Dari
Paris untuk Perdamaian
Broto Wardoyo ; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional, UI
|
KOMPAS, 20 Januari
2017
Konferensi
Paris untuk membicarakan perdamaian Palestina-Israel dilangsungkan pada
minggu ini. Pertemuan yang diikuti lebih dari 70 delegasi tersebut sayangnya
tidak dihadiri Israel. Jika demikian, adakah makna dari pertemuan tersebut?
Ada
tiga prakondisi penting untuk menilai signifikansi Konferensi Paris. Pertama,
konferensi dilakukan pasca keluarnya Resolusi DK PBB 2334 yang menegaskan
status permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur sebagai hal yang
ilegal. Pembangunan permukiman Yahudi dalam periode kepemimpinan Bibi
Netanyahu jadi penghambat serius proses negosiasi perdamaian. Pemerintahan
Bibi secara sistematis menggunakan kebijakan ini sebagai sarana memperluas
penguasaan de facto wilayah di Tepi Barat, utamanya Jerusalem Timur.
Penguasaan
wilayah secara de facto jadi hal yang penting dalam proses negosiasi,
mengingat kerumitan yang bisa ditimbulkan dalam proses penentuan tapal batas.
Upaya penarikan mundur dari wilayah yang secara de facto ditinggali biasanya
lebih sulit dilakukan karena adanya penolakan dari para pemukim sehingga
tukar guling wilayah jadi opsi yang lebih masuk akal. Dalam konteks itulah
kebijakan pembangunan permukiman Yahudi yang diambil oleh pemerintahan Bibi
menjadi ancaman bagi solusi dua negara. Patut dicatat, salah satu tujuan
Konferensi Paris adalah untuk menegaskan kembali solusi dua negara sebagai
basis utama penyelesaian masalah Palestina-Israel.
Kedua,
terkait Resolusi DK PBB 2334, ada pergeseran sikap Amerika Serikat dalam
memandang penyelesaian masalah Palestina-Israel. Meski penolakan AS untuk
menggunakan veto dalam usulan resolusi terkait dengan Israel tersebut
bukanlah pertama kali terjadi, lolosnya Resolusi DK PBB 2334 memperlihatkan
”keberanian” AS untuk menyudutkan Israel. Sayangnya, sikap tersebut diambil
oleh Presiden Barack Obama di penghujung masa jabatannya. Hal ini
mengingatkan pada pilihan serupa Presiden Bill Clinton di Camp David tahun
2000. Persis di penghujung masa jabatannya, Clinton menawarkan Clinton
Parameters sebagai salah satu usulan damai paling berimbang yang pernah
diusulkan AS.
Kegagalan
untuk menyepakati tawaran dalam Clinton Parameters itu mengakhiri proses
Oslo, sesuatu yang tidak mustahil kembali terulang saat ini. Perubahan dari
Presiden Obama ke Presiden Donald Trump tidak menutup kemungkinan akan
senasib dengan pergeseran dari Presiden Clinton ke Presiden Bush Jr. Sama
halnya dengan Bush Jr, Trump juga menunjukkan sinyal keberpihakan kepada
Israel.
Ketiga,
konferensi tersebut dilakukan setelah perubahan yang signifikan dalam posisi
internasional Palestina. Sejak kegagalan Camp David, Palestina mengubah
strategi dengan memilih menggunakan PBB sebagai media untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan. Pilihan melalui PBB tersebut menghasilkan lebih banyak
keberhasilan, termasuk keanggotaan Palestina di beberapa organ PBB, dan
secara signifikan memengaruhi posisi tawar Palestina dalam negosiasi dengan
Israel. Konferensi Paris jadi tambahan amunisi bagi Palestina dalam proses
negosiasi.
Pergeseran
strategi Palestina tersebut, sayangnya, tidak mengubah kondisi domestik di
negara tersebut. Pergeseran itu lebih menunjukkan adaptasi dari Fatah, faksi
terbesar di dalam Organisasi Pembebasan Palestina, dan belum mampu menyatukan
faksi-faksi utama lain—terutama Hamas—untuk membangun strategi perjuangan
yang terintegrasi. Artinya, pergeseran tersebut tidak mampu mengatasi
perpecahan internal Palestina yang selama ini menjadi hambatan serius bagi
proses negosiasi dengan Israel. Ketidakmampuan untuk melibatkan Hamas dalam
upaya negosiasi tersebut berpotensi memunculkan gangguan- gangguan dalam
bentuk ”serangan teror” terhadap Israel.
Dua catatan penting
Ketidakhadiran
Israel dalam Konferensi Paris dan minimnya komitmen AS akibat pergantian
kepemimpinan sudah menjadi pukulan bagi masa depan perdamaian. Selain itu,
ada dua catatan penting lain terkait Konferensi Paris dan masa depan proses
perdamaian.
Pertama,
konferensi ini tampaknya tidak akan mampu memberikan tawaran perdamaian yang
nyata, apalagi tanpa kehadiran Israel, dan hanya berfungsi sebagai pengingat
bahwa hingga saat ini belum ada opsi lain di luar solusi dua negara.
Permasalahan yang ada selama ini terkait dengan opsi dua negara adalah tidak
adanya kejelasan detail mengenai kesepakatan apa saja yang harus ditorehkan.
Ambillah contoh apa yang kemudian harus dilakukan dengan isu permukiman
Yahudi.
Ada
dua masalah yang berkembang dalam isu ini. Pertama, pemberian izin perubahan
status terhadap permukiman-permukiman ilegal yang telah berdiri oleh
Pemerintah Israel. Kedua, perubahan izin tersebut sering terkait dengan
natural growth (pertumbuhan alami) yang dipandang sebagai sebuah kewajaran.
Kritik terhadap pemerintahan Bibi oleh beragam organisasi karena dianggap
mengarahkan pertumbuhan alami tersebut untuk memperluas wilayah dengan secara
perlahan menggusur permukiman non-Yahudi yang sudah ada di wilayah yang
dipersengketakan.
Mengingat
pemberian izin pembangunan merupakan domain domestik, maka cenderung sulit
bagi masyarakat internasional untuk melakukan intervensi. Karena itu,
diperlukan upaya yang lebih terarah guna menghentikan proses pembangunan
permukiman, misalnya dengan memotong aliran pendanaan bagi pembangunan
permukiman tersebut.
Kedua,
Konferensi Paris juga mengingatkan masyarakat internasional pada isu mediator
perdamaian. Proses perdamaian Palestina-Israel tak dapat dilepaskan dari
peran sentral AS sebagai mediator. Baik sendiri maupun kelompok kuartet, AS
memegang kunci dalam penyelesaian konflik ini. Meskipun Konferensi Paris
dihadiri oleh sejumlah negara yang memberikan dukungan tegas bagi Palestina,
tak satu pun dari mereka yang bisa memainkan peran utama sebagai mediator
dalam proses negosiasi Palestina-Israel. Kevakuman peran mediator AS, seperti
muncul dalam periode pasca Camp David, tak pernah diisi oleh negara lain
hingga akhirnya hadir inisiatif John Kerry pada 2014.
Beberapa
negara kunci dalam Konferensi Paris saat ini memiliki catatan tersendiri
sebagai pengganti AS. Negara-negara Liga Arab memiliki kelemahan serius
akibat ketiadaan relasi dengan Israel, sementara negara-negara Uni Eropa
terkendala situasi politik domestik yang terkadang mengganjal sikap keras
mereka kepada Israel.
Dalam
situasi tersebut, komitmen Indonesia yang terus disampaikan oleh pemerintahan
Joko Widodo bagi kemerdekaan Palestina dan perdamaian Palestina-Israel
menjadi penting. Komitmen tersebut harus disertai dengan adanya kebijakan
yang lebih terstruktur untuk mendorong proses perdamaian yang dapat mengatasi
isu-isu krusial, termasuk isu pembangunan permukiman Yahudi di wilayah
pendudukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar