Badan
Siber :
Menata
dan Mengelola Masyarakat Modern
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 23 Januari 2017
Kemajuan
teknologi digital memiliki potensi besar menuju terjadinya transformasi
proses tradisional kepemerintahan. Keinginan Indonesia melakukan pengamanan
lalu lintas internet setelah meluasnya berbagai berita palsu (hoax) dan
merebaknya radikalisme menjadi perdebatan luas di kalangan para pengguna
jejaring digital.
Niat
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mewujudkan Badan
Siber Nasional (BSN) sepertinya tidak memperhatikan isu, seperti keamanan,
privasi, dan kesehatan, yang memerlukan strategi regulasi pengawasan tingkat
nasional, regional, dan internasional. Ada kesan reaktif pembentukan BSN ini,
seolah-olah masyarakat pengguna jaringan internet perlu merasa aman dan
dijamin kehidupan modern menggunakan internetnya.
Menurut
laporan International Telecommunication Union (ITU), badan PBB yang menangani
masalah telekomunikasi komunikasi informasi, pengguna internet di dunia pada
2013 mencapai 3,1 miliar orang. Informasi berkembang secara eksponensial
lintas negara dan lintas perangkat yang tidak hanya mengandalkan komputer
mengakses berbagai data.
Internet
tidak hanya membuka dunia baru bagi informasi ataupun komunikasi sosial,
tetapi juga membawa berbagai isu masif, seperti akses ke informasi privasi,
ketakutan intrusi yang tidak berwenang, kontroversi kepemilikan dan
penguasaan isi internet, serta ancaman terhadap kedaulatan nasional. Semua
unsur pemerintahan di mana pun di dunia, termasuk Indonesia, berlomba menata
kemajuan teknologi baru yang berkembang lebih cepat dari pemerintahan itu
sendiri.
Dalam
gagasan BSN, seolah-olah hoax, radikalisme, dan sejenisnya hanya berasal dari
masyarakat pengguna saja. Mereka melupakan kalau aktivitas digital seperti
ini juga bisa berasal dari pemerintah sendiri. Ini dilema yang sangat rumit
dalam dunia modern memanfaatkan komunikasi informasi digital.
Berbagai
mesin propaganda di dunia mengadopsi teknologi modern ini sebagai cara
menyediakan gagasan dan pemikiran, tidak lagi mempersoalkan zona waktu,
tempat, dan ruang. Seseorang di mana pun berbagi informasi yang dibaca jutaan
orang dalam hitungan detik. Propaganda juga menjadi perkakas pemerintah untuk
berbagai tujuan, seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump
dan para pejabatnya sebelum dirinya dilantik sebagai presiden.
Dalam
konteks ini, ada beberapa yang perlu dipertimbangkan BSN. Pertama, sosial
media adalah perkakas perubahan dengan permainan baru (game changer), memengaruhi cara kelompok tertentu (politik,
pemerintah, negara, bahkan teroris) mengubah taktik, sekaligus bagaimana
tindakan selanjutnya diterima publik dengan tujuan mencapai pengaruh.
Kedua,
pembentukan BSN tidak bisa mengandalkan kerja sama pihak asing, seperti kerja
sama dengan Huawei mengembangkan mekanisme pengawasan, pemantauan,
penyadapan, dan sebagainya. Apa pun yang akan dilakukan dalam penyiapan
perangkat keras, banyak pihak ketiga yang memiliki agenda dalam rangka
kepentingan nasional masing-masing.
Ketiga,
pembentukan BSN jangan sampai gagal paham sebagai perangkat melawan hoax,
radikalisme, dan sejenisnya. Pembentukannya harus diikuti sistem birokrasi
keamanan berjenjang agar eselon yang tidak memiliki wewenang tak memiliki
akses informasi tertentu. Dalam penentuan calon duta besar, misalnya, usulan
nama-nama dubes oleh menteri luar negeri bersifat rahasia agar tidak
berpengaruh terhadap persetujuan negara tempat dubes tersebut berkedudukan.
Eksistensi
badan siber pada tingkat nasional tidak bisa didasari perkembangan hoax,
radikalisme, dan sejenisnya, agar kekuasaan negara tidak disalahgunakan dan
dimanfaatkan sepihak di dalam dan luar negeri. Ukuran keberhasilan badan
siber sangat tergantung dari norma dan nilai hukum yang menata, mengelola,
dan mengembangkan masyarakat modern. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar