Senin, 27 Juni 2022

 

Catatan Pinggir

Antisemit

Goenawan Mohamad  :  Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

ADA satu film dengan adegan yang tak terlupakan: Schindler's List. Saya menontonnya di tahun 1994. Saya masih ingat beberapa menit menatap layar dengan mata basah, menatap seorang anak perempuan 3 tahun bermantel merah di antara ribuan tahanan Yahudi yang digiring tentara Jerman untuk dibantai....

 

Film dari tahun 1993 itu hitam-putih. Warna merah mantel bocah itu sebuah kejutan yang hening.

 

Kita tak tahu nama si upik. Tapi kita tahu ia sebuah beda, sesuatu yang istimewa, sebagaimana tiap korban adalah istimewa—cerita yang unik yang terimpit ribuan mayat yang ditimbun seperti kayu pembakaran. Gadis kecil itu, pucat dan bisu, adalah sabda: ia pantang diringkas ganas hanya jadi “Yahudi” dalam teriakan Hitler yang akan dibinasakan di Auschwitz.

 

Dunia yang tak punya hati—agaknya itulah yang terjadi. Saya ingat satu kalimat Adorno: “Setelah Auschwitz, menulis puisi adalah biadab.” Saya tak paham benar apa maksudnya, tapi kekejaman di kamp konsentrasi ini (ada sejuta orang lebih dibunuh) telah meninggalkan kenangan yang meracuni perasaan. Tak hanya bagi seorang Yahudi.

 

Penyair Amerika Anne Sexton, mungkin mengikuti Adorno, menulis sajak “After Auschwitz”. Ia tuliskan “amarah yang sehitam cangkuk” yang merasuki dirinya tiap kali, tiap pukul 08:00 pagi, kaum Nazi mengambil seorang bayi dan “menjadikannya tumis di penggorengan…”.

 

Anger,

as black as a hook,

overtakes me.

Each day,

each Nazi

took, at 8:00 A.M., a baby

and sauteed him for breakfast

in his frying pan.

 

Bagaimana puisi bisa ditulis dalam keadaan seperti itu? Bagaimana puisi akan bisa bicara ketika manusia sepenuhnya keji dan tak bermartabat hingga Ajal pun memandanginya dengan acuh tak acuh sambil “menggaruk-garuk lubang dubur”?

 

Auschwitz: sebuah kenangan, sebuah penanda yang mengerikan. Kita akan menyimpannya dalam tata simbolik dengan makna yang angkuh—yang ingin diterima secara universal.

 

Namun “universal” adalah taraf yang problematis. Kini memang “Auschwitz” dianggap sebuah sebutan untuk kekejian yang sekeji-kejinya—kutukan yang diasumsikan diterima di mana saja dan kapan saja. Tapi penanda selalu tumbuh dari tempat tertentu, waktu tertentu. Di luar Jerman abad ke-20, pembantaian di Indonesia (1966), di Kamboja (1975), Rwanda (1994), Serbia (1999) punya bahasa lain: kebiadaban tanpa “Auschwitz”.

 

Maka absurd jika orang Indonesia, atau Cina, atau Papua, diharap membaca kekejaman dan kebencian sebagai satu pengalaman yang niscaya terkait dengan antisemitisme Eropa. Sejak mula, antisemitisme berpusar di wilayah yang jauh dari Asia.

 

Dalam A Convenient Hatred: The History of Antisemitism oleh Phyllis Goldstein, saya tak menemukan di wilayah Timur Jauh ini apa yang terjadi dalam antisemitisme di Timur Tengah sejak setengah abad Sebelum Masehi, setelah bangsa Yahudi beremigrasi keluar dari Yudea, menjauhi kekacauan dan kelaparan. Dalam diaspora itu manusia yang berbeda-beda bertemu—bersaing, bersengketa, bermusuhan; kebencian dan stereotipe pun berkecamuk. Juga kekerasan.

 

Menurut Goldstein, baik orang Yunani maupun Romawi berhasil menciptakan stereotipe yang berlanjut, juga setelah kekuasaan imperial mereka roboh—stereotipe yang mempersetankan orang Yahudi.

 

Dengan kata lain, antisemitisme—ekspresi massal kebencian dan tindakan kekerasan yang membinasakan—adalah pusaran sejarah Eropa. Bukan pengalaman kita. Di Hindia Belanda di ujung 1930-an, benih-benih antisemitisme dicoba ditanamkan organisasi NSB (Nationaal-Socialistische Beweging) yang memuja Hitler dan Mussolini. Tapi tak sukses. Ternyata kita punya paranoia lain: terhadap minoritas Tionghoa, terhadap umat Syiah, terhadap umat Ahmadiyah.

 

Tak berarti kini imperialisme berakhir; prasangka imperialis bahkan tetap ada di balik musuh-musuh fasisme. Ia lamat-lamat terasa pada pandangan yang Eropa-sentris: hampir apa saja dilihat mau tak mau membawakan gema “Eropa”.

 

Di Kassel, Jerman, hari-hari ini, dipasang sebuah mural yang dibangun Taring Padi, kelompok seni rupa sayap kiri dari Yogya. Mural itu, dengan deretan gambar karikatural, diciptakan 20 tahun yang lalu sebagai ekspresi melawan militerisme Orde Baru. Ajaib atau entah, tahun ini di Jerman ia dianggap membawakan pesan “antisemitis”.

 

Ia pun dirobohkan tanpa ada pertanyaan: siapa sebenarnya yang mengontrol makna? Juga makna mural itu? Taring Padi, sang perupa? Duta Besar Israel? Dan siapa yang berhak memberangus? Bukankah—saya di sini sedikit meniru Roland Barthes—“karya seni adalah pertanyaan minus jawaban”?

 

Ada yang menyesali para seniman Indonesia itu tak kenal khazanah grafis Eropa dan tak sadar seraut wajah di mural itu adalah reproduksi kartun Nazi yang mempersetankan bangsa Yahudi. Mungkin. Tapi kita tahu, hidung bengkok tak hanya cemooh buat Yahudi yang tengik. Imperialisme tata simbolik Jerman tak mau tahu ada hidung Durna dan Butoterong dalam wayang kulit, yang berabad-abad diukir para juru sungging tanpa antisemitisme.

 

Tapi buat apa? Tafsir sudah ditutup. Kekuasaan menang. Saya ingat gadis kecil Schindler's List: bagaimana kalau kita dipaksa melihatnya hanya sebagai intermeso merah yang sial? ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166288/antisemit

 

 

Apa Saja Tugas Ombudsman Indonesia

Abdul Manan  ;  Wartawan Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

OMBUDSMAN Republik Indonesia mendapat mandat dari Undang-Undang Ombudsman untuk mengawasi kepatuhan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah dalam pelayanan publik. Jumlah laporan yang masuk ribuan. Kasus yang paling banyak diadukan adalah mengenai pertanahan, penerimaan pegawai, dan penanganan kasus di kepolisian. Selain menerima aduan, Ombudsman bisa memeriksa kasus yang menjadi sorotan publik, seperti kelangkaan minyak goreng kemasan.

 

Ombudsman kini sedang menangani laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Indonesia Corruption Watch, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengenai penetapan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri pada Jumat, 3 Juni lalu. Ombudsman memutuskan kasus ini masuk kategori reaksi cepat ombudsman (RCO). “Kalau masuk RCO, (penanganannya) maksimal tiga bulan atau 90 hari,” kata Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis, 16 Juni lalu.

 

Dalam wawancara sekitar satu jam, Najih menjelaskan kepatuhan pemerintah dalam melayani masyarakat. Doktor politik hukum dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini menuturkan pula masalah tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan kelangkaan minyak goreng.

 

Apa saja kasus publik yang ditangani Ombudsman?

 

Ombudsman menyelesaikan sejumlah laporan masyarakat, terutama yang cukup menonjol. Itu, misalnya, yang berkaitan dengan kelangkaan minyak goreng dan seleksi aparatur sipil negara. Sampai April 2022, 337 dari ribuan laporan masyarakat mengenai penerimaan calon pegawai negeri sipil telah diselesaikan. Yang juga sedang menjadi perhatian kami adalah ihwal pertanahan. Ini masih mendominasi sampai sekarang, terutama penyelesaian pengurusan hak milik dan penyelesaian ganti rugi ketika ada penggunaan lahan untuk kepentingan umum.

 

Laporan ke Presiden kapan?

 

Laporan sudah diterima Presiden. Kami menyampaikan secara langsung laporan akhir tahun pada April lalu. Laporan triwulan pada Mei lalu disampaikan melalui surat. Itu sebagai bentuk pelaksanaan tugas yang menurut undang-undang harus melapor secara periodik dan tahunan ke presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

 

Apakah Presiden memberikan catatan atas laporan itu?

 

Waktu kami bertemu Presiden, respons yang menarik adalah agar Ombudsman makin banyak mengambil langkah pengawasan di aspek pencegahan malaadministrasi. Salah satu yang jadi perhatian adalah hasil survei kepatuhan pada 2021. Dalam laporan akhir tahun ada perkembangan bahwa daerah yang masuk zona hijau makin banyak.

 

(Zona hijau merujuk pada wilayah dengan kepatuhan tinggi dalam pelayanan publik, zona kuning untuk kepatuhan sedang, dan zona merah untuk kepatuhan rendah).

 

Kepatuhan lembaga itu seperti apa?

 

Untuk kementerian, baru 24 kementerian. Yang mendapat zona merah kosong, zona kuning 7, hijau 17. Di lembaga, yang di zona kuning ada 3 dan hijau 12. Di 34 provinsi, sebanyak 13 masuk zona hijau, 19 kuning, dan 2 merah. Dari 98 pemerintah kota, 3 di zona merah, 51 kuning, dan 34 hijau. Untuk 416 pemerintah kabupaten, 87 di zona merah, 226 kuning, dan 103 hijau.

 

Apakah ada penghargaan dan hukuman atas kepatuhan ini?

 

Kami masih memberikan semacam saran perbaikan dan pendampingan. Kami belum sampai memberikan hukuman, yang bukan kewenangan Ombudsman. Ombudsman ranahnya kan pencegahan malaadministrasi. Harapan kami, karena ini menjadi bagian dari prioritas nasional, itu semestinya memberi pengaruh terhadap indeks kerja, mempengaruhi anggaran. Kami harapkan ke sana. Ini sedang kami diskusikan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Dalam Negeri. Sebab, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah ada ketentuan bahwa pemerintah daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dapat diberi sanksi oleh Menteri Dalam Negeri.

 

Ombudsman memang tidak ada kewenangan memberi sanksi?

 

Tidak ada. Masyarakat memang sering kali menilai Ombudsman tidak punya taring. Tapi masyarakat harus paham bahwa Ombudsman sebagai pengawas eksternal fungsinya adalah magistrature of influence (lembaga pemberi pengaruh) dalam konteks teori kelembagaan negara. Tugasnya adalah memberikan pengaruh supaya ada perubahan, perbaikan, dan pembaruan. Jadi ranah kami bukan magistrature of action yang memberikan sanksi.

 

Bagaimana ihwal penetapan penjabat kepala daerah?

 

Ini memang masih dalam tahap verifikasi laporan. Pertama, apakah pelapor punya legal standing. Kedua, apakah obyeknya menjadi kewenangan Ombudsman, yaitu ada (dugaan) malaadministrasi. Ketiga, subyek yang dilaporkan apakah tepat. Dalam rapat pimpinan Ombudsman (Senin, 13 Juni lalu), laporan mengenai penjabat kepala daerah masuk reaksi cepat Ombudsman (RCO). Kalau masuk RCO, (penanganannya) maksimal tiga bulan atau 90 hari. Mudah-mudahan prosesnya tidak lama karena, kan, bulan berikut ini akan ada penetapan baru. Bagaimana kami mengejar supaya nanti penetapan berikutnya tidak ada potensi malaadministrasi.

 

Apakah memang ada dugaan malaadministrasi?

 

Seperti yang ada di media, ada dugaan malaadministrasi dalam proses penetapan. Misalnya, dasar hukum dalam prosesnya belum lengkap. Ada yang tidak memenuhi persyaratan tapi tetap diangkat. Lalu soal asas imparsialitas. Syarat untuk ditunjuk menjadi penjabat, kan, tidak boleh punya kepentingan politik tertentu. Misalnya, bentuk tekanan dari pihak mana sehingga ada pemilihan orang yang tidak tepat. Faktanya, ada yang baru dilantik, terus mundur dalam beberapa menit (setelah dilantik). Itu contoh dugaan terjadi malaadministrasi. Itu yang sedang kami dalami, apakah ada kelemahan dalam regulasi atau aspek yang lain.

 

Apakah Menteri Dalam Negeri sebagai terlapor akan diperiksa?

 

Secara kelembagaan, kan, Kementerian Dalam Negeri. Biasanya, dalam proses permintaan keterangan, kami belum tahu siapa yang ditugaskan, apakah Menteri Dalam Negeri langsung atau pejabat terkait. Bisa juga tidak hanya Kementerian Dalam Negeri, tapi juga Kementerian Sekretariat Negara. Kami belum bisa memastikan pihak mana saja yang akan dimintai keterangan.

 

Ombudsman juga memeriksa kelangkaan minyak goreng?

 

Manakala ada fenomena yang bersifat masif, meluas, dan sistematis, Ombudsman dapat berinisiatif melakukan pemeriksaan atas prakarsa sendiri. Tapi ini berangkat dari problem di masyarakat, dugaan malaadministrasi yang fenomenanya meluas, skalanya nasional, yang bisa jadi masyarakat tidak akan melaporkan secara individual.

 

Apa hasil kajian Ombudsman?

 

Kami merekomendasikan dari aspek tata kelolanya, bagaimana agar peran pemerintah dengan pihak swasta ada keseimbangan, antara pemegang regulasi dan pelaku usaha. Bagaimana agar pemerintah juga punya kendali yang kuat agar tidak bisa diolah oleh pelaku usaha. Saya kira (pemerintah) juga perlu memperbaiki regulasi tata kelola, dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya kemudian dalam pelayanan publik: minyak goreng sebenarnya sebagai komoditas perdagangan yang bisa mudah dilempar ke pasar ataukah memang kebutuhan pokok yang menjadi kewenangan pemerintah dan regulasinya harus kuat serta tidak boleh dilepas ke pasar sepenuhnya? Kami harapkan dari aspek regulasi supaya pemerintah, dalam tata kelolanya, bisa lebih mengendalikan. Selama ini dianggap kurang (terkendali) sehingga komoditas ini berpotensi dimanfaatkan lebih besar untuk kepentingan pasar, bukan kepentingan masyarakat.

 

Ihwal minyak goreng juga, kan, diikuti dengan adanya reshuffle kabinet.

 

Betul ada dampak politiknya. Itu kan sudah ranah (politik), sudah bukan ranah pelayanan publik. Meskipun, bagi saya, sebenarnya partai politik seharusnya punya perhatian terhadap isu pelayanan publik. Setiap menyiapkan kadernya di posisi jabatan pemerintahan, seharusnya partai berpesan, “Kamu harus punya perhatian pada pelayanan publik, keberpihakan pada masyarakat”. Fungsi partai politik, kan, menghasilkan calon pemimpin yang berpihak kepada masyarakat, bukan pada partai. (Reshuffle) dilakukan karena minyak goreng atau bukan, itu sudah ranahnya presiden. Yang penting bagi Ombudsman, sejauh mana komitmen pemimpin yang ditunjuk punya perhatian pada isu pelayanan publik.

 

Bagaimana tren aduan ke Ombudsman dalam lima tahun terakhir?

 

Kami melihat laporan masyarakat cenderung fluktuatif. Ada 8.300 laporan pada 2017, 8.000 pada 2018, dan 6.900 pada 2019. (Pada 2020 sebanyak 7.204 laporan dan pada 2021 terdapat 7.186 laporan.

 

Lembaga apa yang paling banyak diadukan dan tentang apa?

 

Pemerintah daerah. Paling tinggi pelayanan agraria, kemudian kepegawaian dan administrasi kependudukan. Termasuk ihwal sengketa tanah, isu pengurusan sertifikat, dan pengalihan hak, yang terutama di Badan Pertanahan Nasional. Laporan masyarakat paling tinggi dari 2014 sampai sekarang di bidang agraria. Soal kepegawaian di peringkat kedua. Kepegawaian, misalnya, mengenai pengangkatan guru, pemilihan rektor, rekrutmen pegawai, kepangkatan, dan pensiun. Kalau berhubungan dengan Kepolisian RI, pengajuannya paling banyak pada aspek penyelesaian perkara. Contohnya penetapan tersangka. Orang ini sudah ditetapkan tersangka lama, kok tidak jelas statusnya. Ada juga soal surat keterangan catatan kepolisian, surat izin mengemudi, dan izin keramaian.

 

Apa yang dilakukan Ombudsman kemudian?

 

Semua laporan kami verifikasi. Regulasinya seperti apa, apa benar ada malaadministrasi. Lalu, kami meminta keterangan terlapor. Kalau terjadi malaadministrasi, di kepolisian, misalnya, kami minta perbaiki. Misalnya, ada penetapan buron dalam DPO (daftar pencarian orang) sampai bertahun-tahun. Ada keluarganya yang mengadukan.

 

Mengapa keluarga melaporkan tentang DPO itu?

 

Itu berkaitan dengan kebutuhan status dan berimplikasi bagi keluarganya. Misalnya, saya sebagai suami masuk DPO sampai tua. Istri tidak bisa melakukan perbuatan hukum terhadap aset-asetnya. Kalau (aset) mau dijual, kan, harus ada izin suami. (Ombudsman merekomendasikan perlu ada pembatasan waktu DPO, katakanlah 10 atau 15 tahun).

 

Bagaimana kepatuhan lembaga terhadap teguran Ombudsman?

 

Dari aspek kepatuhan, cukup tinggi, sekitar 80 persen. Mengukurnya dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman yang dilaksanakan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. Ombudsman produk akhirnya rekomendasi. Undang-undang rekomendasi hukumnya wajib dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, Ombudsman harus melaporkan ke Presiden dan DPR supaya dua lembaga ini yang memberikan sanksi. Rekomendasi Ombudsman tiap tahun puluhan saja yang kami keluarkan. Pada 2021, tidak sampai 10 rekomendasi. Itu indikasi bahwa kepatuhan terhadap LHP Ombudsman tinggi. Begitu ada rekomendasi, dia tak melaksanakan, ada teguran.

 

Rekomendasi Ombudsman mengenai TWK oleh KPK tak dilaksanakan. Bagaimana penyelesaiannya?

 

Rekomendasinya (kepada Presiden) untuk memberi tindakan kepada Ketua KPK agar melaksanakan LHP Ombudsman. Presiden yang memerintahkan. Cuma, saya tidak bisa berasumsi. Ketika (rekomendasi) sampai ke Presiden (pada April 2022), itu sudah aspek politis. Bentuk pelaksanaan rekomendasi Ombudsman, apakah dalam bentuk kebijakan lain, itu enggak dijawab oleh Presiden. Tapi substansi keluhan masyarakat tentang masalah itu sudah dipenuhi.

 

Apa bukti substansinya dipenuhi?

 

Ini asumsi saya. Bisa jadi Presiden tidak memerintahkan Ketua KPK, tapi memerintahkan instansi lain, mungkin Kepala Kepolisian RI. Tapi ini saya nggak tahu kebenarannya. Mungkin saja Presiden meminta Kapolri mengangkat yang 57 orang itu menjadi aparatur sipil negara. Tapi apakah itu karena rekomendasi Ombudsman, kami tidak bisa jawab.

 

(Sebanyak 44 dari 57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK itu resmi menjadi AS di Polri, 9 Desember 2021  — Red)

 

Teguran Ombudsman kepada KPK bagaimana?

 

Rekomendasinya, karena terjadi malaadministrasi, KPK supaya mengangkat para pegawai ini (57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan memperbaiki regulasi karena salah satu kelemahannya di regulasi. Proses TWK yang menjadi keberatan para pelapor.

 

Kan, teguran itu juga ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN)?

 

Kalau ke BKN sudah dilaksanakan. Yang belum (dilaksanakan) malah KPK. BKN kami minta membuat peta jalan perencanaan penyusunan aparatur sipil negara. Strategi untuk merekrut pegawai masuk peta jalan atau tidak. Jadi, kalau ada perubahan kelembagaan dan menjadi ASN, dasarnya peta jalan tadi. Saya kira ini sudah dilakukan oleh BKN.

 

Apa jawaban Presiden atas rekomendasi itu?

 

Memang tidak ada ketentuan Presiden harus menjawab. Memang di situ ada sisi kekosongan dalam undang-undang kita bahwa setelah rekomendasi disampaikan ke Presiden, apakah Ombudsman boleh menanyakan kembali kepada Presiden. Kewenangannya tidak sampai ke sana.

 

Jadi kasus TWK sudah selesai?

 

Secara substansi selesai karena sudah dipenuhi oleh pemerintah karena kami tidak menolak regulasi bahwa untuk menjadi ASN ada mekanismenya, yang namanya seleksi. Persoalannya, seleksinya ini yang jadi masalah.

 

Apakah kewenangan Ombudsman sudah cukup untuk membuatnya disegani?

 

Ombudsman memang didesain oleh undang-undang maupun ataupun sebagai lembaga yang memberi pengaruh supaya orang lebih patuh kepada regulasi. Maka, dalam undang-undang, tujuan pembentukan Ombudsman adalah membangun budaya patuh hukum, yang akan membuat masyarakat menjadi antikorupsi. Artinya, kalau kita patuh regulasi, insya Allah orang itu tidak akan melakukan perbuatan melawan hukum. Kecenderungannya terjadi malaadministrasi (karena) orang tidak mematuhi aturan. Kecenderungan malaadministrasi ini akan bermuara terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sudah terbukti bahwa terjadinya korupsi pasti dimulai dari malaadministrasi.

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166275/apa-saja-tugas-ombudsman-indonesia

 

 

Akurasi Ukuran dalam Bahasa Indonesia

Ahmad Hamidi :  Jurnalis Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

TIAP hari besar seperti Lebaran, Natal, dan tahun baru Masehi datang, arus lalu lintas darat, laut, dan udara hampir selalu meningkat. Untuk mengutarakan intensitas kendaraan yang melintas, dalam berbagai berita, sering kita temukan ungkapan “lancar”, “ramai lancar”, “padat merayap”, “padat tersendat”, “macet”, dan “macet total”. Lewat ungkapan-ungkapan itu, sialnya, kita tidak segera tahu secara persis kondisi sesungguhnya.

 

Berapa selisih rata-rata kecepatan kendaraan dalam kondisi “lancar” dan “ramai lancar”? Bagaimana penguantifikasian konsep “padat merayap”? Dalam hal apa saja “padat merayap” dan “padat tersendat” menunjukkan perbedaannya? Berapa kilometer panjang minimal riritan kendaraan untuk dapat dikatakan “macet total”? Tidak ada indikator ukuran yang spesifik dan konvensional yang menyertainya.

 

Begitulah uniknya bahasa, selalu menyisakan ruang bagi ketidakakuratan. Kita jarang mempersoalkannya karena memang tidak perlu—atau tidak betul-betul mempedulikannya?

 

Soal makna, “lancar” dan “macet” bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V daring, masing-masing “tidak tersangkut-sangkut; tidak terputus-putus” dan “terhenti; tidak lancar”. “Lancar” dalam konteks ini dimaknai sebagai kondisi ketika kendaraan dapat melaju dengan kecepatan stabil, cenderung tinggi, tanpa hambatan. “Macet” sebenarnya sudah menggambarkan tingkat ketersumbatan tertinggi, tanpa perlu embel-embel “total”. Namun, demi mencapai nuansa macet yang sebenar-benarnya macet, kata itu dipakai sebagai penguat (adjective intensifier) yang dapat memunculkan imaji barisan kendaraan tak bergerak sama sekali dan minta ampun panjangnya dalam durasi yang lama.

 

Begitu pula ketika banjir merendam wilayah tertentu. Tidak semua pewarta di lapangan menggunakan satuan ukur matematis dalam mewartakan ketinggian banjir. “Saat ini ketinggian banjir terpantau mencapai pinggang orang dewasa,” seolah-olah kita telah bersepakat dengan patokan semacam itu, mengukur dengan tubuh. Tanpa angka-angka, kita yang tidak mengalaminya, yang cuma menyaksikan via layar kaca, dapat membayangkan barang dan perkakas rumah tangga apa saja yang direndam banjir itu. Kita diajak memperkirakan apa saja aktivitas yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh para penyintasnya. Entah setinggi apa orang dewasa itu, toh, tidak kita persoalkan lagi seolah-olah tinggi manusia dewasa di bumi ini sama belaka. Pokoknya “sepinggang”—atau “semata kaki”, “selutut”, “sedada”, “seleher”, dan “sekepala”.

 

Selain karena kebiasaan, keterbatasan, atau ketidaksiapan, dalam banyak kasus, ketidakakuratan dalam berbahasa dipicu oleh faktor kesantunan, terutama bagi sebagian besar budaya masyarakat etnis di Indonesia. Namun itulah hakikat bahasa. Ia bisa menjelasterangkan suatu maksud dan realitas ataupun mengabursamarkannya.

 

Sebelum menyajikan kepada kita, penjual rujak atau nasi goreng biasanya akan bertanya: “Pedes atau sedang?” Secara konseptual, “sedang” merujuk pada “rasa pedas yang terasa, tanpa membakar lidah”. Lho, apa ukurannya? Bagi penjual, ukurannya tersimpan secara kognitif berdasarkan pengalamannya melayani berbagai konsumen. Persoalannya, tidak semua lidah bersepakat dengan kata bermakna “antara” seperti itu. “Sedang” bagi konsumen A belum tentu sama bagi konsumen B. Begitu pula “pedas” menurut konsumen C boleh jadi tidak termakan oleh konsumen D.

 

Serupa dengan intensitas kendaraan dan ketinggian banjir, level kepedasan yang tidak jelas pengungkapannya dapat menimbulkan kesalahpahaman. Daripada dikecewakan oleh rasa, sebagai pembeli, katakan saja, “Saya pesan nasi goreng, sambel-nya 5 sendok”, atau, “Saya pesan rujak, cengeknya 5 biji”. Jelas. Terkuantifikasi.

 

Nah, karena cenderung “menodong”, sering kita enggan langsung menjawab begitu. Todongan serupa itu, dalam berbahasa, bisa menunjukkan ketidaksantunan. On-record, dalam bahasa Brown & Levinson (1987). Berdasarkan prinsip kerja sama (cooperative principles), jawaban serupa itu dianggap melanggar maksim kuantitas, yakni memberikan kontribusi (jawaban) yang lebih informatif daripada kebutuhan (pertanyaan) mitra tutur. Secara pragmatis, melanggar prinsip kerja sama berarti menambah “beban” bagi mitra tutur. Padahal, sebenarnya bukan masalah, kita sebagai pembeli berhak menyesuaikan selera.

 

Ketidakakuratan dalam menyatakan satuan ukur merupakan fenomena kultural yang bersifat universal. Untuk mengukur apa pun, nenek moyang umat manusia sejak dulu terbiasa memanfaatkan bagian tubuh dan segala benda serta fenomena di sekitar mereka. Kita ingat ada istilah “jengkal”, “hasta”, dan “depa”, yang oleh orang Inggris masing-masing disebut “span”, “cubit”, dan “fathom”. Dalam masalah waktu juga begitu.

 

Orang Sunda, misalnya, mengenal sejumlah penanda waktu yang berbasis pada harmoni antara mereka dan alamnya. Semua itu cuma perkiraan. Tentu tidak akurat. Sebagai contoh, kira-kira pukul 8 pagi disebut haneut moyan karena pada waktu itulah kegiatan berjemur lazim dimulai. Lalu kira-kira pukul 5 sore disebut ngampih laleur, seiring dengan masuknya lalat ke sarang. Kemudian kira-kira pukul 1 dinihari disebut wanci tumorék lantaran pada waktu itu alam terasa hening sehening-heningnya, tiada terdengar bebunyian apa pun. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166249/akurasi-ukuran-dalam-bahasa-indonesia