Senin, 09 April 2018

Politik Agraria Jokowi-JK

Politik Agraria Jokowi-JK
Syaiful Bahari  ;   Pemerhati Masalah Agrarian;  Ketua DPP Petani NasDem
                                              MEDIA INDONESIA, 07 April 2018



                                                           
POLITIK agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata kembali struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan pembangunan.

Politik agraria bagi negara-negara eks kolonial memainkan peranan yang sangat penting dan menentukan dalam membangun struktur sosial-ekonomi masyarakat di negara-negara yang baru merdeka karena hambatan terbesar bagi negara-negara pascakolonial setelah merdeka seperti Indonesia ialah warisan ketimpangan struktur agraria yang menyebabkan kemiskinan di perdesaan dan keterbelakangan industri nasional.

Indonesia termasuk negara yang terlambat melakukan perombakan dan penataan kembali struktur agraria yang timpang sebagai warisan kolonial Belanda. Lima belas tahun setelah kemerdekaan barulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 sebagai dasar politik hukum agraria baru menggantikan hukum agraria Belanda.

Namun, jalan politik agraria nasional yang baru ini pun tidak berlangsung lama. Lima tahun kemudian (1965) setelah UUPA 1960 disahkan, ketika haluan politik-ideologi negara berubah di bawah Orde Baru, nasib UUPA 1960 semakin tidak pasti dan tidak lagi dijadikan sumber kebijakan negara dalam mengelola dan menata sumber daya agraria nasional.

Itulah sebabnya selama 54 tahun sejak kemerdekaan sampai reformasi wacana dan agenda 'reforma agraria' tidak muncul dalam politik pembangunan nasional. Meskipun MPR-RI setelah reformasi mengeluarkan Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, produk politik hukum tersebut hanya berjalan di tempat dan tidak tersambung dengan praktik kebijakan pemerintah baik pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, maupun SBY.

Bahkan setelah reformasi terjadi kemunduran dari sisi kelembagaan yang kementerian untuk urusan agraria dihapus dan sepenuhnya diserahkan ke BPN yang sebenarnya lebih banyak mengurus administrasi pertanahan. Dapat dikatakan dalam Orde Reformasi pun agenda reforma agraria belum ditempatkan sebagai bagian dari program strategis pembangunan nasional.

Reforma agraria di era Jokowi-JK

Agenda reforma agraria kembali menguat ketika Jokowi-JK memenangi Pilpres 2014. Dalam program prioritas Jokowi-JK yang dikenal dengan nama Nawa Cita, agenda land reform atau reforma agraria masuk Nawa Cita kelima. Tidak hanya berhenti di Nawa Cita, struktur kabinet yang dibentuk memulihkan kembali Kementerian Agraria sebagai lembaga negara yang tidak terbatas pada administrasi pertanahan, tetapi mencakup juga redistribusi lahan kepada petani kecil.

Kabinet Jokowi-JK membuka diri dan melibatkan pegiat reforma agraria baik dari LSM maupun organisasi tani untuk menyamakan persepsi dan mendesain program reforma agraria yang akan dijalankan. Setelah dalam periode sebelumnya antara pegiat reforma agraria dan pemerintah masih berjarak, di masa Jokowi mereka diberikan tempat di lingkaran istana kepresidenan (KSP). Keterbukaan ini belum pernah terjadi di periode sebelumnya. Meskipun begitu, masih ada beberapa LSM dan organisasi tani yang merasa tidak puas dengan implementasi kebijakan reforma agraria Jokowi-JK.

Apa yang membedakan reforma agraria Jokowi-JK dengan periode sebelumnya? Jokowi sangat paham, menuntaskan reforma agraria di Indonesia tidak mudah dan tidak bisa menempuh jalan pintas, apalagi dengan gaya penuh retorika revolusioner. Karena karakter Jokowi yang lebih suka kerja konkret berdasarkan prioritas dan terukur, program reforma agraria yang begitu kompleks dan sarat dengan kepentingan korporasi besar dan elite politik yang melindunginya dijalankan agar tidak menimbulkan konflik politik nasional seperti sejarah kelam pelaksanaan land reform 1960-an.

Upaya terpenting yang dilakukan Jokowi-JK ialah menyamakan persepsi di kabinet dan menyinergikan antarkementerian agar pelaksanaan reforma agraria berjalan dengan baik. Sebelum periode Jokowi-JK sektoralisme antarkementerian sangat kuat, sedangkan di era sekarang sektoralisme tersebut mulai mencair. Sebagai contoh dulu kawasan kehutanan hampir tidak tersentuh sama sekali, tapi kini melalui program perhutanan sosial lahan kehutanan masuk dalam objek reforma agraria.

Demikian juga dengan Kementerian BUMN mengerahkan sumber daya mereka baik melalui bank pemerintah maupun badan layanan umum (BLU) untuk memberikan kredit usaha rakyat (KUR) agar pascapembagian tanah atau pemberian hak pengelolaan hutan, para petani bisa memperoleh modal usaha untuk mengelola lahannya menjadi lebih produktif. Access reform yang menjadi bagian penting dari reforma agraria sudah mulai terlihat meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki.

Ketidakpahaman para pengkritik

Pelaksanaan reforma agraria Jokowi-JK baru berjalan empat tahun dengan prioritas legalisasi hak milik masyarakat melalui program sertifikasi tanah, redistribusi lahan telantar dan pemberian hak pengelolaan atas kawasan hutan baik di Jawa maupun luar Jawa. Program yang paling terlihat dan terekspos di media ialah pemberian sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak kelola hutan (IPHPS, HKM, dan kulin KK).

Jokowi menargetkan kepada Kementerian ATR/BPN 160 juta bidang tanah untuk disertifikatkan dan baru tercapai 46 juta bidang pada 2016, masih ada 80 juta bidang lagi yang harus diselesaikan. Padahal, periode sebelumnya, BPN hanya mampu menerbitkan sertifikat tanah 500 ribu per tahun. Untuk kawasan hutan Jokowi memerintahkan Kementerian LHK untuk mendistribusikan 12,7 juta ha untuk diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat.

Para pengkritik Jokowi mengatakan bagi-bagi sertifikat (BBS) bukan substansi dari reforma agraria, bahkan Amien Rais menyebutkan program BBS merupakan pengelabuan masyarakat. Sebagian lagi mengatakan reforma agraria versi Jokowi-JK tidak menyentuh persoalan ketimpangan dan monopoli penguasaan tanah oleh korporasi.

Tentu saja inti reforma agraria ialah merombak struktur agraria yang timpang dan memberikan lahan pertanian yang cukup untuk petani. Namun, perlu diingat Jokowi-JK mewarisi ketimpangan penguasaan tanah dari periode sebelumnya. Sistem administrasi pertanahan di masa lalu masih belum tertata baik akibatnya banyak hak tanah yang tumpang-tindih sehingga menciptakan konflik atau sengketa pertanahan.

Di samping masih banyak petani guram atau buruh tani yang tidak memiliki tanah, sebagian besar tanah milik masyarakat belum terdaftar atau tesertifikasi. Akibatnya tidak ada perlindungan hak kepemilikan tanah masyarakat oleh negara. Dengan demikian, program reforma agraria Jokowi-JK menyasar pada dua hal di atas: legalisasi hak milik dan redistribusi tanah kepada petani.

Para pengkritik Jokowi-JK, oleh karena ketidakpahaman mereka mengenai reforma agraria, hanya melihat dari satu sisi, yakni sertifikasi tanah. Seperti dikatakan sebelumnya program reforma agraria Jokowi baru berjalan empat tahun, sedangkan reforma agraria memerlukan waktu yang cukup panjang.

Sebagai contoh pelaksanaan reforma agraria di Jepang dilakukan dua tahap, pertama pada masa Restorasi Meiji dan tahap kedua setelah Perang Dunia II di bawah kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur ketika Jepang di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Di India, Filipina, dan sebagian Amerika Latin sampai saat ini reforma agraria masih berjalan meskipun berganti-ganti presiden.

Dengan demikian, menjadi sangat tidak realistis jika menilai reforma agraria Jokowi-JK berjalan di tempat, apalagi disebut sebagai kebohongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar