Arah
Angin di Asia Pasca TPP
Benny D Koestanto ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 30 Desember
2016
Bergantung
pada siapa yang berbicara, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) bisa bermakna kerja
sama perdagangan paling ambisius sekaligus berbahaya. Namun, sejak kemenangan
Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, cukup simpel untuk
menyatakan tentang kemitraan itu: TPP mati karena ditinggalkan AS. Majalah
The Economist menyebutkan, sebuah lubang yang menganga ditinggalkan dalam
arsitektur perdagangan di Asia setelahnya. Arah angin pun tak beraturan
menggelayuti perdagangan global.
Besaran
ekonomi yang menjadi cakupan total anggota-anggota TPP diperkirakan mencapai
dua perlima dari total perekonomian global. Namun, tak sekadar karena nilai
ekonomi, efek positif dan negatif kerja sama-kerja sama perdagangan global
pun menjadi pertimbangan, termasuk setelah keluarnya pernyataan Trump tentang
posisi AS di TPP.
Para
ekonom umumnya setuju dengan dua pernyataan umum. Di satu sisi, TPP bakal
bisa mendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara anggotanya. Sejumlah
penelitian independen menyatakan, bagi AS, misalnya, TPP akan mendatangkan
manfaat besar dilihat dari kacamata dollar AS. Bagi negara berkembang,
seperti Vietnam, khususnya, juga diperkirakan akan bermanfaat optimal bagi
perekonomiannya.
Namun,
di sisi lain, saat kesepakatan perdagangan bebas mengembangkan negara-negara
anggota secara umum, sisi negatif yang mungkin terjadi di perindustrian dan
secara umum di kawasan bisa saja terlewatkan. TPP dinilai akan mendorong
pertumbuhan, tetapi bisa saja justru memperburuk stagnasi perekonomian secara
global.
Matthew
Goodman dari lembaga Centre for Strategic and International Studies menyebut
kolapsnya TPP sebagai kolapsnya kebijakan ekonomi AS di Asia. Hal itu bisa
berefek negatif pula bagi perekonomian global. Bertahun-tahun sudah
negara-negara kaya memotong aneka tarif jika ada halangan dan membuat
regulasi-regulasi untuk melawan perusahaan-perusahaan asing. TPP ingin agar
penghalang-penghalang itu dibuka sejatinya.
Merujuk
data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tahun 2016 untuk kali pertama
perdagangan dunia bergerak lebih lamban dalam 15 tahun ketimbang pertumbuhan
domestik bruto (PDB). Ekspor di Asia diperkirakan hanya tumbuh 0,3 persen
dilihat dari volumenya, di bawah tingkat rata-rata sekitar 8 persen dalam
kurun waktu 20 tahun terakhir.
Padahal,
bagi negara-negara yang relatif miskin, ekspor adalah harapan untuk
terjadinya pembangunan di dalam negeri. Jika kepemimpinan Trump benar-benar
menaikkan tarif bagi negara-negara lain, terutama Tiongkok, jalan ke depan
pun terasa semakin sempit bagi negara-negara lain.
Hanya
ada sedikit kandidat yang siap mengisi kehampaan yang ditinggalkan TPP. Satu
kemungkinan adalah peran yang diambil 11 pemerintah yang ada yang telah
menyepakati kemitraan itu minus AS. Bagaimanapun peran AS sangat vital
sehingga negara seperti Jepang pun melihat TPP tidak akan berjalan tanpa AS.
Ketika Jepang membuka akses ke negara lain untuk komoditas beras dan daging
sapi, misalnya, berarti ada keterbukaan atas produk-produk lain bagi negara
lain itu.
Inisiatif Tiongkok
Fokus
pun beralih pada sejauh mana Tiongkok akan maju dan masuk pada kesepakatan
perdagangan sebagai alternatif. Tiongkok maju selangkah dengan pakta perdagangan
regional yang lebih besar, yakni Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik
(FTAAP). Pakta itu mencoba mengikat kerja sama perdagangan bagi 21 negara,
termasuk AS.
Namun,
suara sumbang pun telah terdengar. Kelompok oposisi di AS berkata bahwa
dengan AS yang memimpin saja sudah terdengar penolakan-penolakan, apalagi
jika dipimpin Tiongkok?
Kelompok
yang lebih optimistis melihat adanya celah baik di depan. Setidaknya ada satu
pakta kerja sama perdagangan yang hampir selesai, yakni Kerja Sama Ekonomi
Komprehensif Kawasan (RCEP) yang mencakup Tiongkok, India, Jepang, 10 negara
ASEAN, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Pakta itu mencakup hampir
sepertiga dari perekonomian global dan jauh lebih besar dilihat dari jumlah
warganya ketimbang mereka yang sedianya bergabung di TPP.
Namun,
tetap saja, pakta itu dinilai tidak seambisius TPP. Sebab, kerja sama itu
hanya fokus pada hal dasar di bisnis, seperti pemotongan tarif, daripada
regulasi-regulasi yang lebih kompleks. Tarif-tarif di Asia dinilai masih relatif
tinggi sehingga menguranginya dinilai akan sangat membantu.
Bagaimanapun
diharapkan ada terobosan khusus. Kerja sama RCEP yang lemah hanya akan
berarti sedikit bagi Asia kecuali jika Tiongkok berupaya seoptimal mungkin
agar kerja sama dalam pakta itu menghasilkan hal-hal yang lebih besar.
Publik
tidak bisa menafikan beragamnya kesepakatan perdagangan yang telah dan tengah
dihasilkan. Bukan hanya di tingkat regional atau global, melainkan juga di
tingkat bilateral dalam tingkat lebih kecil. Di Asia, saat ini terdapat tidak
kurang dari 147 kerja sama, berkembang dari 82 kesepakatan dalam kurun waktu
satu dekade lalu. Selain itu, setidaknya ada 68 kesepakatan yang tengah
disusun.
Dari
teori perdagangan, hal itu mungkin kurang optimal, saling tumpah tindih
antara satu dan yang lain. Namun, dalam praktik, situasi tersebut bisa
menjadi harapan bagi Asia. Semakin banyak barang dan jasa, sekaligus bisnis
di belakangnya, yang akan bertebaran di kawasan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar