Mimpi
Demokrasi Indonesia
Sulastomo ; Anggota
Lembaga Pengkajian MPR
|
KOMPAS, 30 Desember
2016
Istilah
demokrasi sebenarnya tidak termaktub dalam UUD 1945. Para pendiri bangsa ini
memperkenalkan istilah "kedaulatan rakyat" pada Pembukaan UUD 1945 serta sila keempat
Pancasila yang menggambarkan prinsip demokrasi Indonesia.
Sebuah
bentuk demokrasi yang berdasar "permusyawaratan/perwakilan", yang
lebih mengedepankan konsensus. Demokrasi yang lebih mengedepankan budaya gotong royong meskipun tidak menutup
"voting".
Dengan
segala kelemahan yang masih ada, Indonesia diperkenalkan sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Ada kesan,
penilaian seperti ini hanya dari aspek jumlah penduduk. Karena itu,
perjalanan Indonesia dalam menuju sistem demokrasinya mungkin masih perlu
kita renungkan bersama. Sudahkah demokrasi yang kita implementasikan
merupakan proses politik yang kondusif dalam mewujudkan cita-cita negara
kesejahteraan, sesuai prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945?
Sistem ketatanegaraan
Perkembangan
sistem demokrasi di dunia ternyata banyak bergantung pada perkembangan
sejarah setiap negara. Demokrasi dengan sistem parlementer, yang berkembang
di Inggris sejak abad XII, merupakan respons terhadap sistem monarki di
negara itu, yang menginginkan dikuranginya sistem monarki absolut. Adapun
demokrasi sistem presidensial
berkembang di AS sejak negara itu terbebas dari kolonialisme Inggris
pada akhir abad XVII.
Perjalanan
demokrasi di Indonesia ternyata cukup menarik. Pernah menerapkan sistem
parlementer di awal 1950-an, "demokrasi terpimpin"-di era Bung
Karno-menjelang tahun 1960, dan pernah pula menerapkan demokrasi Pancasila
pasca Dekrit Presiden 1959 dengan berbagai versi sampai tahun 1998.
Kini,
demokrasi Indonesia berusaha memperkuat sistem presidensial dengan presiden
dipilih langsung oleh rakyat, berdasar popular vote. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia
bukan negara federal.
Di
era demokrasi sistem parlementer, kabinet (pemerintahan) tidak pernah stabil.
Kabinet hanya berumur bulanan, telah dijatuhkan parlemen. Pasca Pemilu 1955
yang dianggap sangat demokratis itu pun, Kabinet Ali, Roem, Idham (koalisi
PNI, Masyumi, dan NU) sebagai tiga partai pemenang pemilu juga hanya berumur
beberapa bulan. Sementara Konstituante, yang bertugas merumuskan dasar
negara, sampai tahun 1959 tidak berhasil menyepakati dasar negara.
Ditambah
persoalan bangsa lainnya, antara lain pemberontakan PRRI/Permesta, Bung
Karno-dengan dukungan Angkatan Darat-mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk
kembali ke UUD 1945. Dengan kembali ke UUD 1945, kita kembali ke "sistem
sendiri", yang dikenal sebagai
sistem MPR, mengingat MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mengangkat
presiden- wakil presiden. Presiden-wakil presiden merupakan mandataris MPR,
yang berkewajiban melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
bertanggung jawab kepada MPR, yang terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah
dan Golongan sebagai representasi
seluruh rakyat Indonesia.
Memasuki
era reformasi, timbul semangat demokratisasi, antara lain, dengan memperkuat
sistem presidensial. Presiden kemudian ditetapkan berdasar pemilihan
langsung. Hal ini (mungkin) mencermati pengalaman Presiden Habibie dan Presiden
Abdurrahman Wahid, yang ternyata mudah dimakzulkan.
Meski
demikian, untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan-baik perorangan maupun
kelembagaan-diciptakan mekanisme checks and balances antar-lembaga negara.
Karena itu, juga disepakati terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY ), Ombudsman RI, dan lain-lain.
Lembaga
legislatif juga ditambah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semacam Senat di AS.
Meskipun tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara, hanya MPR yang memiliki fungsi mengubah UUD 1945. Semua
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Apa
yang kemudian terjadi?
Banyak
berita yang negatif di sekitar implementasi demokrasi di Indonesia. Dari
sekadar politik uang sampai penilaian sebagai "democrazy",
demokrasi yang kebablasan. UU tentang Pemilu berubah tiap lima tahun sekali.
Tidakkah ini mengesankan demokrasi kita sedang berusaha mencari bentuknya
yang mantap?
Harapan
Kini,
di DPR sedang dibahas RUU tentang Pemilu yang baru untuk pemilu yang akan
dilaksanakan serentak pada 2019. Dapatkah kita berharap UU Pemilu yang baru
nanti bisa berumur panjang, tidak hanya untuk sekali pemilihan umum, agar
pemilu sebagai bagian proses terpenting demokrasi semakin mantap?
Dengan
variasi pendapat yang masih berkembang di masyarakat, mungkin tidak mudah
untuk merumuskan UU Pemilu yang bisa berlaku lama, apalagi berlaku tetap
sepanjang masa. Padahal, kalau kita bisa merumuskan UU Pemilu yang berlaku
lama, niscaya energi kita tidak habis membahas RUU Pemilu setiap lima tahun
sekali.
Apa
yang perlu dipertimbangkan? Pertama adalah peran partai politik. Parpol,
betapapun kondisinya, adalah perangkat demokrasi yang penting. Selayaknya
kita bisa memberikan peran kepada parpol secara maksimal. Parpol adalah
sumber kader kepemimpinan politik nasional. Selayaknya, parpol diberi
kepercayaan penuh untuk mengajukan kader terbaiknya dalam daftar calon pada
pemilu. Apabila ini dapat disepakati, pencalonan dalam pemilu idealnya
berdasar sistem tertutup, sesuai urutan calon yang diajukan oleh parpol.
Tetapi,
di pihak lain, masyarakat juga berhak memilih secara bebas calon yang
dikehendakinya. Di sinilah tumbuh
gagasan sistem pemilu dengan daftar calon terbuka. Dampaknya, calon yang
diunggulkan partai, yang tercantum di nomor satu/di atas daftar calon,
bisa tidak terpilih. Kompetisi tidak
hanya antar-partai, tetapi juga antar-calon separtai. Peran partai setidaknya
melemah, di samping menimbulkan
kompetisi internal yang bisa tidak sehat.
Adakah
sistem pemilu yang mampu mengombinasikan peran/kepentingan partai dan
kepentingan masyarakat sebagai pemilih
yang bebas? Memenuhi peran partai, sistem pemilu seperti itu hanya mungkin
terlaksana dalam sistem pemilu dengan daftar calon tertutup, di mana calon
terpilih sesuai dengan urutan daftar
calon yang diajukan partai
politik.
Bagaimana
peran pemilih? Hanya dimungkinkan jika pemilih mengetahui siapa yang
pantas dipilih. Kombinasi memenuhi keinginan keduanya,
antara kepentingan partai dan pemilih, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan
UU Pemilu yang baru.
Pertanyaannya,
mungkinkah kepentingan partai dan pemilih disatukan? Semestinya harus
bisa. Sebab, salah satu tugas partai
adalah menampung aspirasi rakyat, di samping mengajukan kader terbaiknya.
Penyelenggaraan pemilihan umum seperti itu juga akan lebih sederhana,
berbiaya rendah, mengurangi "politik uang" , dan lebih jujur dan
adil.
UU Pemilihan Umum seperti itu mungkin akan
mampu berumur panjang dan tidak berubah setiap lima tahun sekali. Selain
itu juga semakin mendekati sistem
pemilu yang sesuai dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar