Resolusi
2334
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder;
Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 18 Januari
2017
Minggu-minggu
ini tema politik dunia tidak lepas dari dinamika politik menjelang pelantikan
Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS). Keadaan ini wajar
karena Amerika adalah salah satu ekonomi terkuat dan terbesar di dunia
bersama China. Mereka yang bergelut dengan pasar modal, mau tidak mau, harus
memantau akun media sosial Donald Trump karena kebijakan-kebijakan ekonomi
dan politik AS kemungkinan akan lebih sering lahir lewat media tersebut.
Salah
satu peristiwa penting pekan ini adalah pembicaraan tentang peneguhan negara
Palestina di Paris, Prancis. Pertemuan ini dihadiri oleh hampir 75 negara
dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tujuan formal dari pertemuan ini
adalah membicarakan peneguhan tentang berdirinya negara Palestina yang akan
hidup berdampingan dengan negara Israel.
Konferensi
di Paris itu mengusung tiga agenda pokok, antara lain mendorong kesepakatan
untuk sebuah insentif perdamaian bagi kedua pihak, penguatan kapasitas bagi
negara Palestina, dan mempromosikan dialog antara warga sipil Israel dan
Palestina.
Dalam
pertemuan itu, Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir.
Wamenlu dalam kesempatan itu menekankan bahwa perdamaian di Timur Tengah,
khususnya kemerdekaan Palestina, hanya dapat dicapai apabila seluruh isu
utama seperti permukiman ilegal, pengungsi Palestina, status Kota Yerusalem,
status perbatasan, dan masalah keamanan serta ketersediaan air dapat
diselesaikan.
Karena
itu, Pemerintah RI menyambut baik pengesahan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor
2334 Tahun 2016 tentang Permukiman Israel di Palestina sebagai Ilegal pada 23
Desember 2016. Meski demikian, pertemuan ini kurang memiliki bobot karena
tidak dihadiri oleh Palestina dan Israel. Israel mengatakan bahwa pertemuan
di Paris hanya akan menyudutkan Israel yang telah ditekan melalui Resolusi
2334 di atas.
Di
sisi lain, Israel berpendapat untuk menunggu Donald Trump dilantik pada 20
Januari. Selama ini Donald Trump diketahui memiliki gagasan yang berbeda
dengan pemerintahan Obama, bahkan telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan
yang melawan arus seperti akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke
Yerusalem. Pemindahan yang secara langsung akan mengakui dan mendukung kota
itu sebagai ibu kota Israel.
Sebaliknya,
Palestina juga tidak hadir dengan alasan Presiden Abbas perlu hadir dalam
pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Kota Vatikan, walaupun menyambut baik
konferensi tersebut. Ketidakhadiran kedua belah pihak menimbulkan pertanyaan
tentang efektivitas dan capaian dari konferensi.
Inggris,
sebagai salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, menempatkan diri
sebagai pengamat daripada peserta aktif. Seperti halnya Israel, Inggris juga
mempertanyakan waktu penyelenggaraan konferensi ini yang dilakukan beberapa
hari menjelang berakhirnya pemerintahan Obama dan pelantikan Donald Trump.
Selain
itu, Inggris setelah Brexit juga dipimpin oleh pemerintahan yang cenderung
konservatif terkait masalah konflik Israel-Palestina. Dari sisi konteks,
konferensi ini mungkin menjadi kelanjutan dari disahkannya Resolusi 2334 pada
23 Desember 2016. Selama delapan tahun kepemimpinan Obama selalu menentang
segala resolusi yang mengutuk tindakan Israel.
Karena
itu, banyak pihak yang pesimistis posisi abstain yang dilakukan AS di masa
akhir jabatan tidak memiliki dampak nyata. Alasannya, sikap itu belum tentu
akan ditindaklanjuti oleh pemerintahan Amerika yang baru. Pemerintah AS
biasanya menolak segala hal yang terkait dengan tekanan atau kecaman terhadap
Israel. Sikap abstain adalah sikap yang paling ”progresif” apabila terkait
Israel.
Hal
yang menarik adalah bahwa Zaid Jilani (2016) mencatat selama kepemimpinan AS
sebelum Obama justru lebih banyak teguran dari Amerika kepada Israel
dibandingkan pada masa Obama. Misalnya pada masa Reagan, aneksasi Israel atas
Dataran Tinggi Golan dan aktivitas militer di Lebanon serta operasi militer
melawan PLO di Tunisia dikecam dalam resolusi PBB.
Pada
masa George HW Bush (senior), ada sembilan resolusi PBB yang kritis terhadap
Israel, termasuk yang mengecam meninggalnya 20 orang Palestina dan 150 warga
sipil di Temple Mount atau Haram al-Sharif di Yerusalem. Pada masa Obama
justru tidak ada resolusi PBB yang berhasil lolos kecuali yang terakhir tadi,
sebelum Obama habis masa jabatan.
Alasan
yang pernah digunakan pemerintahan Obama pada 2011 adalah ia menjaga agar
upaya mencapai perdamaian tidak terganggu, agar pemerintahan Netanyahu
terdorong untuk lebih konstruktif. Kembali pada Resolusi 2334. Meskipun belum
dianggap memiliki daya tekan yang kuat, Resolusi 2334 ini memiliki beberapa
makna.
Pertama,
resolusi ini menggambarkan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat dan
Yerusalem timur adalah ilegal dan telah menjadi sebuah penghambat dalam
dialog yang konstruktif untuk mencapai perdamaian. Tekanan ini sebetulnya
bukan hal baru bagi masyarakat internasional karena banyak anggota PBB yang
sudah menyatakan bahwa permukiman Israel sudah melanggar Konvensi Jenewa IV
terkait pengelolaan wilayah pendudukan (rules
for administering occupied territor).
Pascaperang
1967 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 yang menyerukan kepada
angkatanbersenjataIsrael untuk mundur dari wilayah pendudukan di Tepi Barat,
Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Walau bukan hal baru,
secara politik resolusi ini dapat memperkuat tekanan bagi Israel dan Palestina
untuk berunding kembali.
Kedua,
resolusi ini dapat digunakan oleh kelompokkelompok hak asasi manusia (HAM)
untuk membawa para pejabat Israel ke International Criminal Court (ICC) di
Belanda. Selama ini ICC sulit untuk mengadili karena Israel telah lama
berpendapat bahwa Konvensi Jenewa IV—yang melarang negara melakukan
pemindahan sebagian dari populasi sipilnya ke wilayah yang diduduki— tidak
berlaku untuk Tepi Barat dengan alasan karena tidak ada yang kekuasaan yang
berdaulat yang diakui memerintah di sana sebelum perang 1967.
Sebagian
besar negara tidak setuju dengan penafsiran Israel tersebut. Dengan Resolusi
2334 itu ICC lebih punya alasan untuk secara formal menolak legalitas
pemukiman Yahudi di wilayah yang masih disengketakan. Ketiga, resolusi ini
secara eksplisit menetapkan batas wilayah sebelum perang 1967 sebagai
baseline bagi wilayah negara Palestina,
mengumumkan
kepada Dewan Keamanan PBB bahwa ”tidak mengakui perubahan apa pun atas garis
batas yang ditetapkan 4 Juni1967, termasuk terkait Yerusalem, selain yang
sudah disepakati melalui proses negosiasi.” Dengan kata lain, resolusi
terkini tersebut secara efektif memenuhi permintaan Palestina yang terbesar
dan kondisi dasar untuk memulailagi proses negosiasi status Palestina.
Di
sisi lain, resolusi ini tidak memenuhi permintaan Israel seperti permintaan
untuk menetapkan Israel sebagai negaranya orang Yahudi. Karena sejarah veto
atas resolusi-resolusi yang sifatnya anti-Israel, Washington dapat
diasumsikan akan berusaha meminta konsesi sebesarbesarnya sebagai ”ganti
rugi” atas penggunaan garis 1967 itu.
Namun,
karena Obama tidak melakukan itu, maka masih membingungkan juga mengapa Obama
tidak melakukan hal itu. Keempat, di luar implikasi hukum, resolusi ini dapat
menjadi landasan bagi gerakan boikot produk-produk Israel, yaitu sebuah
gerakan yang didukung oleh konsumen, para artis, akademisi, atau perusahaan
untuk memutus hubungan dengan Israel, terutama produk-produk yang diproduksi
di luar garis hijau.
Bagi
Indonesia, mengingat bahwa salah satu fokus diplomasi RI 2017 adalah
melanjutkan dukungan pada kemerdekaan Palestina, hasil dari Pertemuan Paris
belum bisa menjamin jalan mulus bagi kemerdekaan Palestina. Dapat dilihat
dari lika-liku menuju lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB, pada dasarnya AS
memang kerap menggunakan cara tekanan pada Israel, tetapi posisi tarik ulurnya
hampir dipastikan masih selalu menguntungkan Israel dan menekan Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar