Kamis, 06 April 2017

Ke Mana Negara Mengembara?

Ke Mana Negara Mengembara?
J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                        KOMPAS, 04 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mengungkapkan kegalauan terhadap fenomena ancaman intoleransi, yang secara sadar dan sengaja diinternalisasikan kepada bocah usia amat dini, Oom Pasikom melukis karikatur kepala bocah plontos diinjeksi dengan serum "anti-keberagaman". Akibatnya, si bocah menjadi puyeng dan ndleming (mengigau): "SARA, intoleran, demi kekuasaan, dll". Di bawah tertulis: "Virus telah meracuni anak-anak kita!" (Kompas, 1 April 2017).

Karikatur tersebut mewakili persepsi publik bahwa proses menegara dengan pilar nilai-nilai keindonesiaan yang memuliakan keragaman telah keropos karena saraf otak yang merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimangsa oleh virus anti-keberagaman. Generasi muda yang sudah ditanami virus anti-keberagaman dapat dipastikan akan mudah digerakkan oleh motif-motif primordial dan instingtual demi kepentingan kekuasaan.

Kelumpuhan pusat saraf sentral negara mengakibatkan negara akan mengembara tanpa tujuan jelas. Negara berjalan limbung dan sangat mudah dikendalikan para elite penguasa untuk memuaskan dorongan angkara murkanya. Konstatasi ini bukan paranoid karena simtom-simtom amat nyata. Misalnya, megakorupsi KTP elektronik yang melibatkan petinggi negara, upaya kalangan anggota DPR menggalang kekuatan untuk menolak kandidat komisioner Komisi Pemilihan Umum dan anggota Badan Pengawas Pemilu karena ingin memasukkan unsur partai di lembaga independen, mengulur-ulur waktu penyelesaian RUU Pemilu, perdebatan hanya disibukkan dengan tawar-menawar ambang batas kursi di parlemen dan pencalonan presiden, upaya konsisten pelemahan KPK, anggota Dewan Perwakilan Daerah berbondong-bondong menjadi anggota partai politik, dan sebagainya.

Saraf sentral negara yang sudah dimangsa racun anti-toleransi mematikan nurani penyelenggaranya. Dalam cakrawala konstitusional, Pasal 1 Ayat (1), yang menegaskan: "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik", mendapat ancaman yang serius. Konsensus para pendiri negara merumuskan negara berbentuk republik menunjukkan para pendiri negara dan penyusun konstitusi paham sekali prinsip Republikanisme.

Hidup bersama hanya mungkin diwujudkan jika semua diurus oleh semua. Kehidupan bersama adalah urusan bersama (Res-publica, artinya 'public issue' atau 'public matter'). Intinya, negara mengurus kepentingan bersama. Gagasan Republikanisme yang berkembang ribuan tahun yang lalu melahirkan ide yang disebut kontrak sosial. Mulai dari Thomas Hobbes, Baruch Spinoza, hingga JJ Rousseau mempunyai paham dan keyakinan sama bahwa kehidupan masyarakat plural hanya dapat diwujudkan dengan nilai-nilai hasil konsensus bersama.

Oleh karena itu, toleransi, hak-hak pribadi, dan kebebasan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip dasar Republikanisme. Kesepakatan itu dilembagakan dalam kontrak sosial yang menghasilkan negara dengan tugas utama mewujudkan kesejahteraan umum, menjamin kerukunan, kebebasan, dan keanekaragaman. Negara dilarang memonopoli kebenaran, moralitas, serta nilai-nilai utama (virtue).

Peringatan

Fenomena ancaman serius terhadap konstitusi tersebut tampaknya menyengat Presiden Joko Widodo. Ia secara sekilas menyebutkan agar persoalan politik dipisahkan dengan agama (Kompas.com, 24 Maret 2017). Kebiasaan Presiden Joko Widodo mengungkapkan kalimat yang singkat sudah menjadi pemahaman umum sehingga publik tidak menafsirkan ucapan tersebut secara berlebihan. Namun, secara esensial, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar negara tidak dibiarkan "mengembara" tanpa tengara dan penanda. Arah bangsa menegara telah mulai jauh melenceng dari nilai-nilai mulia yang menjadi acuan bersama, Pancasila. Kegaduhan wacana bernuansa atau nyata-nyata SARA telah menyuburkan kebencian dan permusuhan masyarakat pada titik yang berbahaya. Jika gejala ini dibiarkan tanpa perlawanan, konstitusi hanya menjadi huruf mati. Partisipasi rakyat dalam kontestasi politik hanya menjadi agregat angka mati, bukan kumpulan pribadi-pribadi yang secara adikodrati mempunyai hati dan aspirasi.

Peringatan atau pepeling Presiden Joko Widodo menjadi amat penting karena dia ingin memicu atau mengaktifkan kembali obat penawar atau serum kekebalan yang berada di tubuh bangsa untuk melawan virus anti-keberagaman yang telah disuntikkan kepada anak-anak. Harapan tersebut tidak berlebihan mengingat rasa keprihatinan tokoh-tokoh masyarakat, para ulama, dan lain-lain mempunyai persepsi yang sama.

Mereka juga mempunyai tingkat keprihatinan yang setara. Apabila virus anti-toleransi dibiarkan berkembang biak dalam otak anak-anak muda, ia akan meluluhlantakkan negara yang sudah dibangun dengan darah, nyawa, serta derita. Karena itu, pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin yang mempertanyakan urgensi gelar aksi 313 merupakan tanda aksi-aksi yang bernuansa SARA sudah sampai tingkat yang membahayakan bangsa dan negara.

Sejalan dengan peringatan Presiden Joko Widodo serta isyarat dari para ulama besar, kompetisi politik putaran kedua Pilkada DKI Jakarta harus lebih mengutamakan nilai-nilai yang semakin memperkukuh nilai-nilai kebersamaan. Berbekal kekebalan tubuh bangsa, pengembaraan negara akan tegak lurus mewujudkan cita-cita bangsa dengan semakin meresapi nilai-nilai Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar