Hoax
dan Islam
Husein Ja'far Al Hadar ; Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
|
TEMPO.CO, 25 Januari 2017
Hoax
sedang mendapatkan momentum sebagai bagian dari hiruk-pikuk politik Ibu Kota.
Tulisan ini hendak mengaitkan hoax, yang berarti berita bohong atau fitnah,
dengan wilayah yang paling sensitif, yakni agama, khususnya Islam.
Jauh
sebelum menyerang politik Ibu Kota, berita bohong telah menggerogoti
sendi-sendi keberislaman, sehingga umat Islam hanyut dalam silang pendapat
dan konflik yang sebenarnya semu karena ditopang oleh hoax. Seringkali kita
bertengkar atas nama keyakinan (yang subyektif dan palsu), bukan kebenaran
(obyektif dan nyata). Misalnya, yang kini kian populer, sebagian umat Islam
yakin bahwa bumi datar dengan berbasis pada paradigma dan pendekatan
"ayatisasi": mencocok-cocokkan ayat Al-Quran dengan pseudosains.
Ini menjadi sesuatu yang bisa membawa persepsi salah bahwa Islam dan sains
bertentangan serta mengingatkan kita pada "tragedi Galileo", yang menjadi
kisah pertentangan agama-sains paling memilukan dalam sejarah.
Lebih
jauh, dalam sejarah Islam, berita bohong dicatat sebagai penyebab pertama
guncangan besar bagi tatanan keislaman yang telah dibangun oleh Nabi
Muhammad. Itu terjadi saat terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, yang
kemudian disebut sebagai al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Saat itu, umat
Islam saling menebar berita bohong tentang pembunuhan Khalifah Usman untuk
kepentingan politik sehingga terjadi perpecahan pertama dalam sejarah Islam,
yang bermuara pada peperangan antara Ali dan Muawiyah serta lahirnya
sekte-sekte dalam Islam. Karena itu, tak aneh jika Sayyidina Ali buru-buru
menasihati umat Islam agar jangan terjebak dalam kekacauan tersebut lantaran
terprovokasi oleh berita bohong.
Diktum
"perbedaan adalah rahmat" batal demi berita bohong. Padahal wacana
sehat dalam perbedaan sebenarnya bersifat konstruktif. Menurut Imam Ghazali,
kebenaran seperti cermin yang jatuh dari langit dan pecah di bumi. Ia
disatukan dalam satu khazanah wacana keislaman, atau lebih luas lagi:
keberagamaan. Karena ia bersumber dari pengetahuan dan dilakoni oleh
orang-orang berpengetahuan, maka yang berkembang adalah sikap moderat,
toleran, dan saling menghargai.
Kita
bisa lihat wacana itu dalam ushul fiqh (yurisprudensi Islam) di antara para
imam (yang paling populer: Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Sikap
para imam itu pun, di tengah perbedaan mereka, adalah saling menghargai dan
memuji yang berpuncak pada diktum Ibn Hajar al-Haitami: "Mazhabku benar
dan mengandung kesalahan, mazhab selainku salah dan mengandung
kebenaran."
Berita
bohong menjadikan semua itu berubah menjadi tuduhan yang merusak. Berita
bohong justru menyulap perbedaan (ikhtilaf) menjadi perpecahan (iftiraq).
Karena itu, perbedaan dalam teologi Islam awal yang terjadi atas dasar berita
bohong justru melahirkan perpecahan, konflik, dan saling bunuh di tubuh umat
Islam.
Lantaran
bersumber dari ego, berita bohong dalam Islam menyeruak hingga salah satu
simpul terdalam agama: hadis. Sejak 41 Hijriyah, berita bohong atas nama Nabi
diproduksi dan disebarkan untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan. Ia
menganiaya mazhab, ulama, pandangan, dan segala sesuatu yang menjadi benteng
bagi ego rezim. Sekadar gambaran kuantitasnya: dari 600 ribu hadis yang
dikumpulkan Imam Bukhari, hanya 2.761 hadis yang dipilihnya. Sejak awal, Nabi
telah bersabda, "Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja,
maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka."
Sebagian
pembuat hadis palsu ini dijuluki "pembohong zuhud". Artinya, mereka
sebenarnya seorang yang taat beribadah. Namun ketika digugat, mereka
mengatakan telah berbohong bukan terhadap Nabi ('ala Nabi), melainkan untuk
Nabi (li Nabi) dengan asumsi untuk kebaikan Islam. Ini persis seperti
fenomena dalam beberapa tahun terakhir di kalangan umat Islam Indonesia,
ketika mereka secara sadar menganiaya sesama muslim atau umat non-muslim
dengan berita-berita bohong atas dasar imajinasi bahwa dirinya "pembela
Allah dan rasul-Nya".
Kesucian
agama dari berita bohong bersifat signifikan dan mendasar. Sejak awal,
Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 9 menegaskan bahwa apa yang difirmankan-Nya
adalah benar-benar dari-Nya dan akan terus Dia jaga sampai akhir masa. Nabi
diutus sebagai manusia suci (ma'shum) untuk meneguhkan kesucian agama yang
dibawanya dari tuduhan atau prasangka berita bohong. Walhasil, Tuhan begitu
keras terhadap pembuat dan penyebar berita bohong: melaknat, menyebut tak
beriman, dan memastikan tempatnya di neraka. Sebab, berita bohong dalam
keberagamaan bukan hanya membuat kesucian agama batal, tapi juga memaksa umat
menerimanya meski bertentangan dengan akal. Walhasil, tutur Ibn Rusyd,
"Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala hal dengan
agama."
Kita
juga harus ingat bahwa keberislaman dan keberagamaan kita telah lebih dulu
dikoyak-koyak oleh ragam berita bohong yang membuat umat Islam dan beragama
terpecah. Tragedi Sampang, Tolikara, dan lain-lain adalah segelintir
contohnya. Kita berharap kebijakan dan gerakan anti-berita bohong ini akan
terus terjaga semangat dan performanya setelah pemilihan Gubernur DKI. Bukan
hanya untuk urusan politik, tapi juga agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar