persen dan integrator 20 persen. Saat ini kondisinya berbalik, empat perusahaan besar integrator menguasai 80 persen pangsa pasar nasional.   

Jumlah peternak broiler menyusut drastis tinggal 60.000-an dan layer hanya tersisa 50.000-an. Jika kecenderungan iklim usaha peternakan ayam ras terus dibiarkan berlanjut seperti sekarang, lonceng kematian usaha peternak kecil jelas tinggal menunggu hari. Penuturan Sutikno, peternak layer di Dusun Ponggok, Blitar, yang kandangnya hanya tersisa 3.000 dari sebelumnya 20.000 ekor sejak dua tahun lalu menuturkan: ayam produktif terpaksa dikurangi untuk dijual guna  membeli pakan. Ini dilakukan agar usahanya tetap berjalan meski merugi, setelah semua aset, seperti mobil, motor, rumah, dan kebun juga sudah "disekolahkan"  alias jadi agunan bank.

"Baru terjadi sekarang, sebutir telur lebih murah daripada sebatang rokok atau sebuah  kerupuk," katanya. Pernyataan Sutikno ini menunjuk pada anjloknya harga jual 1 kilogram telur  (berisi 15-18 butir) di tingkat peternak sebesar Rp 14.500, sementara HPP sebesar Rp 15.500 per kilogram.

Refleksi persoalan

Harus diakui, lonjakan produksi daging ayam dan telur lima  tahun terakhir yang membuat harga protein hewani itu terjangkau masyarakat mampu mendorong double consumption dari   4,6 kilogram telur dan 8,3 kilogram daging per kapita pada 2012, menjadi 10,2 kilogram telur  dan 14,6 kilogram daging per kapita tahun 2016.  Struktur konsumsi daging masyarakat turut berubah: 17 persen red meat (daging sapi dan kerbau), 67 persen white meat (daging ayam), serta sisanya daging kelinci, kambing, babi, dan lain-lain.  

Kapitalisasi seluruh lini industri peternakan ayam ditaksir mencapai Rp 470 triliun tahun 2016 dan jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai empat juta orang. Efisiensi yang terjadi melalui rekayasa genetika terus-menerus, perbaikan kualitas pakan, dan tumbuhnya daya serap pasar merupakan pemicu utama integrasi bisnis vertikal hulu-hilir.

Dengan produksi total ayam pedaging dan petelur sekitar 2,5 miliar ekor tahun 2016, terjadi kelebihan pasokan yang membuat harga di tingkat peternak fluktuatif dan cenderung turun. Tanpa pembatasan impor grand parent stock (GPS) dan pengawasan tata niaga yang fair, gejolak peternakan ayam ras akan terus berlangsung. Selama lebih dari empat dekade, kisruh ini tetap permanen dan sering dintersep dengan kebijakan yang tidak memadai dalam  mengatasi akar masalah.    

Kelebihan impor GPS yang berakibat day old chick (DOC) melonjak, fluktuasi harga dan kelangkaan  bahan baku pakan, terutama jagung dan bungkil kedelai, kurang validnya kategori jumlah peternak rakyat mandiri, peternak kemitraan, peternak besar, dan perusahaan raksasa closed house,  mendesak dilakukan sensus akurat. Data sahih diperlukan untuk menata ulang kebijakan yang memberikan peluang semua pelaku usaha mendapatkan keuntungan dan mencegah persaingan tidak seimbang.

Dari sisi konsentrasi produksi, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara sangat dominan sehingga rantai distribusi juga terlalu panjang. Peran broker yang amat menentukan dalam tata niaga daging dan telur menunjuk pada ketiadaan fasilitas pembiayaan, lembaga penyangga harga, dan lemahnya perolehan nilai tambah karena tidak berkembangnya industri olahan dan rantai dingin (cold chain).  Kelebihan pasokan produksi semata-mata menjadi persoalan harga, tidak ditransfer untuk mendorong tumbuhnya aneka industri turunan atau membuka peluang ekspor.

Solusi mendasar

Agar industri ayam ras yang telah berkembang pesat terus bertumbuh dan tidak menimbulkan gejolak setiap saat, harus ada intervensi mendasar. Pertama, penetapan dan pengawasan kuota impor GPS harus transparan dan tidak melebihi kapasitas tampung pasar. Kedua, kegiatan budidaya mayoritas diserahkan kepada peternak untuk mencegah penguasaan hulu-hilir di integrator.

Ketiga, struktur biaya produksi dari pakan yang tinggi dan sebagian besar bahan baku impor, membutuhkan terapi terarah dan berkelanjutan. Swasembada jagung tak efektif jika harganya lebih mahal daripada pasar internasional. Keempat, diciptakan role model kemitraan inti-plasma agar adil dengan posisi tawar setara. Kontrol terhadap ketentuan ini perlu diperkuat mekanisme pengawasan transparan dan akuntabel beserta sanksi tegas.

Koperasi peternak perlu dikembangkan dengan pendampingan tata kelola yang efisien dan bankable untuk memotong peran para pemburu rente (broker) dan mendorong terbangunnya produk olahan dan cold storage.  Stigma buruk koperasi  akibat salah urus dan memuat banyak kepentingan tak selaras dengan tujuan memberdayakan kemampuan berorganisasi produsen, terutama dalam pendampingan budidaya teknis dan tata kelola usaha, perlu dirombak dengan pendekatan efisiensi, soliditas, dan kemampuan beradaptasi. 

Koreksi mendasar itu mendesak untuk mengantisipasi ancaman dari luar. Jika hasil sidang Organisasi Perdagangan Dunia 12 Mei 2017 kelak memenangkan gugatan Selandia Baru dan Brasil, Indonesia tidak dapat mengelak dari serbuan produk daging ayam  murah dari luar negeri. Demikian pula, menyongsong pemberlakuan animal welfare dan biosecurity pada 2025, perlu tahapan penyesuaian pola produksi dan konsumsi. Semua tantangan ini membutuhkan antisipasi kebijakan yang komprehensif, afirmatif, dan mampu mengonsolidasikan peran seluruh pelaku.

Perguruan tinggi dan lembaga riset semestinya didorong mengembangkan rekayasa genetik dari plasma nutfah lokal. Terdapat 57 fakultas peternakan dan puluhan badan penelitian, tetapi sampai sekarang GPS 100 persen impor. Bandingkan dengan China dan Vietnam yang sukses mendorong konsumsi daging ayam lokal masing-masing 60 persen dan 74 persen dari total konsumsi daging nasional karena kuatnya keberpihakan pemerintah pada sumber genetika lokal.  

Peternak rakyat adalah pahlawan sesungguhnya dalam sejarah panjang penyediaan protein hewani masyarakat dengan harga terjangkau. Mereka juga pembayar pajak, pencipta lapangan kerja, terutama di desa-desa, dan tidak pernah beroleh subsidi negara.  Kehancuran peternak kecil bukan semata-mata ironi terhadap upaya pemerintah mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, melainkan lebih jauh dari itu juga membunuh habis aset dan kreativitas lokal yang mandiri serta bertahan dari aneka guncangan selama lebih dari 40 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar