Empat
Tahun BPJS Kesehatan
Badrul Munir ; Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar;
Dosen Neurologi FK Universitas
Brawijaya
|
KOMPAS, 20 Januari
2017
Tak
terasa pada 2017 ini BPJS Kesehatan kita telah menapaki tahun keempat, sebuah
usia yang masih relatif muda untuk sistem layanan kesehatan semesta yang
hendak mencakup ratusan juta penduduk.
Berapa
capaian prestasi BPJS Kesehatanmemang layak diapresiasi. Berjuta manfaat
kesehatan telah dinikmati oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Namun,
tantangan ke depan akan semakin berat dan kompleks.
Salah
satu masalah krusial adalah defisit anggaran BPJS yang dari tahun ke tahun
belum bisa diselesaikan dengan tuntas dan jadi momok. Akibatnya ada semacam
ketakutan akan keberlangsungan program asuransi ini di waktu yang akan
datang.
Defisit
anggaran terjadi akibat ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran.
Hal ini sudah menjadi masalah kronis yang belum bisa terurai dari tahun ke
tahun. Rendahnya pemasukan anggaran disebabkan jumlah peserta keanggotaan
BPJS sampai akhir 2016 masih jauh dari target. Hal lain, besaran iuran
kepesertaan jauh dari angka ideal, baik kelas 1, 2, maupun 3. Akibatnya
jumlah pemasukan sangat kecil dan jauh dari kebutuhan yang seharusnya.
Sementara
pengeluaran BPJS dari tahun ke tahun terus membengkak. Defisit yang terus
membengkak memaksa pemerintah harus menambah dari APBN. Sebuah upaya yang
cukup berat karena APBN yang saat ini pun terkesan berat berkaitan dengan
kondisi perekonomian dunia yang tak kondusif.
Tidak solutif
Beberapa
langkah yang diambil pemerintah dan BPJS selama ini rasanya belum mampu
mengurai permasalahan kronis ini. Yang menyedihkan, untuk mengatasi
permasalahan ini, pemerintah (BPJS dan Kementerian Kesehatan) lebih cenderung
menekan pengeluaran biaya kesehatan (kendali biaya). Beberapa kebijakan
kendali biaya yang dilakukan antara lain menekan banyaknya rujukan ke
fasilitas kesehatan (faskes) 2 dan 3. Juga menekan pengeluaran pembiayaan
dengan mempersempit biaya klaim terhadap semua jenis penyakit, penyusunan
formularium obat yang sangat minimalis dan tidak masuk akal, dan penyusunan
kode pembayaran INACBG yang jauh dari kata ideal.
Beberapa
kebijakan di lapangan setingkat peraturan menteri dikeluarkan silih berganti.
Semua cenderung mengarah ke kendali biaya jika dibandingkan dengan kendali
mutu. Puncaknya adalah Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 yang mengatur selisih
biaya kamar pada pasien BPJS yang naik kelas dan melarang selisih biaya
lainnya. Suatu kebijakan yang bukan hanya egois, melainkan jugamenunjukkan
arogansi kebijakan BPJS terhadap penyedia layanan kesehatan sebagai mitra
kerjanya.
Lebih
disayangkan lagi, pemerintah dan BPJS dalam setiap pengambilan keputusan
teknis tanpa didahului komunikasi dua arah dengan praktisi kesehatan dan
penyedia layanan kesehatan (organisasi profesi dokter dan dokter spesialis,
tenaga kesehatan lainnya, dan penyedia layanan kesehatan). Akibatnya selalu
terjadi kegaduhan dan ketakjelasan saat pelaksanaan di lapangan dan akhirnya
peserta BPJS yang menjadi korban.
Penyusunan
standar pelayanan minimal (SPM) yang dikeluarkan pemerintah pun jauh dari
ideal karena tidak melibatkan para ahli dan cenderung menekankan biaya murah
dibandingkan kualitas layanan. Perkembangan ilmu kedokteran yang begitu cepat
dan telah dipelajari para sejawat dokter ahli harus dikerdilkan oleh layanan
kesehatan minimalis ala BPJS ini.
Jika
SPM ini tak diperbaiki, keprofesionalan dan indepedensi profesi dokter dalam
mengobati pasien akan mudah goyah dan tidak menguntungkan pasien. Tak usah heran
jika rendahnya kualitas SPM BPJS saat ini kerap dipelesetkan sebagai standar
pelayanan memilukan.
Rendahnya
kualitas layanan kesehatan mungkin tak dirasakan sebagian besar peserta BPJS.
Mereka pada umumnya merasa senang dengan pengobatan gratis. Akan tetapi, bagi
paradokter, mereka tentu akan merasa bersalah dan kurang optimal dalam
memberikan layanan kesehatan kepada para pasien.
Namun,
yang memilukan, kualitas layanan kesehatan BPJS ini hanya untuk rakyat
jelata. Adapun para pejabat pemerintah (termasuk pejabat dan pegawai BPJS),
jika sakit dan mencari layanan kesehatan, mereka pasti tak akan mau hanya
menggunakan BPJS. Mereka menggunakan tambahan asuransi swasta yang berbayar
mahal dengan fasilitas sangat memuaskan. Sementara rakyat dan masyarakat umum
dipaksa menerima layanan kesehatan di bawah standar ala BPJS. Begitu
hipokritnya pejabat pemerintahan kita ini.
Perbesar pemasukan
Langkah
strategis harus diambil pemerintah dan BPJS Kesehatan, yakni memperbesar
pemasukan, baik dalam cakupan peserta BPJS maupun kenaikan biaya pembayaran
iuran, atau cara lainnya, Seharusnya BPJS Kesehatan meniru kerja Kementerian
Keuangan dalam mengejar target pajak untuk pemasukan APBN. Lihatlah gigihnya
Dirjen Pajak dalam mencapai target pajak yang ditetapkan pemerintah. Beberapa
langkah strategis telah diambil dan dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan, termasuk amnesti pajak yang telah menyelamatkan jebolnya
APBN kita.
BPJS
Kesehatan selama ini lebih asyik menekan pengeluaran dengan berbagai
kebijakan teknis di lapangan. Langkah itu tidak hanya menurunkan kualitas
layanan kesehatan, tetapi juga membodohi rakyat dengan sistem jaminan
kesehatan yang jauh dari kata standar
Maka,
dibutuhkan langkah nyata dan holistik pemerintah dan BPJS Kesehatan agar pemasukan
semakin besar. Hanya dengan pemasukan yang cukup besar akan memberi ruang
fiskal yang memadai, yang akhirnya berdampak meningkatnya kualitas layanan
kesehatan. Hal ini penting karena sistem layanan kesehatan yang baik tidak
hanya mengedepankan kendali biaya, tetapi juga harus kendali mutu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar