Meredam
Gejolak Sosial Ormas
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Indonesian Institute for Social
Research and Development, Jakarta
|
JAWA POS, 17 Januari
2017
“Peace cannot be achieved
through violence, it can only be attained through understanding.”
Ralph Waldo Emerson,
transendentalis (1803–1882)
PERISTIWA
kekerasan yang melibatkan organisasi masyarakat (ormas) belakangan ini cukup
memprihatinkan. Pasalnya, tak hanya mempertontonkan aksi kekerasan dan
premanisme, ujungnya juga menyisakan rasa takut pada masyarakat.
Ormas
dewasa ini acap kali menimbulkan keresahan, bahkan konflik horizontal. Dampak
tindakan anarkisme itulah yang mendorong masyarakat meminta aparat kepolisian
cepat bertindak. Aparat berkewajiban menjaga ketertiban umum.
Publik
menuntut aparat kepolisian menindak ormas-ormas yang secara sengaja telah
membuat risau dan mengusik ketenangan rasa keamanan masyarakat. Apalagi,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah berjanji memperbaiki internal Polri
dan ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian
sebagai penjaga keamanan di tengah-tengah masyarakat. Polri pun pernah
berjanji mendorong dan memfasilitasi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
ormas sesuai dengan ketentuan yang ada.
Memang
sejatinya perdamaian tak bisa diraih dengan kekerasan, ia bisa dicapai dengan
saling memahami dan mengerti. Ungkapan satire seperti kutipan di atas penting
untuk mengingatkan bangsa ini, disebabkan sering kalinya terulang kasus
kekerasan di tengah-tengah masyarakat kita, begitu sangat memprihatinkan
serta mengkhawatirkan. Kasus bentrokan antarormas harus menjadi perhatian
bagi kita bahwa budaya kekerasan perlu ditolak.
Kasus
kekerasan di tengah masyarakat menyiratkan sebuah gejolak sosial pada akar
rumput (grassroots), terkadang pula mengungkit sentimen kesukuan, rasisme,
serta tribe yang ada dalam masyarakat kita. Faktor ekonomi sering kali tak
dapat dipisahkan, yang terkadang pula melibatkan sebuah industri, entah
hiburan, lahan, atau industri hasil perkebunan.
Hal
pokok yang harus dihindari adalah jangan sampai gejala rasisme, kesukuan, dan
primordialisme itu mengarah pada yang lebih sensitif. Mengutip Anne Booth
(1998), misalnya, mengarah pada perpecahan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seiring
seringnya terjadi kekerasan fisik yang melibatkan primordialisme masyarakat
tertentu, saatnyalah aparat keamanan negara tidak lagi memihak. Tapi
menengahi atau bertindak tegas kepada para oknum serta pelaku kekerasan.
Justru
terus berlangsungnya aksi kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat itu
menandakan lemahnya aparat keamanan negara ini. Jika terus dibiarkan,
dikhawatirkan masyarakat nanti semakin tak percaya lagi.
Tak
ada salahnya bangsa ini belajar dari rezim Orde Baru. Saat itu negara sangat
kuat. Jika ada kelompok masyarakat atau ormas yang dianggap meresahkan,
buru-buru dijadikan dan dicap sebagai kelompok masyarakat terlarang. Saat itu
aparat keamanan negara berhak menindak tegas setiap aktivitas mereka sehingga
di zaman Orde Baru kondisi dinamika kemasyarakatan cenderung stabil.
Namun
sekarang, negara cenderung lemah dalam hal keamanan dan pengamanan. Melihat
itu, tak ada salahnya negara sedikit represif, terutama kepada kelompok
masyarakat tertentu yang bermasalah karena telah menyalahgunakan hak berserikat
dan berkelompok.
Sebab,
atas dalih apa pun, kebrutalan dan anarkisme tidaklah dibenarkan. Sebab,
selain melanggar aturan, juga merugikan orang lain. Kekerasan harus dihadapi
dengan aturan hukum. Tugas aparat penegak hukum melakukan langkah preventif
atas adanya praktik-praktik kekerasan.
Tidak
dibenarkan jika aparat penegak hukum seakan-akan membiarkan hal itu terjadi.
Sedikit saja ada gejala kekerasan, sudah sepantasnya aparat penegak hukum
bertindak. Itu penting untuk melindungi aturan hukum atau konstitusi yang
berlaku sehingga tidak dilecehkan karena adanya perilaku kekerasan dan
anarkisme.
Di
masa mendatang, jika ada pihak-pihak dalam masyarakat yang terlibat suatu
konflik, sepantasnyalah menyelesaikannya secara dialogis. Dialog sebenarnya
instrumen yang strategis untuk melerai suatu konflik. Hendaknya mereka yang
terlibat konflik mengedepankan dialog daripada mendahulukan arogansi yang
berujung kekerasan fisik. Kekerasan tidak hanya merugikan pelakunya, tapi
juga menebar teror dan trauma kepada masyarakat.
Karena
itulah, kekerasan atas dalih apa pun tak dapat dibenarkan. Memang, menurut
Erich Fromm (1900–1980), secara naluri manusia memiliki agresi defensif yang
secara insting akan bereaksi menyerang atau melarikan diri jika kepentingan
hayatinya terancam.
Meskipun
tak sekaku naluri yang ada pada binatang, tidak kurang bukti bahwa manusia
pada umumnya termotivasi oleh kecenderungan yang terprogram secara instingtif
dalam melakukan agresi defensif bila nyawa, kesehatan, kebebasan, atau kekayaannya
terancam. Dengan naluri itu, sering manusia akhirnya memilih jalan kekerasan
dibanding dialog.
Padahal,
kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan persoalan
baru. Sebaliknya, dalam dialog ada proses diskursif yang berujung penemuan
solusi-solusi dan kesepahaman. Menurut Hans Kung (1999) dalam Global Ethic,
dialog harus dilakukan secara demonstratif, yakni mengemukakan pendapat
sepanjang-panjangnya sesuai kadar kebenaran yang dimiliki seseorang.
Namun,
itu tidaklah mutlak benar, masih memiliki kemungkinan salah. Karena itu,
seseorang semestinya menerima pendapat orang lain dalam berdialog. Sebab,
pendapat dari yang lain memiliki kemungkinan besar untuk menambal sulam
kelemahan pendapat yang kita miliki.
Karena
itu, dialog semestinya tidak mencari kebenaran, tapi mencari mufakat dua
pihak yang bertikai atau berseteru. Salah satu yang terasa hilang dari
tradisi bangsa ini adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Padahal, dalam
bermusyawarah terdapat sebuah dialog yang berguna memecah ketidaksepakatan
dan kebekuan-kebekuan dalam masyarakat itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar