Pancasila
sebagai Solusi Konsolidasi Demokrasi
Anonim ; Wartawan
Media Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
02 Januari 2017
PERJALANAN
demokrasi di Indonesia masih menempuh jalan terjal nan berliku. Keberagaman
yang seharusnya menjadi napas bagi perkembangan demokrasi di Indonesia kerap
menemukan batu sandungan. Pilar-pilar demokrasi masih lunglai untuk
memperkukuh keindonesiaan kita. Untuk membedah hal itu, Media Indonesia,
menggelar Focus Group Discussion bertema Konsolidasi demokrasi di Indonesia
pada Kamis, 22 Desember 2016. FGD diikuti 15 pakar dari berbagai bidang.
Berikut petikannya.
Gubernur
Lemhannas Agus Widjojo mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Laboratorium
Pengukuran Ketahanan Nasional Lemhannas, gatra demografi, yaitu ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan, tidak banyak yang
bagus.
Pengukuran
dilakukan sebelum aksi-aksi terkait dengan kasus Ahok (November-Desember).
Gatra ideologi berada di lampu kuning atau hanya satu tingkat lebih tinggi
daripada yang paling rendah. Begitu pun gatra politik, meski mengalami
peningkatan, masih berada di tataran kuning. Hal yang sama terjadi pada gatra
sosial-budaya.
Skor
Lemhannas terdiri dari konsensus dasar, yakni empat pilar; Pancasila, NKRI,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta doktrin
operasionalnya wawasan Nusantara dan ketahanan nasional. Dari situlah
sebetulnya, Lemhannas mengambil jabaran dalam bentuk variabel dan indikator
dalam pengukuran.
Ada
lima kategori; sangat tangguh, tangguh, cukup tangguh, kurang tangguh, dan
rawan. Skalanya antara 1 dan 5; 4,2 sampai dengan 5 itu sangat tangguh, 3,4
sampai 4,2 itu tangguh, 2,6 sampai 3,4 itu cukup tangguh, 1,8 sampai 2,6 itu
kurang tangguh, sedangkan 1 sampai dengan 1,8 itu ialah rawan. Salah satu
temuan yang menarik, yang membuat nilai rendah ialah ketidakpuasan atas
ketimpangan. Tak hanya ketimpangan ekonomi, tetapi juga dari segi keadilan.
Rohaniwan
Franz Magnis Suseno menuturkan, sekarang ada dua pola ideologis yang
berhadapan. Bangsa kita memiliki mukjizat Sumpah Pemuda bahwa dalam suatu
masyarakat yang majemuk tumbuh kesadaran orang Indonesia, satu tanah air,
satu bangsa, satu bahasa, yang memperjuangkan satu negara bersama.
Implikasi
dalam Pancasila yang ditarik secara eksplisit ialah kesetiaan untuk saling
menerima di dalam identitas masing-masing. Yang paling mencolok, kesetiaan
mayoritas besar Islam untuk tidak menuntut suatu kedudukan khusus di dalam
UUD 1945. Dia melihat konsensus untuk saling menerima dalam perbedaan masih
utuh.
Namun,
yang terjadi di bulan-bulan terakhir ini belum pernah dialami Indonesia dalam
seluruh sejarahnya, yaitu munculnya agama, katakan saja Islam, sebagai suatu
pemersatu protes perasaan mau diakui. Ahok itu hanya menjadi kesempatan,
pembukaan. Itu yang sekarang disebut identity politics (politik identitas).
Itu gelombang yang ada di seluruh dunia, tidak hanya menyangkut agama.
Nah,
bahayanya di Indonesia. Kalau ingin diakui, konsensus dasar Pancasila akan
hancur. Saya khawatir kalau politik identitas itu disintegratif dalam arti
tidak kenal kata kita, yang dikenali kata kami dan mereka.
Di
Indonesia, modal sosial budaya dan hati yang mendukung kebersamaan itu masih
sangat kuat. Pada prinsipnya orang Indonesia di mana pun, agama apa pun,
tidak secara spontan menolak agama lain. Kenyataannya bahwa mainstream Islam,
NU, Muhammadiyah, dan lain-lain, betul-betul mendukung NKRI. Itu sebetulnya
modal stabilitas demokrasi Indonesia sekarang.
Politikus
Partai NasDem Willy Aditya menjelaskan, dalam konteks Ahok, ada peranti
sosial, ada peranti perpolitikan kita yang maju, bahasanya scientific
approach dengan proses politik kita makin berkembang.
Artinya,
orang ketika mengajukan suatu kandidat itu berdasarkan survei. Jadi, tidak
asal karena siapa, tidak asal kader siapa, tidak. Tapi di satu sisi, yang
tidak bisa kita mungkiri, ketika kita melihat seseorang kandidat itu terlalu
kuat, pilihannya ekstrem, dia bisa menjadi kotak kosong atau dia dicarikan
jalan untuk menumbangkan.
Nah,
dalam konteks Ahok, dia dicarikan jalannya yang paling efektif, yaitu isu
SARA. Fenomena ini terjadi tidak hanya di pilkada Jakarta. Hampir di semua
pilkada, yang menjadi konsumsi dan komoditas politik itu ialah isu SARA.
Efeknya kan pada disintegrasi sosial.
Nilai
gatra sosial kita rendah karena kemudian dia berimplikasi pada realitas
sosial. Konsolidasi demokrasi hanya bisa dilakukan rezim yang demokratis.
Kalau kita mau belajar konsolidasi demokrasi, secara normatif tentu kita
berbicara melibatkan civil society, political society, business society.
Kita
melihat bagaimana Bung Karno melakukan konsolidasi demokrasi dengan demokrasi
terpimpinnya. Kalau sekarang kan kita menghadapi ancaman laten ekstrem kanan.
Jawabannya, ada-tidak agenda-agenda pemerintahan untuk kemudian mengonversi,
untuk kemudian dia menjadi agenda bersama sehingga pertikaian terminimalkan.
Konsolidasi demokrasi tidak bisa dipisahkan dari agenda-agenda pemerintahan.
Pakar
Kebangsaan Yudi Latif menuturkan, dalam 17 tahun terakhir kebebasan sebagai
negative right kita mengalami perkembangan baik. Maksudnya, dari represi
ketakutan, kita sekarang mengalami surplus kebebasan. Sekarang muncul masalah
baru bahwa represi tirani tidak datang dari represi negara, tapi dari
kelompok-kelompok fanatisisme. Civil
society yang uncivilized society.
Makanya
dulu di pemikir pencerahan menghadapkan civil
society itu tidak dengan negara, tapi dengan fanatisisme. Tidak ada ruang
antara kota Tuhan dan kota duniawi. Semuanya harus ditulis kitab suci, secara
huruf per huruf harus dijalankan.
Tetapi,
secara keseluruhan, pers mengalami kebebasan yang luar biasa, kita bisa
ngomong apa pun, apalagi di media sosial. Industri kebohongan pun bisa hidup
subur. Sekarang, kan ada industri hoax yang tiap bulan mendapatkan uang
puluhan juta rupiah dari memanipulasi dan memelintir berita.
Kebebasan
sebagai negative right kita
mengalami kenaikan, tetapi kebebasan sebagai positive right terus terang mengalami defisit. Sekarang demokrasi
kita tidak memperkuat integrasi nasional, tidak mengarah pada kondisi sosial
yang lebih baik. Jadi siapa bilang demokrasi kita on the right track. Di mana letak distorsinya? Demokrasi bisa
semakin mengarah pada integrasi nasional kalau inklusif dalam keterwakilan
rakyat. Mestinya sistem harus lebih inklusif, harus memungkinkan segala
warga, baik secara individu, golongan, ataupun daerah, secara inklusif harus
terwakili.
Pilar demokrasi rusak
Pakar
hukum tata negara Mahfud MD memaparkan, kalau bicara lembaga negara sebagai
pilar demokrasi ada tiga yakni legislatif, eksekutif, yudikatif. Nah
problemnya sekarang, tanpa harus menunjukkan lagi data-data hasil survei,
ketiga lembaga itu sedang rusak parah. Mungkin yang agak bagus sekarang ini,
pers.
Kita
ini terjebak dalam satu dilema, apakah mau membangun demokrasi atau
mempertahankan integrasi karena keduanya sebenarnya bertentangan. Demokrasi
itu ingin membebaskan, integrasi itu ingin memaksa mengikat. India dan
Pakistan memisahkan diri karena atas nama demokrasi. Karena Anda Hindu, saya
Islam. Itu tahun 1947, tahun 1971 gantian ada Bangladesh yang berpisah dari
Pakistan. Anda bahasa Urdu, kami bahasa Bengali. Anda putih, bagus, kami
hitam, susah, menjadi Bangladesh.
Kita
sekarang sedang menghadapi seperti itu. Situasinya sekarang ini, di tingkat
elite politik kita seperti serigala semuanya mau memangsa. Korupsi
ramai-ramai, tapi di tingkat rakyat, seperti domba. Di atas kita delegatis,
di bawah kecenderungannya anarkistis. Ini sangat berbahaya.
Memang
ada sedikit kemajuan sekarang, misalnya pilkada langsung mungkin banyak
mudaratnya, tapi ada sesuatu yang mungkin tidak kita sadari. Pilkada model
sekarang itu sebenarnya ada kebaikannya karena menghapus sekat-sekat
ideologis. Misalnya, PKS yang sangat kanan itu, di Papua harus mendukung
orang yang bukan Islam.
Ekonom
Telisa Aulia Falianty mengatakan, Profesor Gery van Klinken, peneliti senior
dari Netherland Institute for
South-east Asian and Carribian Studies, bilang bahwa kelas menengah
Indonesia yang meningkat pesat karakteristiknya cukup aktif dalam politik.
Mereka juga memiliki kecenderungan beragama yang relatif konservatif, serta
menolak sistem pasar yang terlalu bebas, dan mencintai negara, dan mengutamakan
putra daerah.
Tidak
seperti di Amerika dan Inggris yang lebih liberal dan lebih propasar, kelas
menengah kita ternyata relatif menolak sistem pasar dan kemudian tadi relatif
konservatif dari sisi keagamaan.
Kelas
menengah kita juga cukup besar jumlahnya, meningkat terus dari 45 juta
menjadi 134 juta, dan data terakhir 177 juta atau 70% dari jumlah penduduk.
Peran kelas menengah dalam konsolidasi demokrasi Indonesia perlu diperhatikan
walaupun polanya agak anomali.
Sayap
kanan demokrasi yang kedua itu ialah keadilan sosial. Rasio kita mengalami
peningkatan, sejak 2010 meningkat terus, walaupun 2016 turun sedikit.
Meski
dalam Nawacita sudah ada mengenai demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, tapi
betul-betul harus diberikan buktinya kepada masyarakat bahwa memang ada
demokrasi ekonomi. Makanya faktor-faktor ketimpangan harus diperhatikan.
Pertumbuhan kelas menengah yang meningkat pendidikannya dan juga
sensitivitasnya terhadap permasalahan bangsa juga perlu menjadi perhatian.
Pakar
politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, kita sudah 18 tahun melakukan reformasi
politik menuju demokrasi, tetapi ternyata konsolidasi demokrasi tidak
terjadi. Contohnya, ada upaya untuk menggerakkan massa oleh kekuatan politik.
Konsolidasi
demokrasi akan terjadi kalau tidak ada kekuatan politik, militer, ekonomi,
massa, termasuk juga kekuatan intelektual menyatu untuk mengganti
pemerintahan yang sah dengan cara tidak demokrasi. Dari dulu saya selalu
menentang kalau ada gerakan-gerakan tersebut, termasuk terhadap SBY pada 2005.
Ada
pertanyaan, kalau salah pilih presiden bagaimana? Kalau sudah memilih
presiden untuk lima tahun, ya ia akan menjabat selama lima tahun. Hormati
pilihan rakyat.
Peranan
partai politik memang tidak ada. Tak ada peranan partai politik sebagai pendidik
rakyat, tak ada peranan partai politik sebagai alat penyelesaian konflik.
Antara
elite yang berbeda selalu terjadi kepentingan yang sama. Mereka bisa duduk
bersama untuk menentukan siapa yang akan diusung. Atau kemudian, kalau di
salah satu komisi DPR yang diomongin kapan kita jalan-jalan lagi, kunjungan
ke luar negeri, dan sebagainya.
Bagaimana
dengan massa, tidak ada kaitannya. Massa selalu menjadi korban dari
pergerakan politik. Indonesia terpecah antara ideologi, agama, dan kemudian
juga etnik.
Cendekiawan
Komarudin Hidayat menuturkan ada political
state, political nature, dan political
culture. Nah, dari budaya dulu, demokrasi itu yang mengenalkan ialah
sarjana barat.
Namun,
budaya Indonesia itu pengaruh Islam-Timur Tengah kuat sekali, sedangkan di
Timur Tengah, itu sejarah dari Yesus dengan Muhammad beda sekali. Muhammad
ketika meninggal mewariskan political
community yang tidak ada pemisahan dan itu diteruskan para sultan hingga
kini.
Masalah
agama dan negara ini belum selesai. Oleh karena itu, jangan kaget kalau ulama
Timur Tengah mengatakan demokrasi itu setan karena hukum tertinggi ialah
hukum Tuhan. Sementara itu, demokrasi tertinggi ialah suara rakyat.
Kalau
kita bicara aktor demokrasi, siapa aktornya? Rakyat dan parpol, tetapi parpol
ini gagal. Sejak reformasi itu sudah 10 menteri masuk tahanan. Lalu parpol
itu ngapain? Sebagian orangnya ialah mesin ujung tombak parpol untuk mencari
duit.
Jadi,
parpol itu sekarang ke bawah tidak punya akar, tidak melakukan edukasi; ke
atas pun tidak menawarkan tokoh dan program. Tetapi yang ada lobi-lobi
menjelang pemilu. Bagaimana mencari sumber ekonomi di APBN.
Budayawan
Radhar Panca Dahana mengatakan dari dulu parpol itu tidak ada bedanya dengan
perampok. Dia tidak memiliki peran dalam pembentukan negeri ini, bangsa ini,
Republik ini, tetapi sekarang minta saham paling banyak.
Tiba-tiba
negeri ini dijatah mereka, tetapi sampai Republik ini merdeka, apa peran
parpol? Unsur yang berperan itu kekuatan lokal, pemimpin daerah, raja-raja
yang menyerahkan kedaulatan mereka kepada republik. Parpol apa? Begitu
merdeka, terus ada orang luar bilang, “Sistemnya demokrasi, lo, dan parpol
menjadi kewajiban.”
Yang
bilang politik harus dengan parpol itu siapa? Pada 1945 anak-anak muda
Indonesia belajar ke luar negeri, belajar demokrasi, belajar ekonomi. Nanti
yang belajar itu menjadi bapak bangsa.
Jadi,
terus terang, demokrasi mati. Tidak sampai 20 tahun lagi, mungkin 10 tahun
lagi ambruk demokrasi di seluruh dunia karena kegelisahan bahwa demokrasi
tidak memberikan apa-apa, bahkan merusak tatanan kehidupan.
Pakar
hubungan internasional Makmur Keliat melihat perkembangan di tingkat
internasional pascaterpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, sangat
mungkin AS lebih memprioritaskan pendekatan unilateral, lalu multilateral.
Indonesia, menurut dia, siap menerima munculnya pemimpin baru hasil pilihan
rakyat AS tersebut. Itu mungkin menjadi satu tantangan, bagi kelompok
masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah untuk melihat dan mengantisipasi
apakah memang benar terjadi perubahan itu.
Antropolog
PM Laksono mengingatkan bahwa lebih dari 300 antropolog dari Sabang sampai
Merauke saat ini sangat prihatin dengan kondisi parokial yang terjadi
belakangan ini.
Koentjaraningrat
pada 1950-an sangat prihatin saat menulis disertasinya bahwa Indonesia
mengalami krisis akulturasi, yakni ketika semua pengetahuan budaya yang kita
miliki tidak mampu menjawab persoalan yang menggelombang masuk. Rakyat yang
melahirkan Republik, tetapi dipinggirkan pada wacana demokrasi oleh partai-partai
politik saat ini.
Antropolog
Teuku Kemal Fasya menyebutkan keberagaman Indonesia itu bukan hanya retorika
atau aksesori linguistik. Itu kenyataan empiris bahwa ketika tidak dikelola
dengan baik, Indonesia bisa pecah seperti Suriah, Balkan, dan Uni Soviet.
Media sosial harus
produktif
Pengamat
media Agus Sudibyo mengatakan bahwa media sosial ialah sejenis freerider dalam demokrasi digital di
Indonesia. Menarik sekali bahwa sebagian besar dari kita tidak sadar bahwa media
sosial itu ialah sebuah perusahaan, korporasi bisnis, yang selalu mengambil
keuntungan dari semua diskusi kontroversial yang terjadi di dunia maya.
Persoalannya,
menurut Agus, kita belum memberikan tanggung jawab yang semestinya kepada
media sosial. Ini salah paham yang perlu diperbaiki. Bagaimana agar media
sosial produktif bagi ruang publik yang beradab?
Jelas
sekali menutup tanggung jawab Facebook, Twitter, dan lain sebagainya, jangan
biarkan mereka sebagai freerider dari
turbulensi politik kita yang terjadi hari ini. Karena itu, sebenarnya
pemerintah harus segera mewujudkan rencana untuk membuat Facebook dan Twitter
itu bayar pajak di Indonesia. Nah kemudian literasi media tadi juga penting.
Di negara seperti Australia itu perusahaan seperti Google dan Facebook
diminta mengalihkan sebagian keuntungan mereka untuk mendidik masyarakat.
Intelektual
muda NU Zuhairi Misrawi menegaskan bahwa Pancasila ialah solusi yang luar
biasa bagi bangsa Indonesia.
Pancasila
juga solusi konsolidasi demokrasi. Itu harus diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan.
Pakar
politik Philip J Vermonte mengatakan pemilu kita itu tidak menghasilkan efek
punishment and reward. Pemilu itu tujuannya punishment sama reward;
kalau Anda enggak berprestasi, saya voted out, kalau Anda berprestasi, saya voted in.
Kita
ini kan pemilih dikhianati partai, di hari pertama pemilu sudah dikhianati.
Bukan hari pertama, beberapa jam.
Kita
harus membuat sistem pemilunya diperbaiki terus-menerus untuk menimbulkan
ketakutan partai politik untuk mengkhianati pemilih.
Tak
ada partai itu tidak bisa berkoalisi setelah pileg. Kemarin kan kita kan
karena sesudah pileg, sudah tahu kursinya berapa, lalu salaman sama orang
yang tidak mau dipilih. Jadi, efek punishment
sama reward itu tujuan utama dari
pemilu dari perspektif pemilih itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar