Langkah
Mundur Demokrasi
Adi Prayitno ; Dosen
Politik Fisip UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN SINDO, 02 Januari
2017
Belakangan
ini kita dihadapkan pada situasi yang hampir serupa dengan zaman Orde Baru.
Kebebasan berpendapat di muka umum dihalangi, sikap kritis dituding makar,
serta menangkap sejumlah aktivis karena diduga melakukan pemufakatan jahat
untuk memakzulkan pemerintahan yang sah.
Fenomena
politik semacam ini menandai babak baru bagi kemunduran demokrasi kita. Meski
usia reformasi sudah mencapai delapan belas tahun, kebebasan sipil (civil
liberty) seperti melakukan aksi demonstrasi seakan menjadi barang mewah. Ada
tiga indikator yang bisa diringkas untuk melihat gejala kemunduran demokrasi
saat ini.
Pertama,
melarang umat Islam di berbagai daerah untuk ikut aksi “Bela Islam” ke
Jakarta soal penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias
(Ahok).
Ironis,
di tengah demokrasi kita yang kian tumbuh mekar, masih saja ada upaya
menghalangi kebebasan berekspresi. Apa pun alasannya, melarang warga negara
(citizen) melakukan aksi jelas melanggar konstitusi. Apalagi, larangan itu
didasarkan pada kecurigaan sepihak bahwa aksi mereka berpotensi makar.
Argumen yang sungguh melukai perasaan umat serta mendiskreditkan reputasi
Islam di Indonesia. Nyatanya, tiga kali aksi “Bela Islam” berlangsung damai.
Kedua,
pemberlakuan revisi Undang-Undang Nomor 11/ 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Publik
tersentak dengan diundangkannya UU ITE baru ini karena dikhawatirkan hanya
akan menjadi alat membungkam suara-suara kritis. Wajar jika publik tersentak
sebab masih ada sejumlah poin krusial yang menjadi sorotan. Salah satunya
soal ada pasal karet yang tidak jelas tolok ukurnya untuk menjerat seseorang
yang divonis bersalah. Misalnya, Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang
penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Pada
zaman Orde Baru, pasal karet kerap digunakan untuk menjinakkan kelompok
aktivis kritis dan gerakan civil society lain. Pasal yang digunakan cukup
fleksibel. Hanya penguasa yang paling otoritatif menafsirkannya. Ketiga,
penangkapan sejumlah aktivis yang diduga makar serta melakukan pemufakatan
jahat untuk menggulingkan pemerintahan sah. Meski tak ada bukti akurat, para
aktivis ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Penangkapan
aktivis tersebut ditentang publik karena dasar hukumnya lemah. Tak masuk akal
menuding makar kepada aktivis yang aktivitasnya mudah dipantau publik. Publik
kini bertanya, apakah rencana yang disampaikan secara terbuka bisa disebut
makar? Apakah aktivitas makan sambil diskusi tentang pentingnya kembali ke
UUD 1945, cabut mandat, dan isu politik lain bisa dituding makar? Tentu saja
tidak.
Itu
hanya diskusi politik biasa. Tak perlu disikapi berlebihan. Bukan kali
pertama para aktivis itu melakukan propaganda cabut mandat terhadap
pemerintahan sah. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gerakan cabut
mandat sering mereka lakukan. Namun, SBY memaknai gerakan semacam itu sebagai
bahan berbenah. Bukan malah sebaliknya, dihadapi dengan represif.
Politik “Meja Makan”
Di
negara yang demokrasinya terkonsolidasi, politik tak hanya dibicarakan dalam
forum- forum besar strategis, namun juga bisa lahir dari ruang sempit dalam
keseharian hidup kita. Perbincangan politik bisa tersaji di mana pun, kapan
pun, dan oleh siapa pun. Mengutip frasa Jeffrey C Goldfarb dalam The Politics
of Small Things (2006), perbincangan soal politik tak melulu muncul dari
sebuah gerakan besar. Ia kerap muncul diawali dari suatu hal yang kecil dan
sederhana seperti obrolan di meja makan.
Di
tempat makan, seseorang cenderung bicara bebas secara terbuka tentang keadaan
sosial, ekonomi, dan politik mutakhir. Ia melampaui kejumudan aktivitas
keseharian di kantor, rutinitas, dan sebagainya. Diawali dari interaksi
sosial yang berskala kecil itulah gerakan politik kerap tercipta. Sebab itu,
embusan wacana cabut mandat harus dimaknai sebagai bentuk manifestasi
kegelisahan politik.
Apalagi,
diskusi dilakukan di tempat makan yang cukup terbuka, bukan bawah tanah. Pun,
tak ada mobilisasi massa yang berujung makar dan anarkistis. Suatu hal yang
wajar dalam demokrasi. Begitu juga gerakan aksi “Bela Islam” lahir dalam
interaksi keseharian para aktivis Islam di musala, masjid, tongkrongan warung
kopi, maupun lewat media sosial. Mereka menjadikan ruang publik terbuka (free
public sphere) sebagai ajang konsolidasi memperjuangkan keadilan lantaran
agama mereka dinistakan.
Lantas,
apa kesalahan kelompok kritis yang menuntut keadilan itu? Polisi tak perlu
berlebihan menghadapi mereka. Tak perlu pula menghambat dengan regulasi yang
berpotensi membelenggu kebebasan. Tapi, jika terbukti makar, polisi
sepantasnya bertindak tegas. Rakyat pasti mendukung di belakang.
Personalisasi Kekuasaan
Secara
teoritis salah satu kelemahan sistem presidensial ialah munculnya personalisasi
kekuasaan eksekutif, yaitu praktik politik di mana seorang penguasa
menjelmakan dirinya sebagai kekuasaan itu sendiri. Akibat itu, ia antikritik
karena menganggap dirinya mewakili keseluruhan kehendak rakyat. Profesor Juan
Linz menulis The Perils of Presidentialism dalam Journal of Democracy(1990)
tentang kabar buruk sistem presidensial bagi demokrasi. Menurutnya,
personalisasi kekuasaan politik disebabkan terlalu luasnya kekuasaan presiden
serta lemahnya kontrol publik.
Implikasinya
adalah lahirnya rezim yang tak demokratis, bahkan cenderung otoriter. Karena
itu, reformasi 1998 membawa spirit menghancurkan praktik personalisasi
kekuasaan yang terpusat di tangan Soeharto. Setelah itu, kita berharap
kebebasan berekspresi, hak ekonomi dan politik dilindungi dengan baik.
Eksperimen membangun demokrasi sehat silih berganti telah dilakukan sejak
zaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga SBY.
Pasca
reformasi, baru kali ini protes yang disampaikan secara prosedural dituding
makar. Baru kali pertama, aksi “Bela Islam” dilarang dan ditengarai
ditunggangi kepentingan elite tertentu. Baru kali ini, kebebasan di dunia
maya “diamputasi” dengan UU ITE yang terbaru. Pemerintah tak perlu paranoid
dengan aksi maupun protes kritis citizen. Kita berharap sikap kritis dimaknai
sebagai upaya membangun bangsa. Bukan dihadapi dengan cara jahiliah yang
menjadikan arogansi kekuasaan sebagai panglima. Cukup sudah kita hidup getir
pada zaman Orde Baru. Tak perlu diulangi lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar