Populisme
Donald Trump, Nasionalisme Megawati
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 24 Januari 2017
Panggung
politik dunia geger mendengarkan pidato inaugurasi Donald J Trump yang
mengguncang dunia (Kompas, 23/1). Bahkan, nada dasar pidato inaugurasi sama
dan sebangun dengan pidatonya dalam kampanye. Mereka yang kecewa tidak hanya
melakukan demonstrasi, seperti di Washington DC, New York, Philadelphia,
Chicago, dan Los Angeles. Demonstrasi juga merebak di kota besar negara lain,
seperti terjadi di Paris, Berlin, London, Praha, dan Sydney.
Bagi
rakyat Amerika Serikat (AS), pidato tersebut adalah mimpi buruk yang menjadi
kenyataan. Nilai-nilai demokrasi yang menjadi bagian dari kepentingan
nasional AS yang diperjuangkan agar diadopsi di seluruh pelosok dunia kandas
karena ulah presiden yang sedang gandrung dengan ”ideologi tertutup”,
memanfaatkan populisme memenuhi ambisinya menuju tangga Gedung Putih.
Upacara
agung justru menandai pupusnya sisa harapan mereka yang masih belum percaya Donald
Trump akan sungguh-sungguh mewujudkan retorika politik selama kampanye yang
membuat miris sebagian rakyat AS. Dalam pidato inaugurasi, Donald Trump
memberikan isyarat yang jelas kebijakannya ke depan menggerus kepercayaan
publik AS dan dunia terhadap nilai dan lembaga demokrasi yang memuliakan hak
asasi manusia (HAM). Tampaknya dunia akan segera menyaksikan akrobat politik
yang cukup berbahaya dengan pemain utamanya adalah Presiden AS.
Sementara
di belahan dunia lain, sekitar tiga minggu lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga menyampaikan pidato yang
menggeledek, membakar semangat, tegas, bahkan bernada keras. Nada dan
suaranya tidak kalah lantang dibandingkan dengan pidato Donald Trump. Namun,
bagi sebagian besar rakyat Indonesia, pidato tersebut menyejukkan, terutama
bagi mereka yang merasa miris, galau, dan cemas menghadapi kehidupan politik
akhir-akhir ini yang dibanjiri oleh berita bohong, rasa benci, dan menguatnya
politik identitas.
Pidato
yang sarat retorika politik, di telinga batin mereka, Megawati ibaratnya
sedang melantunkan kidung untuk mengusir suara parau, meraung-raung, gaduh,
intimidatif yang menggembar-gemborkan ”ideologi tertutup”, dogma yang
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Tembang yang mengalunkan ajakan
kepada rakyat Indonesia untuk merobohkan prasangka buruk sesama anak bangsa.
Putri proklamator sedang membangun rumah kebangsaan Indonesia yang ramah bagi
semuanya, bukan rumah hantu yang sebagian penghuninya memaksakan keseragaman
berpikir dan bertindak serta mengaduk-aduk sentimen suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Pesan pidato sarat dengan moralitas ideologis dan
keteguhan semangat perjuangan menegakkan nilai-nilai yang merawat semangat
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
Megawati
juga ingin menegaskan dan menyadarkan kepada seluruh anak bangsa bahwa
Pancasila adalah ideologi terbuka. Ia juga tidak ingin bangsa Indonesia
terjebak dalam perangkap kolonialisasi paham individualisme dan liberalisme
yang memuja pasar bebas. Mengultuskan gagasan tersebut telah membuktikan
ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar. Warga negara diturunkan
martabatnya sekadar robot yang bertekuk lutut kepada kepentingan pemilik
modal.
Pasar
bebas yang diagung-agungkan untuk meratakan kesejahteraan masyarakat ternyata
gagal karena tidak ada persaingan yang sempurna. Selalu saja terjadi
ketimpangan informasi dan akses masyarakat dalam kompetisi yang berideologi
pasar. Akibatnya, lembaga-lembaga politik produk liberalisme, partai politik,
lembaga perwakilan rakyat, serta perangkat politik demokratis lainnya
kehilangan kredibilitas.
Masyarakat
mencari alternatif lain, maka muncullah semangat populisme yang pada dasarnya
adalah paham anti elite, anti lembaga formal, dan anti kemapanan. Para pemuja
populisme selalu mengaku dirinya ”paling rakyat”. Seiring dengan itu,
”tandem” dari populisme adalah nasionalisme eksklusif. Adonan dua ideologi
tersebut amat mudah dijadikan kuda tunggangan oleh para aktor politik yang
ingin memenuhi ambisi kekuasaannya dan rela mengorbankan pluralitas bangsa.
Selain
itu, ia juga tidak sudi bangsanya bertekuk lutut pada sergapan kolonisasi
dogma atau ajaran yang memutlakkan kebenaran subyektif, totaliter, dan
menutup dialog konstruktif yang dapat menjembatani perbedaan. Dalam hidup
bersama, menutup dialog adalah kemustahilan. Karena bagaimanapun, setiap
ideologi dan dogma, atau apa pun namanya, selalu mempunyai dimensi
rasionalitas yang dapat dijadikan dasar dialog untuk hidup bersama. Dari
sinilah akan lahir konsensus. Namun, untuk itu sangat diperlukan perdebatan
yang mengandalkan akal sehat agar ruang publik menjadi media untuk pertukaran
gagasan yang menghasilkan kesepakatan yang rasional.
Dalam
konteks kekinian, pidato Megawati adalah genderang perjuangan ideologis tidak
hanya ditujukan kepada kader PDI-P, tetapi juga bagi seluruh komponen bangsa
untuk merapatkan dan merapikan barisan agar selalu merawat Indonesia
berdasarkan Pancasila. Bahkan, secara khusus, ia juga menegaskan dukungannya
kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla agar tidak ragu-ragu
bertindak tegas sekiranya terdapat elemen-elemen yang mencoba mengancam
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh
karena itu, untuk menghindari jebakan ideologi individual liberalistik serta
dogma-dogma ideologi tertutup, para pendiri bangsa sejak awal telah
mencanangkan demokrasi Indonesia adalah sosio-demokrasi. Maknanya, tidak
hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi dalam sosial-ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar