Menimbang
Ekspansi Ekonomi China di ASEAN
Sukamta ; Anggota Komisi I DPR RI; Sekretaris FPKS DPR RI
|
KORAN SINDO, 18 Januari
2017
China
telah memainkan peran utama dalam pembangunan infrastruktur transportasi,
pertambangan, dan telekomunikasi di wilayah ASEAN. China menduduki peringkat
pertama sebagai investor di Kamboja, Myanmar, dan Laos.
Sementara
di beberapa negara ASEAN seperi Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan
Vietnam, nilai investasi terus mengalami kenaikan. Upaya ini kemudian
didukung dengan pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) di mana
China siap menyuntikkan dana sebesar 50 miliar dolar di lembaga tersebut.
Meskipun
bank ini dicurigai sebagai pesaing ADB di mana AS dan Jepang menjadi investor
utama, beberapa negara yang selama ini dekat dengan AS seperti Jerman, Korea
Selatan, Jepang, dan Australia ikut bergabung. Selain itu, sepuluh negara
ASEAN juga ikut menandatangani sebagai anggota AIIB.
Gencarnya
pembangunan infrastruktur ini tentu tidak bisa lepas dari upaya China
memperkuat pengaruh di wilayah ASEAN sebagai wilayah yang strategis secara
geopolitik maupun ekonomi. Hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa China
menggunakan pendekatan pembangunan infrastruktur ke berbagai negara ASEAN dan
bagaimana pengaruhnya terhadap geopolitik di wilayah Asia Tenggara?
Asia
Tenggara atau ASEAN merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki jumlah pendudukyangcukuppadatyaknisekitar
625 juta jiwa atau 8,8% penduduk dunia. Secara geografis kawasan strategis
ini yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut China Selatan ini salah satu
jalur perdagangan laut terpadat di dunia.
Di
kawasan ini, menurut ADB, tercatat masih ada 108 juta penduduk yang hidup
dalam kemiskinan. Untuk mengurangi kemiskinan menurut dokumen Masterplan for
ASEAN Connectivity (MPAC) 2025 dibutuhkan dana USD3,3 triliun untuk membangun
infrastruktur di mana sebagian besarnya sekitar USD1,2 triliun dialokasikan
untuk infrastruktur transportasi, USD1 triliun untuk listrik, dan penyediaan
air sebesar USD0,6 triliun.
Kebutuhan
anggaran yang sangat besar tersebut tentu tidak mampu ditanggung sendiri oleh
negara-negara di ASEAN dan membutuhkan mitra kerja sama dan dana segar dari
pihak lain. Industri di China yang tumbuh pesat dalam dua dekade ini
membutuhkan pasar yang lebih luas agar dapat menyerap produksi melimpah yang
dihasilkan.
Agar
pasar mampu menyerap, dibutuhkan daya beli masyarakat yang luas. Dalam hal
ini, pertumbuhan ekonomi di wilayah ASEAN sebagai pasar potensial juga harus
meningkat dan hal ini sangat terkait dengan pembangunan infrastruktur seperti
jalan, pelabuhan, dan penyediaan listrik yang akan menjadi daya ungkit ekonomi
yang berefek pada peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat.
Kepentingan
China dalam pembangunan infrastruktur tidak lepas dari skenario jangka
panjang menjaga pertumbuhan ekonomi negaranya melalui peningkatan ekspor.
Besarnya potensi pasar ASEAN bagi China dapat terlihat dari terus tumbuhnya
volume perdagangan dan nilai investasi.
China
merupakan mitra dagang terbesar bagi ASEAN yang hingga Desember 2014 nilai
perdagangan mencapai USD366,5 miliar. Sementara nilai investasi hingga
Desember 2014 mencapai USD21,3 miliar, urutan keempat setelah Uni Eropa,
Jepang, dan AS.
Masih
secara ekonomi, China juga berkepentingan terhadap pembangunan infrastruktur
ASEAN sebagai bagian dari jalur utama perdagangan laut ke wilayah Timur
Tengah, Afrika, dan Asia Selatan yang masuk dalam proyek One Belt One Road
(OBOR) yang dicanangkan pada 2013 yang juga untuk mempermudah suplai minyak
dari kawasan Timur Tengah ke China.
Dalam
hal ini, pembangunan pelabuhan dan tol laut akan menjadi bidikan investor
China. Secara politik China memiliki kepentingan untuk memperkuat pengaruh di
kawasan ASEAN dengan pendekatan nonmiliter (soft power). Pendekatan investasi
dalam pembangunan infrastruktur tentu sangat menarik bagi negara-negara ASEAN
yang giat membangun, namun kekurangan anggaran.
Sebagai
contoh Indonesia, menurut kepala Bappenas, kebutuhan pembangunan
infrastruktur dalam lima tahun membutuhkan investasi Rp4.796,2 triliun,
pemerintah masih kekurangan dana infrastruktur Rp3.296,2 triliun. China
melihat peluang ini apalagi di saat yang sama Uni Eropa dan AS masih
mengalami kemandekan ekonomi dan hubungan yang kurang harmonis dengan
beberapa negara ASEAN.
Peningkatan
pengaruh China setidaknya bisa terlihat dari semakin dekatnya beberapa
pemimpin negara ASEAN dengan China. Presiden Filipina Rodrigo Duterte secara
nyata mengambil garis menjauh dari AS dan mendekat ke China serta Rusia.
Sikap
politik ini tampaknya terkait dengan persoalan AS yang dianggap terlalu
campur tangan soal HAM, upaya memperkuat geopolitik di Laut China Selatan dengan
melihat China yang makin kuat secara militer serta tidak lepas dari pengaruh
pengusaha Filipina yang banyak di antaranya keturunan China.
Malaysia
yang sejak zaman Mahathir memiliki hubungan yang kurang baik dengan AS, juga
memilih lebih mendekat ke China. Pembelian empat kapal perang ke China
terlihat sebagai reaksi PM Malaysia Najib Razak atas sikap AS yang dianggap
ikut campur dalam isu skandal perusahaan investasi milik pemerintah bernama
1Malaysia Development Berhad atau 1MDB yang melibatkan dirinya.
Pemimpin
Laos secara terbuka juga menyatakan afiliasi kepada China pada awal 2016.
Kebijakan ini dipicu keinginan Laos untuk menarik investasi infrastruktur
China skala besar berupa proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang
menghubungkan Asia ke Eropa. Kamboja juga mengalami hal sama, lebih mendekat
ke China dengan ada investasi pembangunan infrastruktur dan dana pinjaman.
Sementara
Thailand yang sejak militer berkuasa mengalami kemerosotan hubungan dengan AS
dan Eropa mendorong peningkatan hubungan perdagangan dengan China, termasuk
dalam pembelian persenjataan. Pada 2016 China menjadi mitra dagang terbesar
Thailand dan mampu melampaui Jepang.
Pendekatan
ekonomi China terlihat semakin menguatkan pengaruh politik di kawasan ASEAN.
China dalam hal ini mampu memanfaat sentimen negatif sebagian negara ASEAN
terhadap AS yang dianggap terlalu campur tangan terhadap isu dalam negeri.
Selain itu, China juga mampu mengambil inisiatif saat ekonomi AS dan Eropa
masih mengalami stagnasi.
Pada
saat kondisi ekonomi global masih labil upaya penetrasi ekonomi China dapat
menjadi peluang pembangunan ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjalin kerja
sama dan mendapatkan dana pinjaman guna membangun infrastruktur.
Meski
demikian, kesiapan dan kemandirian negara dalam mengelola kerja sama sangat
dibutuhkan untuk memastikan kerja sama tersebut berjalan saling
menguntungkan. Apabila negara tidak siap dan teledor, investasi dari China
dapat menjadi ancaman dan persoalan serius sebagaimana terjadi di Zimbabwe
dan Srilanka.
Kegagalan
pengelolaan dana pinjaman dari China di Zimbabwe, negara di Benua Afrika,
menyebabkan negara tersebut terjerat krisis ekonomi yang lebih berat. Dengan
dalih memperkuat perdagangan dengan China, Zimbabwe pada akhir 2015 setuju
menjadikan yuan China sebagai mata uang publik dan pada saat yang bersamaan
China membatalkan sebagian utang Zimbabwe sebesar USD40 juta atau Rp560
miliar.
Sementara
di Srilanka, kegagalan dalam mengelola kerja sama dan pinjaman luar negeri
untuk pembangunan infrastruktur dalam satu dekade menyebabkan permasalahan
keuangan serius. Upaya penyelesaian dengan menawarkan pengelolaan atas
sejumlah infrastruktur terbesar yang ada di Srilanka, termasuk Mattala
International Airport dan porsi pengelolaan Pelabuhan Hambatota sebagai ganti
atas pembayaran utang oleh Srilanka ditolak China.
Salah
satu poin kunci dalam penawaran tersebut jika China menolak skema debt equity
swap, perusahaan China dapat mengambil alih proyek-proyek yang ada di
Srilanka. Dalam kondisi krisis ekonomi yang berat ini, Srilanka tidak lagi
memiliki posisi tawar terhadap Pemerintah China.
Indonesia
sebagai bagian dari ASEAN saat ini juga sedang cukup hangat membangun kerja
sama dengan China. Berbagai proyek infrastruktur penting semakin banyak dikerjasamakan
dengan China sebagaimana dimuat di situs Sekretariat Kabinet disebutkan,
proyek infrastruktur yang menggandeng China antara lain pembangunan 24
pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000
kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta
pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW).
Kita
tentu berharap kerja sama dilakukan dengan kesadaran ekonomi sekaligus
politik bahwa tidak ada makan siang gratis. Kesiapan dan kemandirian negara
harus diutamakan untuk memastikan kerja sama yang dilakukan mampu
menyejahterakan masyarakat dan tidak membahayakan kedaulatan bangsa.
Pemerintah
juga harus memastikan tidak ada klausul perjanjian kerja sama yang berpotensi
merugikan Indonesia, termasuk dalam penggunaan tenaga kerja. Pencaplokan dan
eksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan asing jangan
sampai terulang kembali ibarat ”ingin keluar dari mulut harimau malah masuk
ke mulut buaya”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar