Senin, 05 Maret 2018

Muslim Cyber

Muslim Cyber
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                      TEMPO.CO, 03 Maret 2018



                                                           
ORANG yang waras sudah pasti akan mengapresiasi langkah kepolisian untuk memberangus apa yang disebut sebagai kelompok Muslim Cyber Army. Kelompok ini menyebarkan berita kebohongan dengan isu-isu provokatif di berbagai media sosial. Sejumlah pelaku sudah ditangkap.

Kita berharap agar pelaku ini diproses secara hukum. Bahwa di antara mereka sudah mengaku menyesal dan bahkan minta maaf, tentu hal itu tak akan menghentikan proses hukum. Sudah berkali-kali ada pelaku yang gemar mengumbar ujaran kebencian kemudian menyatakan meminta maaf setelah ditangkap. Sepertinya permintaan maaf itu tak ada efeknya bagi pelaku yang lain. Seolah-olah ada anggapan, toh jika ketahuan dan sampai tertangkap, cukup dengan meminta maaf.

Banyak yang sudah mengecam kelompok Muslim Cyber Army ini karena apa yang diperbuatnya bisa meresahkan masyarakat. Dukungan kepada polisi, khususnya Bareskrim Polri, mengalir dari sejumlah tokoh, politikus, bahkan sampai Ketua MUI, yang meminta agar kelompok ini diusut hingga tuntas. Namun ada banyak pula orang yang berhati-hati memberikan komentar terhadap kelompok ini, terutama dari kalangan non-muslim, khususnya adalah saya. Karena itu, sejak mengawali tulisan ini, kalimat-kalimat yang saya susun penuh kehati-hatian dan nyaris seperti "menulis berita biasa". Semoga Anda tak mengira saya "kehilangan angin".

Kenapa saya berhati-hati mengomentari Muslim Cyber Army? Ya, karena ada kata "muslim" yang dipakai kelompok itu. Kalau saya menggebu-gebu memberi komentar-dan orang tahu bahwa komentar saya pastilah sama dengan Ketua MUI yang ingin kasus ini diusut tuntas-ada kemungkinan saya akan mendapat cercaan lebih ganas di media sosial yang saya ikuti. Baru menulis kalimat "salut untuk polisi, lanjutkan..." saat menanggapi unggahan Bareskrim Polri di media sosial, saya langsung mendapat balasan yang aneh. Misalnya "lu bukan muslim, jangan ikut campur" atau balasan "negara kok anti-Islam...", dan beberapa lagi. Segera saya menyadari bahwa kasus ini ternyata ada yang membela, tentu saya tak perlu mengusutnya apakah para pembela itu menggunakan akun abal-abal atau tidak.
Bagi saya awalnya, kata "muslim" dalam Muslim Cyber Army hanyalah sekadar nama, bukan mewakili kaum muslim secara umum. Artinya bukan suara umat Islam. Yang saya tahu dan sampai sekarang saya amat yakin, umat Islam itu sangat toleran dan sangat mencintai kedamaian. Tidak mungkin menebar kebencian dan memprovokasi permusuhan sebagaimana yang dilakukan kelompok Muslim Cyber Army. Dan polisi pun, dalam menindak pelaku kejahatan di media sosial, tak peduli dengan label "muslim" di kelompok itu. Saya yakin kalau misalnya ada kelompok sejenis yang melakukan provokasi dan menyebar berita bohong dengan nama Hindu Cyber Army atau Kristen Cyber Army-bahkan Sunda Wiwitan Cyber Army-pasti polisi akan menindaknya pula. Yang ditindak itu bukan lantaran label agama, melainkan perilaku anggotanya.

Kalau pembela Muslim Cyber Army adalah "anak baru gede" (tapi bukan generasi Dilan dan Melia yang cerdas) lewat akun dengan nama sembarangan, saya tak begitu risau. Tapi ada Yang Terhormat Wakil Ketua DPR yang juga condong "membela" Muslim Cyber Army, setidaknya tak suka dengan tindakan kepolisian-yang dianggap pesanan pemerintah-menangkapi kelompok ini.

Saya kira kalau kita sepakat menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa dan sepakat bahwa menyebarkan berita bohong dan provokatif adalah berbahaya, seharusnya kita bersatu memerangi kelompok-kelompok seperti ini, apa pun label agamanya. Setuju?

1 komentar: