Investor
Asing di Pulau Tak Beridentitas
Tasroh ;
PNS di Pemkab Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific
University Jepang
|
SUARA
MERDEKA, 19 Januari 2017
“Komisi X DPR menolak
rencana itu. Mereka menilai pengelolaan asing atas pulau-pulau tak
beridentitas rawan eksploitasi atas kekayaan alam dan sumber daya hayati,
sekaligus menunjukkan ketidakberdayaan negara.”
PEMERINTAH,
baru-baru ini, mewacanakan pengelolaan pulau-pulau terluar tanpa identitas
tetapi berada dalam yuridiksi RI untuk dikelola oleh (investor) asing. Wacana
tersebut mendapat reaksi pro dan kontra. Yang pro menilai bahwa pendapat
pemerintah itu menjadi oase baru bagi tata kelola pulau-pulau tak
beridentitas yang berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
mencapai 4.000 lebih, di luar 17 ribu pulau yang sudah memiliki identitas.
Seperti
disebutkan oleh Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, pulau-pulau ini seolah berada
di luar angkasa, lantaran tak ada yang mau dan mampu menjangkau. Namun Komisi
X DPR menolak rencana itu.
Mereka
menilai pengelolaan asing atas pulau-pulau tak beridentitas rawan eksploitasi
atas kekayaan alam dan sumber daya hayati, sekaligus menunjukkan
ketidakberdayaan negara. Terlepas dari kedua pro kontra tersebut, harus
diakui, pengelolaan pulaupulau oleh asing tetapi masih berada dalam jangkauan
yuridiksi hukum dan teritorial NKRI, sejatinya bukanlah praksis baru dalam
tata kelola aset dan kekayaan bumi di berbagai belahan dunia. Banyak negara
yang justru mampu mengelola aset pulau-pulau di negaranya melalui investasi
asing seperti Jepang, Brasil, dan Balkan.
Jepang,
misalnya, mengembangkan potensi ekonomi pulau-pulau yang selama ini berada di
bawah kekuasaan mereka sehingga mampu menjadikan seluruh aset dan sumber daya
di pulau-pulau itu menghasilkan kekayaan melimpah. Jepang mampu menarik
investasi asing dari Eropa dan Amerika untuk membangun kawasan wisata
offshore mewah dengan industri andalan yang menjadi potensi alam dan laut di
pulau-pulau tersebut. Hingga 2016, terdapat 63 pulau kecil di semenanjung
Jepang yang laris manis sebagai kawasan wisata global dengan menghidupi
setidaknya 19 juta warga di kepulauan terluar Jepang.
Demikian
pula Brasil yang menyewakan 74 pulau terluar dan negaranegara Balkan mampu
melipatgandakan 2.873 kekayaan alam dan laut di pulau terluar dengan
menggandeng investor asing dari Jepang, Korea Utara, Tiongkok, dan
negara-negara kawasan Eropa lain. Karena itu, apa yang disampaikan oleh
pemerintah Joko Widodo melalui Menkopolhukam bukanlah tanpa dasar. Namun,
karena merupakan wacana baru yang masih amat sumir dan rawan menjadi bahan
kegaduhan baru, upaya pengelolaan pulau-pulau tanpa identitas di Indonesia
butuh kajian dan pendapat publik yang lebih luas. Pemerintah perlu segera
melakukan konsolidasi dan penguatan database terkait jumlah dan ragam aset di
pulaupulau terluar tersebut.
Pendataan
identitas pulau mencakup jumlah, jenis, kandungan aset serta raga habitus.
Mengingat belum tersedianya kebutuhan dan kepentingan investasi (dalam bidang
apa pun), pemerintah juga perlu membangun sistem informasi potensi
pulau-pulau tersebut agar calon investor mau dan mampu merealisasikan tujuan
investasi. Harus diakui, pengelolaan pulaupulau tanpa identitas yang mencapai
ribuan sering berakhir blunder.
Pemerintah
belum memiliki perangkat hukum yang tegas, jelas, dan tuntas sebagai negara
yang memiliki kuasa untuk keperluan tersebut. Data di Kemenkopolhukam (2016),
Pemerintah Indonesia hanya memiliki satu kebijakan berupa Peraturan Presiden
No 112/2006 tentang Tim Nasional Perubahan Nama Rupa Bumi sebagai landasan
operasional tata kelola pulau-pulau terluar dan tanpa identitas. Aturan yang
lebih detail hingga penegakkan hukum belum memilikinya.
Padahal
berdasarkan amanat PBB, khususnya dalam Traktat 287, Prosedur UCLOS ( United
Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982, seluruh pulau-pulau
yang berada dan diklaim sebagai wilayah kuasa negara tertentu sudah harus
diberi identitas pulau yang mencakup identitas aset, kepemilikan, alamat,
asal-usul, penghuni, otoritas negara/pemerintah serta sejarah (Ong Ho Kham;
Mengurus Sejarah Aset Pulau Terluar RI, 1998). Artinya, jika suatu negara
sudah mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut menjadi kuasa-miliknya berdasarkan
identitas sejarah geografis, secara yuridis global sudah saatnya untuk
dipastikan identitasnya.
Dengan
kata lain, pemerintah Joko Widodo berkewajiban untuk segera melakukan
langkahlangkah pengamanan dan pengelolaan pulau-pulau tanpa identitas
tersebut sebelum pihak asing (non investasi) berduyun-duyun melakukan klaim
dan tindakan aneksasi, seperti yang pernah dilakukan pemerintah Malaysia atas
Pulau Sipadan dan Ligitan yang sebenarnya berdasarkan hukum internasioal,
secara geografis masuk wilayah NKRI, tetapi lantaran puluhan tahun dibiarkan
tanpa identitas, akhirnya disikat Malaysia.
Karena
itu, ketimbang nasib tragis mengiringi kehidupan warga dan seluruh habitus di
pulau-pulau tanpa identitas itu,tak ada salahnya pemerintah berkampanye
menarik investasi asing untuk membangun oase baru kehidupan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar