Trump
dan Polisi Dunia
Dinna Wisnu ; Associate Founder, Foreign Policy Community
Indonesia;
Vice Chair of Governing Board,
Indonesian Council on World Affairs
|
KOMPAS, 20 Januari
2017
Selepas
20 Januari ini, dunia harus menerima, suka atau tidak, Donald Trump sebagai
presiden Amerika Serikat ke-45. Membaca janji-janji kampanye Trump, saya
berkesimpulan bahwa Trump mungkin lebih akan menjadi pelengkap dari
kekurangan Barack Obama dalam hal kebijakan ekonomi dan politik AS di dunia
ketimbang menjadi dua entitas berbeda. Trump berpotensi memperkuat AS sebagai
polisi dunia karena segala warisan kebijakan presiden-presiden sebelumnya,
khususnya Obama.Beberapa pengamat ekonomi-politik meyakini, kebijakan yang
diambil Trump tak akan berbeda dengan Obama. Trump akan mengalami masa
”magang” 6-9 bulan di Gedung Putih di mana ia akan berhadapan dengan
masalah-masalah yang bersifat struktural ketika akan melaksanakan janji
kampanyenya. Setelah masa magang, ia akan menyadari dunia tak sesederhana
yang ia bayangkan. Ia akan ”jinak” dan memerintah seperti halnya presiden
terdahulu.
Saya
berpendapat, pandangan itu sebagian benar dan sebagian tidak. Trump memang
akan melaksanakan janji-janji kampanyenya, tetapi kondisi di lapangan yang
ditinggalkan Obama justru dapat memperkuat kepercayaan diri Trump menjadi
polisi dunia. Ia akan melanjutkan kepentingan AS dalam liberalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas di dunia, tetapi tak sama dalam hal pilihan dalam
menurunkannya sebagai kebijakan. Ia tak akan memilih kebijakan anti
globalisasi dan superproteksionis dalam kebijakan ekonominya. Trump dan Obama
akan berbeda dalam model agresivitasnya.
Persamaan
antara Obama dan Trump ini memang tertutup oleh perbedaan karakter yang
antagonis antara Obama dan Trump. Perbedaan ini dieksploitasi oleh media di
AS yang telah berpihak ke masing-masing kandidat sehingga persamaan kebijakan
Obama dan janji-janji Trump dalam kampanye tidak terlihat nyata.
Bagi
masyarakat Barat, karakter Trump yang ceplas-ceplos, kurang sensitif, anti intelektual,
patriarkis, narsis, dan Islamophobia sangat kontras dengan Obama yang
persuasif, teratur tata bicaranya, terpelajar, menghargai peran perempuan dan
keluarga, melankonlis, dan lebih akomodatif dengan masyarakat Muslim.
Perbedaan karakter ini relevan bagi masyarakat Barat karena menyangkut
nilai-nilai yang selama ini jadi dasar kebijakan ekonomi-politik negara dan
bahkan dasar untuk intervensi ke negara lain.
Contohnya
nilai-nilai lingkungan hidup. Saat ini nilai-nilai itu telah menjadi arus utama
dalam kebijakan ekonomi-politik dan gaya hidup masyarakat Barat. Masyarakat
Barat yang menjadi kaya akibat eksploitasi lingkungan sejak revolusi industri
100 tahun lalu telah menyadari kesalahan itu dan mulai mempromosikan
pentingnya kelestarian lingkungan. Nilai-nilai lingkungan hidup tak
berlawanan lagi dengan semangat kapitalisme di masyarakat Barat karena mereka
telah mampu menjadi pasar yang baru bagi energi alternatif terbarukan. Pasar
baru pada akhirnya merangsang tumbuhnya industri baru terkait kelestarian
lingkungan mulai dari perusahaan skala UMKM hingga industri besar, dari
sektor jasa terkait sertifikasi produk ekspor dan impor dalam perdagangan
komoditas dunia hingga manufaktur pembangkit listrik terbarukan.
Oleh
sebab itu, ketika Trump berkeyakinan bahwa perubahan iklim adalah hoax dan ia
kemudian berkeinginan mendorong investasi di komoditas batubara dan minyak
bumi, timbul kekhawatiran massal di dunia. Selain karena dianggap meremehkan
keseriusan masalah lingkungan, pernyataan itu berpotensi meredupkan pasar dan
industri terkait lingkungan hidup yang sedang tumbuh.
Para
investor khawatir investasi jutaan dollar di industri lingkungan hidup dan
energi terbarukan akan merugi. Kekhawatiran juga menyangkut Perjanjian Paris
yang menjadi komitmen negara-negara di dunia untuk mengontrol perubahan iklim
dan perjanjian atau kesepakatan ekonomi yang menyertakan lingkungan hidup
sebagai syarat perdagangan antarnegara.
Kesamaan dan perbedaan
Warga
negara berkembang (emerging market/EM)
yang berbeda kepentingannya dengan masyarakat AS atau negara maju di Barat
melihat hal yang berbeda.
Janji
kampanye Trump terkait lingkungan hidup sesungguhnya tak berbeda dengan
praktik di era Obama. Asaf Shalev dkk (2016) mengungkapkan, sebuah bank
ekspor-impor di bawah pemerintahan Obama telah menandatangani bantuan 34
miliar dollar AS dengan bunga rendah dan jaminan kepada perusahaan-perusahaan
dan pemerintah asing untuk membangun, memperluas, dan mempromosikan bahan
bakar fosil di luar negeri! Jumlah itu hampir tiga kali dukungan serupa yang
diberikan George W Bush pada dua periode pemerintahannya dan hampir dua kali
yang diberikan lewat pinjaman dan jaminan selama pemerintahan Ronald Reagan,
George HW Bush, dan Bill Clinton ketika dijumlahkan sekaligus.
Terkait
penggunaan cara-cara militeristik, kebijakan Trump diramalkan akan cenderung
lebih keras dan agresif daripada Obama. Ini bisa jadi kenyataan jika merujuk
pendapat Rex Tillerson, kandidat menlu Trump, yang menyerukan agar Tiongkok
dihambat aksesnya ke pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Pernyataan
itu dibalas media Tiongkok bahwa larangan itu akan jadi konfrontasi yang
merusak dan kedua belah pihak harus siap untuk terjadinya kekerasan militer.
Apa
persamaan dengan Obama? Kishore (2017) mencatat Obama adalah presiden yang
dalam dua periode pemerintahannya terlibat perang tak berkesudahan. Mulai
dari Afganistan dan Irak, pengeboman di Libya, perang proksi di Suriah,
keterlibatan dalam konflik di Afrika, dan memberikan dukungan ke Arab Saudi
untuk terlibatperang di Yaman.Keterlibatan dan operasi pasukan khusus juga
meningkat di era Obama. Karen De Young dan Greg Jaffe (2010) mencatat, pada
akhir pemerintahan Bush, Special Operation Forces (SOF) diterjunkan di 60
negara di seluruh dunia. Pada 2010 meningkat menjadi 75 negara. Nick Turse
(2017) mengutip keterangan Ken McGraw, juru bicara Special Operations Command
(SOCOM), bahwa keterlibatan pasukan AS bertambah lagi menjadi 135 negara di
2016. Angka itu peningkatan 80 persen selama lima tahun keterlibatan militer
AS di hampir 70 persen negara di dunia.
Obama
dikenal sebagai ”Drone President”. Per Januari 2016, Obama telah mengizinkan
506 serangan drone terbuka dibandingkan ”hanya” 50 di era George W Bush.
Gudang persenjataan drone AS meningkat eksponensial. Tahun 2000 militer punya
sekitar 50 drone. Pada 2012 melonjak menjadi 7.000 atau 140 kali meningkat
dalam 12 tahun (Hall-Blanco 2017). Penggunaan drone banyak dikritik karena
ketakakuratan dalam menyasar target dan lebih banyak memberikan kematian pada
warga sipil tak bersalah.
Urusan
ekonomi dan perdagangan mungkin adalah pembeda antara Trump dan Obama. Secara
umum, kebijakan ekonomi di bawah Obama bergerak positif, tetapi dengan
kelebihan dan kekurangannya. CNN dan Long (2016) mencatat beberapa kelebihan,
antara lain terciptanya 14 jutalapangan kerja baru, pengangguran berkurang
dari 10 persen (2010) menjadi 4,9 persen (2016), pertumbuhan ekonomi 2 persen
(meski lebih rendah dari masa sebelum resesi yang 3 persen) dan meningkatnya
harga perumahan.
Kekurangannya
adalah utang pemerintah berlipat ganda dari 10 triliun dollar AS (2009)
menjadi 19 triliun dollar AS (2017), 70 persen mahasiswa terjebak utang
pendidikan, dan upah buruh tak tumbuh 20 tahun terakhir. Jadi, secara umum,
Trump akan menerima warisan pertumbuhan ekonomi yang relatif baik daripada
ketika Obama mulai menjabat (Cohen 2016).
Yang
membedakan Obama dan Trump adalah dalam cara mendorong liberalisasi dan
globalisasi di dunia, tetapi dengan memaksimalkan manfaat sebesar-besarnya
bagi AS. Obama mendorong seluas-luasnya perdagangan bebas dan menempatkan
kepentingan perusahaan multinasional, khususnya obat-obatan dan Wall Street,
di atas kepentingan negara melalui perjanjian perdagangan regional dan
multilateral (Moberg 2015).
Cara
ini menurut Trump, merugikan kepentingan AS. Ia tak anti perdagangan bebas
dan bukan isolasionis. Dalam wawancara dengan CNBC, ia mengatakan, ”Ketika
saya melakukan negosiasi perdagangan, AS akan membuat kesepakatan yang bagus,
tetapi kita pasti akan tetap berdagang. Saya bukan isolasionis. Mungkin ada
yang berpikir demikian, padahal saya sama sekali bukan (isolasionis); saya
seorang free trader. Saya ingin free trade, tetapi haruslah fair trade”
(Domm, 2016).
Trump
melihat perjanjian perdagangan regional dan multilateral semata memfasilitasi
negara lain untuk maju, khususnya Tiongkok, India, dan EM lain, sementara
kepentingan AS tersubordinasi. Oleh sebab itu, ia mungkin akan berusaha
memperlemah kekuatan perjanjian dan kesepakatan multilateral yang telah
terjadi atau memperkuatnya jika perjanjian atau kesepakatan itu menguntungkan
AS sambil melakukan negosiasi bilateral dengan negara-negara yang dianggap
mitra.
Apa yang akan terjadi?
Obama
mewariskan hal baik dan buruk kepada Trump. Obama memang melakukan terobosan-terobosan
yang dapat menyumbang ke perdamaian dunia, seperti keberhasilan mencapai
kesepakatan nuklir Iran atau membuka hubungan diplomatik dengan Kuba. Obama
juga peduli hak-hak sipil minoritas, seperti LGBT dan kebebasan warga Muslim
di AS. Dalam ekonomi, ia juga berusaha mencapai kesepakatan perdagangan
dengan EM untuk bisa meningkatkan volume dan kualitas perdagangan dengan
melakukan kerja sama dan bukan dengan persaingan secara langsung dan terbuka.
Cara ini dianggap dapat lebih konstruktif dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dunia.
Di
sisi lain, dalam konteks kebijakan politik luar negeri dan militer,
pemerintahan Obama juga terlibat dan memfasilitasi ketakpastian di dunia jauh
lebih buruk dibandingkan presiden sebelumnya. Saya pesimistis Trump akan
lebih lunak mengingat karakter dan visi Trump yang jauh lebih konfrontatif.
Tak tertutup kemungkinan ia melakukan hal lebih buruk daripada Obama.
Contohnya, keinginan Trump meningkatkan hulu nuklir agar dapat mengimbangi
kekuatan nuklir negara lain, terutama Rusia. Keinginan yang sebetulnya dapat
diredam jika Obama tak mengusulkan anggaran pembaruan kemampuan nuklir AS 30
tahun kedepan dengan total dana 1 triliun dollar AS.
Trump
adalah pengusaha yang melihat segala sesuatu dari analisis untung-rugi. Segala
langkah AS akan dihitung dari seberapa besar akan menguntungkan secara
ekonomi. Jika ia menganggap Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang, atau negara
mitra di LTS harus membayar ”biaya keamanan” untuk kenyamanan yang sudah
disediakan oleh AS, tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan hal itu.
Dari
sisi ekonomi, perang ekonomi terhadap Tiongkok yang awalnya dilakukan secara
halus melalui perjanjian perdagangan dalam pemerintahan Obama mungkin akan
lebih terbuka di era Trump. Perang ekonomi ini dapat saja menjalar ke ancaman
perang secara fisik jika AS dan Tiongkok tak bisa menemukan titik temu untuk
mengurangi perbedaan mereka.
Dalam
beberapa minggu terakhir masa jabatannya, Obama mencoba membatasi akses Trump
atas segala keistimewaan yang ia miliki semasa menjabat. Contoh,
dikeluarkannya aturan baru dalam Executive Order (EO) 12333, minggu lalu,
yang mengizinkan National Security Agency (NSA) melepas data-data privat
mentah yang dikumpulkan melalui penyadapan komunikasi di luar negeri kepada
lembaga intelijen lain (AS memiliki 16 lembaga intelijen). Upaya ini juga
salah satu cara mengembalikan lagi proses check and balance badan-badan lain
di eksekutif, legislatif, atau yudikatif untuk keputusankeputusan terkait
kepentingan di luar negeri yang selama ini, terutama sejak masa Reagan,
kurang ditaati. EO ini mungkin dapat memperlambat nafsu Trump dalam mengambil
kebijakan-kebijakan sepihak.
Lebih
dari itu semua, warisan kebijakan Obama yang melanggengkan ketakpastian dan
kekerasan di dunia telanjur ada di luar sana. AS punya kepentingan nasional
untuk mengubah dan mengatur pola-pola relasi antarnegara (dan antarkelompok)
di dunia demi pemajuan agenda politik di dalam negerinya. Ini adalah pokok
dalam keterlibatan AS di banyak isu di dunia.
Indonesia
yang belakangan ini sangat fokus ke dalam negeri dan isu-isu luar negeri yang
terbatas pada perlindungan WNI di luar negeri, pembangunan infrastruktur, dan
pertumbuhan ekonomi, khususnya perdagangan, perlu menyadari bahwa negara
dengan posisi geografis, sejarah, dan jumlah penduduk sebesar Indonesia tak
akan sanggup menanggung akibatnya sekadar menunggu, merespons, apalagi ikut
arus. Keaktifan yang dituntut dalam konstitusi kita dengan tegas menolak
intervensi dan tekanan-tekanan dari negara-negara yang saling bersitegang di
dekat kita, di kawasan kita, dan di negara-negara yang senasib sebagai negara
berkembang. Menyuarakan penolakan dan menghentikan cara-cara negara lain yang
tidak sejalan dengan konstitusi Indonesia adalah suatu kewajiban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar