Rabu, 28 Februari 2018

Perumusan Delik Zina dalam RUU KUHP

Perumusan Delik Zina dalam RUU KUHP
Umar Mubdi  ;   Pemerhati Hukum;  Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada;  Penulis buku Sejengkal dari Tubir
                                                  DETIKNEWS, 27 Februari 2018



                                                           
Delik zina dalam RUU KUHP menuai banyak perhatian dari sejumlah kalangan di masyarakat. Berkembangnya dua pandangan yang diametral, pro dan kontra, haruslah dipahami sebagai tumbuhnya percakapan rasional publik antarwarga negara. Dan, hal ini baik bagi kehidupan berdemokrasi. Tentu, percakapan ini dilakukan dengan cara yang tepat serta seluruh argumentasi haruslah berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga legislator yang mengemban amanah ini dapat menangkap aspirasi publik.

Pihak yang menolak delik zina dalam RUU KUHP berpandangan bahwa delik tersebut akan mengancam perempuan yang justru menjadi korban pemerkosaan. Selain itu, pasangan yang menikah secara siri dan hukum adat akan terjerat ke dalam rumusan delik. Perlindungan terhadap anak pun dianggap terlanggar karena dihapuskannya batas umur pada delik tersebut. Sedangkan pihak yang pro menganggap delik zina dalam RUU KUHP telah tepat dan persoalannya hanya tersisa pada aspek penegakan hukumnya semata.

Penulis pada dasarnya sependapat bahwa perzinaan haruslah dianggap sebagai perbuatan pidana karena bertentangan dengan moral dan nilai kesusilaan masyarakat. Hal tersebut ditempuh dengan menjadikan perzinaan sebagai objek kriminalisasi. Akan tetapi, penulis tidak sependapat dengan argumentasi yang cenderung menafikan keberadaan kelindan masalah dalam perumusan delik perzinaan.

Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai kritik terhadap perumusan delik perzinaan sekaligus tanggapan penulis terhadap argumentasi yang memapankan delik a quo. Sehingga dalam pembahasan terkait perumusan delik ini didapatkan pertimbangan lain berdasarkan perspektif kebijakan hukum pidana. Tujuannya agar hukum pidana yang sejatinya merupakan obat penawar (ultimum remedium) tak gagal menyembuhkan persoalan di masyarakat.

Rumusan Delik dan Kepastian Hukum

Untuk lebih jelasnya mengenai delik zina tersebut, Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP secara expressive verbis menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.

Perlu diketahui, perumusan delik zina tersebut merupakan bagian dari tahap formulasi kebijakan hukum pidana (criminal policy). Dalam konsep ini, tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana.

Tahap ini merupakan tahap yang paling sentral dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi tersebut menjadi dasar, landasan, dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi hukum pidana yang berikutnya, yakni tahap aplikasi dan eksekusi (Muladi, 1992).

Pada tahap formulasi ini, salah satu hal pokok adalah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya ditetapkan sebagai perbuatan pidana (Barda Nawawi Arief, 2002). Berkaitan dengan itu, kriteria utama di dalam perumusan suatu delik adalah memastikan perlindungan hukum secara in abstracto. Menurut Eddy O.S. Hiariej, perlindungan hukum tersebut bermakna substansi hukum pidana haruslah memberikan perlindungan hukum dengan dua parameter, yakni kepastian hukum dan non-diskriminatif.

Perumusan delik zina dalam pasal a quo sesungguhnya tidak memberikan kepastian hukum. Argumentasinya, pasal zina tersebut memiliki rumusan yang sumir yang dapat menjadi "jaring" besar untuk menjerat banyak perbuatan yang bukan termasuk ke dalam maksud dibentuknya ketentuan pidana (original intens). Sebab, pasal a quo dapat diberlakukan secara mutatis mutandis dengan delik pemerkosaan dalam Pasal 488 RUU KUHP karena rumusan delik zina bersifat umum dan tidak mengecualikan unsur tindakan pemerkosaan berupa "ancaman", "tanpa kehendak", "tanpa persetujuan". Belum lagi mengenai definisi dari masing-masing unsur rumusan delik zina yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Sumirnya rumusan delik zina a quo mengandung konsekuensi terjadinya over-kriminalisasi. Hal ini dikarenakan Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP bersifat overlapping dengan ketentuan pidana serupa mengenai kesusilaan. Masalahnya bukan pada perbuatan yang semula telah menjadi perbuatan pidana diatur lagi sebagai tindak pidana. Melainkan pada peningkatan penghukuman (punishment) yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (Douglas Husak, 2008).

Sebagai contoh, pelaku yang harusnya didakwa dengan pasal pemerkosaan sudah dapat dipastikan akan dialternatifkan dengan pasal zina. Jika unsur pemaksaannya tidak terbukti maka akan "ditampung" oleh pasal perzinahan yang sifatnya umum. Hal ini tentu tidak mencerminkan pengembanan hukum pidana yang baik karena sanksi pidana penjara yang harus ditanggung pelaku untuk kedua delik tersebut berbeda secara signifikan.

Selain itu, over-kriminalisasi ini juga terindikasi dengan tidak tercapainya maksud perumusan delik dengan tujuan hukum pidana (risk prevention). Hukum pidana saat ini haruslah ditujukan untuk pencegahan, rehabilitatif, edukatif, dan criminal incapacitation. Bukan hanya sebagai pembalasan. Delik zina a quo seharusnya dapat menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pencegahan kejahatan terhadap kesusilaan asalkan dirumuskan secara tepat.

Hal terakhir yang mengakibatkan delik zina a quo bersifat over-kriminalisasi adalah ancillary offense (pelanggaran tambahan) dalam penegakan hukumnya. Terutama dalam pembuktiannya yang mengandalkan alat bukti surat berupa visum et repertum. Tidak semua korban melakukan visum pada saat beberapa waktu setelah terjadinya delik. Sehingga menjadi hambatan tersendiri di dalam pembuktiannya.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika ada pendapat yang menyatakan tantangannya justru terletak pada penegakan hukum delik zina. Karena memang, sejak tahap formulasinya tidak dilakukan secara tepat. Rumusan delik zina a quo sangat mungkin untuk ditafsirkan secara ekstensif oleh aparat penegak hukum saat berhadapan dengan kasus-kasus perkawinan siri/adat maupun aduan mengenai korban pemerkosaan. Padahal, penafsiran ekstensif semacam itu menjadi hal yang dilarang di dalam hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas.

Modal Utama

Penggunaan hukum pidana sebagai strategi utama dalam pengendalian sosial, terutama dalam menanggulangi masalah perzinahan, haruslah dilakukan secara selektif dan terukur. Apabila elemen koersif di dalam hukum pidana guna menegakkan aturan hukum tidak diterapkan secara selektif dan terukur, justru akan menghasilkan ketidakadilan karena akan terjadi penghukuman yang berlebih. Kita tidak inginkan itu terjadi.

Oleh karena itu, modal utama dalam merumuskan delik zina yang tepat adalah kemampuan legislator untuk mengabstraksi berat-ringannya suatu tindak pidana, nilai-nilai dan tata urutan norma sosial, serta persoalan teknis pembentukan undang-undang. Inilah agenda penting dan terbuka guna pembentukan norma pidana yang baik di masa depan. Sehingga, penggunaan hukum pidana sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai harapan. ●

1 komentar: