Serangan
Jantung Budaya
Yudi Latif ; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 30 Desember
2016
Mental
primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam
samudra, yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan
melenyapkan jati dirinya.
Pada
1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore
berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang
tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara
keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan
mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan
relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar
darinya.
Menyaksikan
pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan,
"Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada
orang Hindu sendiri." Lantas ia simpulkan, "Aku melihat India di
mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang
sesungguhnya" (Das Gupta, 2002). Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch
(1946), melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang
budaya luar dengan cerlang warisan budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan
dan entitas harmonis, yang berujung kelahiran tipe peradaban yang lebih
tinggi dari sebelumnya.
Lebih
lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui
kedatangan para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh koloni-koloni
dagang India. Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian bahasa Sanskerta;
bahasa suci dan ilmiah, yang orang-orang awam India sendiri belum tentu
menguasainya. Alhasil, proses indianisasi itu ditransmisikan melalui ranah
intelektual, utamanya dalam domain keagamaan, dengan inisiatif para klerikus
Nusantara menyerap cerlang budaya-spiritualitas dari India.
Spiritualitas-ketuhanan
adalah jantung budaya Nusantara, dengan kaum cendekiawan (guru) keagamaan
sebagai agen budaya terpentingnya. PJ Zoetmulder menyimpulkan, tradisi
filsafat yang berkembang pada masyarakat Indonesia utamanya menyangkut
filsafat yang berkaitan dengan ketuhanan. Berbeda dengan filsafat Barat yang
lebih obyektif dengan kecenderungan mengarahkan kesadaran pada dunia di luar
dirinya, filsafat Nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarahkan
kesadaran pada dirinya sendiri. Implikasi dari proses introspektif ini,
filsafat Nusantara lebih menekankan laku (perbuatan) ketimbang teori.
Clifford
Geertz, dalam Religion as a Cultural System (1966), menengarai adanya dua
inti keberagamaan: world view (sistem keyakinan dan pandangan dunia) dan
ethos (nilai moral, emosi, dan motivasi). Pandangan dunia religi primordial
di Tanah Air ini bersifat iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di
dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling
melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.
Pandangan
hidup modern, yang berbasis pada logika Aristotelian, menolak entitas
kontradiktif yang mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling
bertentangan. Namun, dalam logika primordial suku-suku bangsa di Indonesia,
segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Hidup
berkembang dalam logika dwitunggal, loro ning atunggal (dua yang menyatu).
Bahkan, yang "beragam itu" (Bhinna ika) pada dasarnya bisa dilihat
sebagai "satu itu" (tunggal ika). Segala Keragaman yang saling
bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari "Yang Esa"
(Tuhan), yang tidak bergantung (Sumardjo, 2014).
Dengan
pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat adaptif,
gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak
atau paling jauh hanya bisa ditoleransi selama tak membahayakan. Sebaliknya,
perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai bagian dari
kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling
berbagi, saling menghormati. Dalam perkembangannya, pandangan hidup dan etos
Nusantara itu tidaklah bergerak di ruang hampa yang kedap pengaruh dari luar.
Karena letak geografisnya yang strategis serta kekayaan alamnya yang
berlimpah, Nusantara merupakan "jalur persilangan", yang mengundang
arus masuk beragam peradaban.
Radiasi budaya
Dalam
proses perubahan kebudayaan tersebut, kita bisa menengok pandangan Arnold
Toynbee dalam A Study of History (1957), tentang pengaruh "radiasi
budaya". Dalam pandangannya, peradaban itu berlapis-lapis, dimulai dari
teknologi di lapisan terluar, berturut-turut disusul oleh lapisan seni,
lapisan etika, dan agama di lapisan terdalam. Kebudayaan yang lebih kuat akan
meradiasi kebudayaan yang lebih lemah. Namun, pengaruhnya tak langsung masuk
secara keseluruhan, tetapi secara parsial merembesi lapisan-lapisan budaya.
Lapisan terluar (teknologi) merupakan lapisan paling mudah ditembus; makin ke
dalam, makin sulit.
Lapisan
agama jantung terdalam yang paling sulit ditembus. Meski demikian, pengaruh
radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian
tinggi teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasikan lapisan-lapisan
budaya lainnya terhadap peradaban lain. Dalam pelacakannya terhadap faktor
kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban, Toynbee mengaitkan
disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban
tersebut. Singkat kata, serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di
jantung kebudayaan merupakan serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan
daya hidup peradaban tersebut.
Selama
berabad-abad, jantung spiritualitas Nusantara memiliki daya lenting yang luar
biasa dalam menghadapi radiasi budaya dari luar. Proses indianisasi tidak
melemahkan, malah memperkuat pandangan dunia iluminasionisme. Kehadiran Islam
membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat
Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam
meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan
dengan konsepsi 'kesetaraan' dalam hubungan antarmanusia, konsepsi 'pribadi'
(nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta
konsepsi waktu (sejarah) yang 'linear', menggantikan konsepsi sejarah yang
melingkar (Lombard, 1996). Meski demikian, mental primordial itu terus
terjaga melalui jaringan tarekat dan pesantren pedesaan.
Dalam
Islam Observed (1968), Geertz melukiskan bahwa Iluminasionisme keagamaan yang
bersifat sinkretik, dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik,
estetik dan toleran itu bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19. Sejak
akhir abad ke-19, pandangan dan etos keberagamaan seperti itu mendapat
gempuran dari "logosentrisme" yang bersumber dari dua arah: pertama
modernitas Barat dengan logika Aristotelian dan rasionalitas instrumentalnya.
Kedua dari skripturalisme keagamaan dari gerakan reformisme Islam, terutama
yang bercorak Wahabiyah.
Meski
demikian, proses pembaratan itu ada batasnya. Menurut Denys Lombard (1996),
di sana terlihat adanya dualitas "pemelukan" dan
"penolakan". Di satu sisi, ada elemen yang terbaratkan. Di sisi
lain ada proses kembali ke sumber-sumber ke-"timur"-an. "Pengambilan
kata-kata Barat, seperti revolusi, nasionalisme, demokrasi, belum berarti
bahwa sungguh terjadi pembaratan mentalitas Jawa lewat konsep-konsep
tersebut." Karena, di sisi lain, ada pula proses pribumisasi modernitas,
seperti dalam penemuan konsepsi Pancasila serta pemahlawanan tokoh-tokoh
berbagai elemen bangsa.
Respons
Islam sendiri dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu
satu, ada gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation)
terhadap unsur-unsur sains-teknologi dan seni dari Barat, seperti
dikembangkan oleh Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi
(authentication), dengan berpaling pada tradisi-tradisi keagamaan lokal
sebagai bentuk resistensi terhadap serangan modernitas, seperti yang ditempuh
oleh Nahdlatul Ulama.
Alhasil,
sehebat apa pun gempuran modernisme dan skripturalisme, kontinuitas pandangan
dan etos religi Nusantara masih bisa dipertahankan. Geertz (1981)
menyimpulkan bahwa karena peran ulama sebagai pialang budaya, pengaruh
reformisme Islam dari Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan
dengan konteks lokal, sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang
bersifat adaptif, menyerap, gradualistis, dan kompromistis masih bisa
bertahan. Radiasi reformisme keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada
kedalaman pemurnian (force), tetapi perluasan (scope).
Namun,
perkembangan dunia pasca-industrial dengan revolusi di bidang telekomunikasi,
transportasi, dan turisme membawa arus globalisasi yang makin luas
cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Dengan intensitas
dan ekstensivitas arus globalisasi, radiasi budaya dari lapisan terluar
(teknologi) bisa cepat disusul oleh peradiasian pada lapisan-lapisan budaya
yang lebih dalam, hingga menembus jantung spiritualitas bangsa ini.
Dengan
posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke
dalam pihak "yang menang" (winners) dan "yang kalah"
(losers); serta menumbuhkan ketidaksetaraan, baik secara internasional maupun
dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007). Selain menimbulkan deprivasi sosial
bagi pihak-pihak yang kalah, hidup dalam sebuah dunia pasca-modern, seperti
yang dijelaskan Baudrillard (1992), berarti hidup dalam sebuah gerak
interpenetrasi pengalaman-pengalaman kultural dan pluralisasi alam kehidupan
yang dialami manusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai-nilai ideal dan
menumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yang menyebabkan terjadinya
diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia.
Distorsi komunikatif dan
alienasi sosial
Keretakan
dalam pandangan dunia ini diperburuk oleh distorsi komunikatif dalam ruang
publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan hidup bersama oleh
rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme. Distorsi komunikatif
ini menimbulkan alienasi sosial, yang melemahkan hubungan-hubungan
permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan dalam kehidupan bersama.
Meluasnya
gejala deprivasi dan alienasi sosial membawa dampak serius pada corak
keagamaan Indonesia. Arus radiasi budaya dari penyebaran teknologi baru
bersama seni dan konsekuensi nilai-etis yang ditimbulkannya melahirkan
resistensi dalam bentuk revivalisme keagamaan, dengan menarik agama ke arah
politik identitas. Dengan politisasi identitas keagamaan, manusia yang pada
dasarnya multi-identitas direduksi habis-habisan ke dalam satu
identitas-keagamaan.
Dalam
kerangka politik identitas, fanatisisme dirayakan dengan menolak
rasionalitas, perbedaan tafsir, prinsip representasi dan inklusivitas, serta
pemerintahan konstitusional sebagai bantalan vital demokrasi. Pandangan dunia
keagamaan menjadi hitam-putih, kawan-lawan, kehilangan elan vital etos klasik
keagamaan di Indonesia yang bersifat adaptif, estetis, dan toleran.
Serangan
gencar terhadap jantung keberagamaan ini bisa mengubah secara mendasar jati
diri kebangsaan Indonesia. Jalan nasionalisme kewargaan di Indonesia tidak
menempuh trayek sekularisme. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme
(sekular) berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama. Di sini, ketika
nasionalisme bangkit, agama memainkan peran penting. Kemunculan masyarakat
sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas agama-budaya, bukan dari
komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan ditempuh dengan cara
pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa memasuki kehidupan publik
secara damai dan toleran.
Dengan
kata lain, tantangan perusakan jantung budaya Indonesia itu harus direspons
dengan mengupayakan konsepsi keadilan bersama secara simultan dengan
revitalisasi pandangan hidup dan etos primordial religi Nusantara. Minoritas
kreatif dari komunitas agama-budaya harus didukung untuk bisa menyemai
ruang-ruang komunikatif (pesantren, sekolah, rumah ibadah, media massa, media
sosial, partai politik, dan masyarakat sipil) dengan nilai-nilai
spiritualitas Nusantara.
Nilai
inti spiritualitas Nusantara itu mencari harmoni persatuan dalam perbedaan
dengan mengembangkan hubungan cinta kasih dalam relasi ketuhanan,
kemanusiaan, dan kealaman. Dalam realisasinya, spiritualitas itu harus dapat
mendorong peri kehidupan ketuhanan yang berkebudayaan dan toleran,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dalam kebinekaan,
permusyawaratan secara inklusif dan argumentatif, serta mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar