Jangan
Biarkan Rakyat Terkotak-kotak
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai
Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 23
Januari 2017
Kebebasan
berserikat jangan sampai mendorong rakyat terkotak-kotak. Kini saatnya bagi
negara bersikap tegas guna menghentikan kecenderungan pengotak-kotakan itu.
Hak
rakyat membentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) harus tetap dihormati,
namun semua instrumen negara di bidang penegakan hukum harus menjalankan
fungsinya dengan efektif untuk mencegah tirani ormas. Fakta-fakta yang
mengemuka dalam beberapa pekan belakangan ini sangat memprihatinkan sebab
kebebasan berserikat membentuk ormas telah mengarah ke jalan yang nyaris
salah. Kesalahan itu memang belum terlalu parah karena hanya melibatkan
sejumlah orang yang nyata-nyata tidak mencerminkan perilaku mayoritas rakyat
Indonesia.
Namun,
kesalahan yang relatif masih kecil itu harus segera diluruskan agar perilaku
semua ormas di negara ini selalu berpijak pada hukum positif dan tidak
mengingkari, apalagi menista keragaman akar budaya seluruh rakyat Indonesia.
Kesalahan-kesalahan kecil perilaku beberapa ormas sebenarnya sudah terlihat
sejak lama, yang ditandai dengan memaksakan kebenaran menurut versi ormas
tertentu.
Namun,
ekses dari rangkaian kesalahan kecil itu mulai menimbulkan rasa cemas
berbagai elemen masyarakat ketika massa Front Pembela Islam (FPI) bentrok
dengan massa ormas Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia (GMBI) di Jalan
Soekarno- Hatta, Bandung, Kamis (12/1). Bentrok di Bandung itu berlanjut
dengan perusakan dan pembakaran Sekretariat GMBI di Desa Tegalwaru, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, Jumat (13/1) dini hari.
Dalam
kasus ini, polisi menangkap 20 orang terduga pelaku pembakaran. Namun, fakta
yang sangat memprihatinkan adalah tujuh di antaranya anak di bawah umur.
Setelah dua peristiwa itu, arus tuntutan menolak ormas seperti FPI dan GMBI
mulai disuarakan di sejumlah tempat. Ratusan warga Suku Dayak dari berbagai
organisasi yang tergabung di Forum Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah
(FMAD-KT) menggelar aksi turun ke jalan meminta FPI dibubarkan.
Di
Garut, Jawa Barat, Himpunan Santri Garut atau Hisgar mendatangi Gedung DPRD
Garut menuntut pembubaran GMBI. Sedangkan di Bangka Belitung, pengurus
Gerakan Pemuda Ansor juga menolak FPI. GP Ansor Kepulauan Bangka Belitung
mendesak gubernur dan penegak hukum tidak memberi ruang bagi ormas yang
intoleran dan anti-Pancasila. Tidak ada yang salah dengan prinsip kebebasan
berserikat atau menjadi anggota ormas yang berbadan hukum.
Namun,
ormas akan dikecam jika perilakunya tidak sejalan dengan hukum positif,
apalagi memaksakan kehendak atau sistem nilai lain yang bertentangan dengan
hukum positif itu sendiri maupun dengan norma-norma positif di tengah
masyarakat yang bersumber dari kearifan budaya masyarakat setempat. Ormas
tidak punya kompetensi untuk menyatakan suatu kebenaran sebagai hal yang
mutlak dan harus diterima apa adanya oleh orang lain. Sebab, ormas hanya
beranggotakan manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Ketika
sebuah ormas sudah bertindak dan bersikap melampaui hak dan kewajibannya, dia
akan kehilangan simpati dari mayoritas publik. Ketika ormas dengan perilaku
demikian mendapatkan pembiaran, akan muncul atau dimunculkan ormas lain
sebagai penangkal. Menjadi masalah serius bagi negara dan pemerintah jika
ormas-ormas yang saling bertentangan itu mendorong terjadi pengotak-kotakan
masyarakat. Kelompok warga A sebagai simpatisan ormas tertentu, dan kelompok
warga B sebagai simpatisan ormas lainnya.
Ketika
pengotak-kotakan yang demikian terjadi dan dibiarkan, itu benih konflik
horizontal. Bentrok FPI dan GMBI di Bandung patut dilihat sebagai benih
konflik horizontal itu. Itulah sebabnya, sejumlah elemen masyarakat
mencemaskan kecenderungan itu. Kebebasan berserikat atau membentuk ormas
seharusnya tidak disalahgunakan atau disalahtafsirkan. Perilaku ormas pun
tidak boleh mengarah pada sentimen memecah belah kerukunan dan kebersamaan
masyarakat.
Perbaiki Kesalahan
Upaya
memecah belah itu mulai terlihat ketika kelompok tertentu didorong untuk
menilai kelompok lain. Hal ini tentu akan membangkitkan semangat perlawanan
dari pihakpihak yang lain. Peristiwa yang menggambarkan sikap penolakan
puluhan warga Kalimantan Barat atas kedatangan seorang pejabat Majelis Ulama
Indonesia (MUI) di Bandara Susilo, Sintang, sungguh sangat memprihatinkan.
Warga
setempat menolak karena merasa pernah dilecehkan oleh yang bersangkutan.
Sedangkan di Jakarta dan Bandung, polisi harus menampung hujan laporan dari
berbagai elemen masyarakat karena seorang pemuka agama dinilai melakukan
penistaan. Sementara polisi masih memproses semua laporan itu, muncul lagi
kasus baru tentang penodaan lambang negara. Seorang pemuda ditangkap karena
membawa bendera RI bertuliskan Arab saat FPI melakukan demo. Untuk rangkaian
kasus itu, jangan dulu mempersoalkan siapa salah siapa benar.
Faktor
yang menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat adalah kenyataan bahwa
suasananya menjadi kurang kondusif akibat persoalan atau kesalahan kecil yang
tak perlu. Ruang publik menjadi sarat dengan tindakan saling hujat dan
pelampiasan kebencian. Jika semua elemen masyarakat tidak bisa menahan diri,
keadaan bisa menjadi sulit dikendalikan. Dalam suasana yang belum nyaman itu,
masyarakat tiba-tiba disuguhi berita tentang pertemuan seorang anggota MUI
dan rombongannya dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.
Seperti
diketahui, sebuah berita plus foto yang dilansir Kementerian Luar Negeri
Israel memperlihatkan pertemuan Presiden Israel dengan anggota Komisi
Pemberdayaan Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI, Istibsyaroh, dan rombongan
yang dipimpinnya. Foto memperlihatkan Istibsyaroh duduk di samping Rivlin.
Publikasi berita dan foto tentang Istibsyaroh-Rivlin oleh Pemerintah Israel
itu hendaknya tidak dilihat sebagai informasi belaka. Bukan tidak mungkin
Israel punya tujuan lain. Agen-agen Mossad di Asia tentu melihat dan
mempelajari dinamika masyarakat Indonesia sejak Oktober 2016 hingga Januari
2017.
Mungkin
saja publikasi itu bertujuan mempermalukan masyarakat Indonesia yang dikenal
sebagai pendukung Palestina dan anti- Israel. Kalau semua pihak tidak bisa
menahan diri, MUI akan menjadi sasaran kecaman. Di mata publik, kredibilitas
MUI akan runtuh. Kasus ini bahkan bisa menambah rumit persoalan yang sedang
berkembang hingga akhir-akhir ini. Beruntung bahwa masyarakat mau memahami
pemberitaan tentang Istibsyaroh-Rivlin itu dengan pikiran jernih sehingga
kesalahpahaman bisa dihindari.
Intinya,
segala sesuatu yang mengemuka akhir-akhir ini sedikit- banyak disebabkan oleh
kebebasan berserikat yang nyaris salah langkah. Kesalahankesalahan kecil itu
harus segera diperbaiki melalui peraturan perundang-undangan. Saat ini
rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) sedang dibahas
di DPR. RUU Ormas merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
tentang Ormas. Wajar jika revisi UU Ormas menimbulkan pro-kontra. Para
penggiat HAM khawatir revisi itu akan membatasi hak warga negara untuk
berserikat.
Kekhawatiran
seperti itu wajar saja. Namun, jangan lupa bahwa UUD 1945 memerintahkan
penyelenggara negara untuk menjamin hak rakyat untuk kebebasan berserikat.
Jadi, tidak mungkin UU bertentangan dengan UUD. Revisi memuat sejumlah tujuan
ideal. Ormas harus taat pada hukum positif. Hak warga bagi kebebasan
berserikat dan berkumpul tidak boleh melanggar hak warga lain. Ketika ormas
mulai memperlihatkan kecenderungan memaksakan pandangan atau sistem nilai
tertentu, negara wajib hadir untuk mencegah tirani ormas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar