PR
Inflasi 2017
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
KORAN SINDO, 02 Januari
2017
Tahun
2017 pemerintah menargetkan inflasi 4%. Target ini dibayangi tantangan
internal dan eksternal, termasuk potensi kenaikan tarif dasar listrik (TDL)
dan kenaikan harga minyak dunia yang bakal memengaruhi harga BBM di pasar
domestik.
Namun
demikian, belajar dari pengalaman 2016, pemerintah lebih siap mengendalikan
kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (administered goods). Indonesia
juga terbiasa dengan fluktuasi ekonomi global. Inflasi inti selama beberapa
tahun terakhir juga terkendali. Sebaliknya, tantangan pengendalian inflasi
2017 ada pada instabilitas harga pangan. Pekerjaan rumah mengendalikan
inflasi pangan 2017 bisa ditelusuri jejaknya dari tahuntahun sebelumnya.
Tingkat
inflasi tahun kalender Januari- November 2016 tercatat 2,59%, dan inflasi
dari tahun ke tahun 3,58%. Hingga akhir 2016 diperkirakan inflasi 3,5%, lebih
rendah dari target 4%. Inflasi yang rendah ini disumbang terkendalinya
administered prices dan inflasi inti. Inflasi lebih banyak disumbang volatile
foods. Sepanjang 2016, harga sejumlah komoditas pangan, terutama pangan
pokok, tidak stabil.
Harga
naik turun mengikuti irama pasokan dan permintaan yang juga fluktuatif.
Setidaknya ada 9 komoditas yang harganya tidak stabil, yakni beras, jagung,
kedelai, daging sapi, daging ayam, bawang merah, bawang putih, cabai merah,
dan cabai keriting. Cabai misalnya, hingga November menyumbang 0,5% dari
2,59% inflasi atau 19,3%. Ini amat besar. Pasokan yang fluktuatif membuat
harga cabai naik turun bagai roller coaster.
Dalam
beberapa tahun terakhir memang ada kecenderungan inflasi didorong oleh
fenomena non-moneter, yakni volatile foods, bukan dari administered goods.
Pada 2014, dari inflasi 8,36% sekitar 2,06% disumbang oleh bahan pangan dan
1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Secara keseluruhan pangan berperan
40,31% pada inflasi nasional. Pada 2015 kecenderungannya sama, yang tercermin
dari andil pangan sebesar 61,19% dari inflasi nasional sebesar 3,35%.
Ditilik
dari sumbernya, pangan yang berperan besar dalam inflasi berturut- turut
adalah beras, bawang merah, daging broiler, ikan segar, nasi dengan lauk,
telur ayam, bawang putih, mie, dan gula pasir. Dibandingkan tahun 2014,
komoditasnya tidak berbeda signifikan. Yang berbeda hanya andilnya dalam
inflasi.
Fluktuasi
harga pangan dan inflasi akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat,
terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi
akibat instabilitas harga pangan akan mengekspose warga miskin pada posisi
rentan. Karena itu para ekonom menyebut inflasi “perampok uang rakyat”. Per
September 2015, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp344.809, 73,07% di
antaranya disusun dari makanan.
Artinya
warga miskin membelanjakan 73% pendapatan keluarga untuk pangan. Dari semua
jenis pangan, beras paling dominan, menguras 29% pendapatan keluarga miskin.
Mereka mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak
tinggi. Jumlah warga miskin di negeri ini tidak kunjung turun signifikan satu
dekade terakhir karena instabilitas harga pangan masih menjadirutinitasyangberulang.
Oleh
karena itu, bisa dipahami presiden di era pemerintahan manapun, termasuk duet
Presiden dan wakil Presiden Jokowi- Jusuf Kall, berupaya mengendalikan harga
pangan. Yang terakhir, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan mengatur
harga acuan 7 komoditas pangan: beras, jagung, kedelai, gula, cabai, bawang
merah dan daging sapi. Dalam Permendag No. 63/2016 tentang Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen itu pemerintah
ingin menjamin stabilitas harga dan pasokan 7 komoditas.
Harga
akan jadi acuan pemerintah untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak
harga. Harga sudah memperhitungkan keuntungan petani, pedagang dan daya beli
konsumen. Harga berlaku secara nasional dan akan dievaluasi 4 bulan sekali.
Pemerintah hakulyakin harga acuan bisa menjadi solusi instabilitas harga
pangan.
Pemerintah
menugaskan Bulog dan BUMN lain sebagai stabilisator harga. Acuannya, saat
harga jatuh Bulog dan BUMN lain harus menyerap produksi petani domestik
sesuai harga acuan. Sebaliknya, saat harga melentik tinggi, mereka harus
mengguyur pasar dengan operasi pasar dan pasar murah. Jika tidak mempan,
pintu impor dibuka, terutama bila pasokan do-mestik tidak cukup. Patokannya,
harga jatuh/naik 9% dari harga acuan.
Akankah
harga acuan jadi panasea instabilitas harga pangan? Tujuan beleid ini hanya
acuan. Karena itu pengaruhnya terhadap stabilitas harga bersifat residual.
Pertama,
harga actual dipasar saat ini jauh diatas harga acuan.
Harga
beras di pasar saat ini Rp10.680/kg, di atas harga acuan Rp9.500/kg. Harga
bawang merah di pasar Rp37.720/kg, juga di atas harga acuan Rp32 ribu/kg.
Kalau harga diturunkan, yang paling merugi petani. Tentu tidak adil.
Kedua,
tak ada sanksi bila harga acuan tak dipatuhi.
Permendag
ini tak lebih macan kertas. Ketiga, kebijakan ini tidak dibarengi instrumen
penting stabilisasi harga, seperti cadangan pangan 7 komoditas, dan aturan
distribusi. Ada atau tidak ada Permendag ini hampir tak ada bedanya.
Produsen, pengusaha atau sekelompok kecil orang yang memiliki kuasa
mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar tetap terbuka celah untuk
melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga dan wilayah
distribusi. Saat ini hampir semua harga pangan, kecuali beras, masih
diserahkan kepada mekanisme pasar.
Instrumen
stabilisasi terbatas. Sejak Bulog dikebiri, praktis kita tidak memiliki badan
penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Kini, penyangga dan pengatur harga diambilalih swasta. Mereka menguasai
distribusi komoditas pangan. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis
ini terjadi pada dua sumber pasokan: produksi domestik dan impor. Di tangan
mereka, bisnis ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking.
Untuk
menstabilkan harga pangan secara sistemik dan terencana, bisa dimulai dengan
penetapan jenis pangan pokok tertentu yang diatur cadangannya. Penetapan ini
sebagai penanda negara hadir dan menstabilisasikan harga dan pasokan pangan.
Untuk itu, negara harus memilih kemudian menetapkan, tidak mungkin semua
jenis pangan direngkuh.
Lalu,
menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU
Pangan. Selain menetapkan jumlah cadangan Pangan Pokok Tertentu, kepala
lembaga ini bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan
pembangunan pangan. Agar komplet, instrumen stabilisasi harus dilengkapi
dengan beleid harga (atas dan bawah), aturan ekspor- impor, penyimpanan dan
distribusi. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan
cadangan dan stabilisasi harga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar