Bunga
Acuan dan Stabilisasi
Haryo Kuncoro ;
Direktur Riset SEEBI (the
Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs-UGM
Yogyakarta
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Bank
Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter tampaknya masih mencari-cari
formula yang tepat untuk mengantisipasi kondisi ekonomi makro ke depan.
Pada
awal Januari ini, Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal untuk tidak lagi
mengandalkan suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara
instrumen suku bunga acuan bersama nilai tukar dan pengawasan (surveillance)
lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sinyal
tersebut seolah menjadi pengakuan atas minimnya kontribusi kebijakan suku
bunga acuan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kendati demikian, sinyalemen BI di
atas masih dapat dimaklumi. Menurut UU No 23/1999 yang diubah sebagaimana UU
No 6/2009, tugas BI hanya satu, yakni memelihara stabilitas nilai rupiah
alih-alih mendorong pertumbuhan.
Pergeseran
fokus instrumen kebijakan moneter bisa jadi didorong oleh beberapa faktor.
Pertama, prospek inflasi pada tahun ini yang bakal melejit. Potensi gejolak
inflasi bersumber dari kenaikan harga barang yang diatur pemerintah, seperti
tarif dasar listrik, BBM, dan gas serta beberapa harga komoditas pangan yang
bergejolak.
Kedua,
bank sentral AS telah memberikan sinyal akan mengerek kembali Fed rate tiga
kali pada 2017 dan dua kali pada tahun berikutnya. Sinyal ini niscaya akan
memantik sentimen negatif berupa penyedotan likuiditas pasar keuangan
domestik menuju ke AS, yang dipandang sebagai tempat paling aman dari
ketidakpastian.
Ketiga,
kondisi perekonomian global memang sedang tidak kondusif. Kecenderungan
kebijakan ekonomi Trump yang proteksionis, perlambatan ekonomi Tiongkok,
krisis utang di Eropa, faktor Brexit, dan pelemahan harga komoditas unggulan
di pasar internasional menjadi penandanya.
Ketiga
faktor di atas tentu menuntut stabilitas menjadi prioritas utama dalam setiap
kebijakan ekonomi. Pemerintah pun moderat dalam menargetkan pertumbuhan
ekonomi. Alhasil, strategi stability over growth menjadi opsi paling layak
bagi BI dalam menempuh kebijakan moneter pada 2017 ini.
Persoalannya
kemudian apakah instrumen suku bunga acuan mampu menjalankan fungsinya sebagai
stabilisator perekonomian. Seandainya mampu, pertanyaan lebih lanjut, apakah
stabilitas bisa setimpal menebus ”pengorbanan” pertumbuhan ekonomi?
Secara
teoretis, pengendalian inflasi dapat ditempuh melalui kebijakan suku bunga
acuan. Apabila tekanan inflasi, misalnya mengalami kenaikan, bank sentral
meresponnya dengan menaikkan suku bunga acuan guna menahan laju aktivitas
perekonomian sehingga mengurangi tekanan pada inflasi.
Kebijakan
suku bunga acuan juga dapat memengaruhi nilai tukar. Kenaikan suku bunga
acuan mendorong kenaikan suku bunga diferensial lintas negara yang
selanjutnya menarik arus modal masuk. Aliran modal asing ini pada gilirannya
akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Belum sepadan
Dalam
praktik, kenaikan tekanan inflasi diukur dari inflasi target. Artinya, BI
memiliki rujukan yang kokoh kapan inflasi dikatakan mengalami tekanan dan
kapan pula tekanan inflasi mengalami penurunan. Sayangnya, hal ini tidak
terjadi pada nilai tukar. BI tidak secara eksplisit memasukkan nilai tukar
sasaran ke dalam penentuan suku bunga acuan.
Karena
itu, realisasi target stabilitas nilai tukar menjadi semakin pelik.
Persoalannya justru berawal dari penggunaan nilai tukar sebagai bagian dari
instrumen stabilisasi sistem keuangan. Secara implisit, BI menganggap nilai
tukar sebagai variabel endogen yang berada di dalam kendalinya.
Jika
asumsi tersebut berlaku, BI tentu lebih mudah mengimplementasikan program
stabilisasi pasar finansial. Intinya, BI mampu mengendalikan pergerakan nilai
tukar melalui intervensi jika terjadi gejolak di pasar valuta asing. Artinya,
asumsi endogenitas nilai tukar menghendaki BI memiliki cadangan devisa yang
cukup substansial.
Posisi
cadangan devisa Indonesia relatif kecil untuk ukuran (size) pasar valuta
asing. Dalam sistem devisa bebas, cadangan devisa dipegang oleh masyarakat
luas dan hanya sebagian kecil di tangan BI. Dengan demikian, nilai tukar
sejatinya adalah variabel eksogen sehingga semestinya diposisikan menjadi
tujuan, alih-alih instrumen.
Kekeliruan
memosisikan nilai tukar menjadi instrumen kebijakan akan berimbas pada
efektivitasnya, bahkan bukan mustahil memunculkan masalah baru. Komplikasi
akan muncul saat tujuan stabilitas inflasi dan kurs hendak dicapai
berbarengan. Inflasi dan kurs terkait dalam kerangka exchange ratepass-through.
Studi
empiris Taguchi dan Sohn (2014) menyimpulkan, derajat pass-through nilai
tukar untuk kasus Indonesia sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Artinya, pergerakan nilai tukar tidak terwakili sepenuhnya oleh fluktuasi
inflasi. Konsekuensinya, tugas yang dibebankan pada suku bunga acuan dalam
mengawal rupiah bakal semakin berat.
Alhasil,
dilema yang dihadapi adalah mengejar stabilitas sistem keuangan internal
(inflasi, suku bunga perbankan, dan likuiditas sektor keuangan) niscaya akan
mengesampingkan stabilitas sistem keuangan eksternal (pelarian modal,
cadangan devisa, dan nilai tukar). Demikian pula sebaliknya.
Melalui
mekanisme pengawasan, otoritas moneter mengondisikan perbankan dan lembaga
keuangan lain untuk mendukung program stabilisasi. Konsekuensinya, terjadi
mobilitas energi besar-besaran pada upaya memelihara stabilitas sistem
keuangan. Konkretnya adalah terjadi kontrol—alih-alih liberalisasi—pasar
keuangan.
Dengan
skema ini, pasar keuangan dibimbing menuju titik ekuilibrium yang baru.
Besaran target moneter menjadi aktor utama pengubah arah kebijakan di sektor
riil.
Akibatnya,
benefit stabilitas tidak sepadan untuk mengganti pengorbanan pertumbuhan
ekonomi. Alhasil, perekonomian nasional belum bisa lepas dari mitos
trade-off, yakni antara pertumbuhan dan stabilitas serta antara stabilitas
internal dan eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar