Kekerasan
sebagai Kejahatan
Sudjito ;
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 18 Januari
2017
Kekerasan
di STIP Jakarta ataupun tempat-tempat lain bukanlah budaya, melainkan
kejahatan. Karena itu, perlu direspons secara progresif berupa penindakan
secara tegas.
Ki
Hadjar Dewantara (1948) dalam buku Kebudayaan mengajarkan bahwa kebudayaan
merupakan buah budi jiwa manusia yang masak, cerdas, sehingga mampu mencipta
kemenangan perjuangan hidup. Dua sifat istimewa melekat pada budi manusia,
yakni luhur dan halus. Karena itu, perkembangan budaya patut diapresiasi.
Dalam
pengertian demikian, alur pemikiran bagus dalam TAJUK KORAN SINDO, 13 Januari
2017, perlu dikoreksi pada ranah pengertian budaya sehingga kekerasan wajib
dipandang sebagai kejahatan, bukan budaya. Kejahatan kekerasan memang
mencemaskan masyarakat dan bangsa.
Di
Yogyakarta dikenal sebagai fenomena klithih. Elang Gaziya, 16, warga Sewon,
tanpa tahu sebab-musababnya, dibacok manusia biadab (22/6/2016). Klithih
terus mewabah pada 2017. Korbankorban klithih terus berjatuhan antara lain
siswa SMA tewas. Isu liar pun beredar, diduga motif politik ada di balik
tragedi itu.
Terlepas
apa pun motifnya, apakah politik, ekonomi, balas dendam, narkoba, atau motif
lain, pelakunyawajibdikutuk. Aparatur negara wajib segera menangkap pelakunya
dan menyerahkannya kepada lembaga peradilan untuk diadili seadil-adilnya.
Kejahatan kekerasan banyak sekali bentuknya dan berlangsung sepanjang sejarah
kehidupan manusia. Max Weber (1954) melihat ada hubungan antara hukum dan
kekerasan.
Dia
mengatakan, suatu tatanan dapat disebut hukum ketika keberadaannya dijamin
dengan penggunaan paksaan (psikologis maupun fisik) oleh suatu lembaga agar
hukum dipatuhi atau suatu tindakan dapat dibalas dengan kekerasan. Perhatian
terhadap kejahatan kekerasan, khususnya kekerasan struktural, pernah
dilakukan Unesco (1981) melalui penelitian tentang sebab-musababnya, beserta
upaya-upaya penanggulangannya.
Terkuak
bahwa setiap tipe hukum tertentu selalu terkait dengan jenis kekerasan
tertentu pula. Sejarah menunjukkan bahwa hukum semakin lama semakin keras.
Pada masyarakat atau negara modern, perekonomiannya kapitalistik, politiknya
liberalistik, dan hukumnya positivistik, kecenderungan maraknya kekerasan
semakin masif.
Tiada
kata ”menyerah” atau ”pembiaran” terhadap kekerasan. Demi terwujudnya kondisi
aman dan nyaman negeri ini, berbagai strategi penangkalan dan penindakan
sistemik perlu diselenggarakan sungguh-sungguh. Pertama, para pejabat publik,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama mesti cancut taliwanda, bergegas dan
berkomitmen, untuk memancarkan energi dan cahaya Pancasila agar merasuk dalam
jiwa segenap anak bangsa.
Tidak
dapat dipungkiri, sejak bergulirnya Era Reformasi, kebebasan individu
(liberalisme) dibuka lebar-lebar. Pada hal, kebebasan tak terkendali, sama
maknanya dengan anarki. Ujung-ujungnya kehancuran. Kebebasan bertindak
merupakan penyakit batin-kejiwaan yang perlu diobati agar tidak menular dan
mewabah sebagai penyakit masyarakat.
Apabila
Pancasila benar-benar diajarkan dan diamalkan sebagai way of life, dapat
dipastikan menjadi obat mujarab, penyubur kelembutan, sekaligus penangkal
kekerasan. Kedua,saat ini banyak orangorang, khususnya anak muda berada dalam
kegelapan kehidupan, tidak mampu membedakan antara benar atau salah, baik
atau buruk.
Klaim
bahwa dirinya benar, diiringi tuduhan orang lain salah, telah menjadi
fenomena umum. Mereka seperti orang buta, menduga kehidupan hanya seluas mata
memandang, hanya sejauh logika berpikir, hanya sesempit perasaan. Mereka
pandai berdebat, tetapi tabu berdialog.
Mereka
cepat menyerang orang lain, tetapi tak pernah introspeksi, pintar dan cekatan
bertindak, tapi tunamoral. Dalam keangkuhannya, apa pun miliknya dijadikan
senjata melukai orang lain. Maka, menerangi kehidupan dengan sinar moralitas
merupakan langkah konkret pencerahan kehidupan bersama.
Ketiga,
pada ranah praksis, perekonomian nasional dikelola secara kapitalistik,
politik dipraktikkan secara liberalistik, dan hukum disempitkan pemahamannya
sebagai hukum positif saja. Asas kekeluargaan, gotong- royong, dan
religiusitas cenderung dicampakkan. Muaranya, rakyat tak berdaya, rentan
jatuh ke jurang kemiskinan dan penindasan.
Pemutusan
hubungan kerja senantiasa menghantui pekerja-pekerja, betapa pun upaya
perlawanan melalui demo-demo terus dilakukan. Penggunaan kekerasan oleh
pekerja maupun pengusaha, sebagai upaya mendapatkan hak-haknya, merupakan
ciri menonjol hubungan perburuhan.
Sementara
itu, pemerintah ”lembek” dalam menangkal maupun mengatasi sengketasengketa
perburuhan. Kalau ternyata kekerasan dilakukan para penganggur, tepatkah mereka
disalahkan, dihukum, dipenjara, tanpa bimbingan untuk mendapatkan pekerjaan
dan nafkah yang layak?
Dalam
optik ideologi, aktualisasi roh kekeluargaan, gotong-royong, dan religiusitas
menjadi strategi penangkal kekerasan ideal. Keempat, aparatur negara sebagai
”hukum berjalan” mesti bertindak protagonis. Pada satu pihak tegas menegakkan
hukum, namun pada pihak lain harus peka dan bijak melihat faktor kemanusiaan
yang terkait. Bukankah pelaku kekerasan adalah anak-anak kita, calon pewaris
masa depan bangsa?!
Di
situlah aparatur negara dituntut bersikap protagonis. Batas- batas penegakan
hukum yang tegas, nondiskriminatif, penggunaan discretionary power,
pengutamaan masa depan korban dan pelaku, perlu dipertimbangkan sebijaksana
mungkin. Kelima, kekerasan struktural merupakan keniscayaan pada masyarakat
yang sarat ketimpangan sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Dalam
suasana demikian, oleh masyarakat ”termarginalkan”, setiap ketidakadilan,
cenderung disikapi dengan perlawanan melalui kekerasan. Kekerasan dipandang
sebagai metode pengubahan struktur sosial-kenegaraan yang timpang, tidak
adil, menindas.
Sebaiknya,
para politisi insyaf bahwa reformasi 1998 dan desakan globalisme telah
menciptakan gap kehidupan, ketergantungan, dan dekadensi moral. Karena itu,
diperlukan pembenahan struktur sosial-kenegaraan. Kekerasan adalah buah
pembiasaan, demikian menurut theory of
action.
Kekerasan
dapat diubah menjadi kelembutan dengan pembiasaan pula. Alangkah bagusnya
bila para tokoh meneladankan pembiasaan berbuat kelembutan kepada anak-anak
bangsa. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar