Pilkada,
Petahana dan Investasi Demokrasi
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA INDONESIA,
17 Januari 2017
PILKADA
serentak gelombang kedua 15 Februari 2017 sudah di depan mata. Ada harapan,
pilkada di tahun superpolitik ini akan menguncupkan harapan baru bagi
kesegaran demokrasi lokal. Namun, harapan itu seperti sedang diintai sejumlah
trauma. Sejauh ini proses politik pilkada masih mengesampingkan pentingnya
membangun disiplin rakyat untuk menguji kualitas kandidat, menata sistem dan
regulasi pemilihan yang dikawal manajemen teknokratis (tata mekanisme pilkada
yang jelas, terukur, dan mudah dipertanggungjawabkan), serta menjamin seluruh
tahapan proses pemilihan berlangsung konstitusional.
Perpaduan
faktor ini di sejumlah daerah melahirkan konflik, berikut menegasi makna
kepemimpinan dari perspektif demokrasi substantif. Dalam keadaan proses
pilkada hanya prosedural dan menguras rekening politik (energi, waktu, dan
suara) rakyat tanpa diimbangi instrumen pembudayaan politik dan kontrol
memadai, pilkada hanya menghasilkan suara mayoritas (semu) yang mendorong
penyalahgunaan legitimasi berupa penimbunan kekuasaan kepemimpinan yang tidak
peduli pada pemenuhan kepentingan publik dan sumpah jabatan.
Rasanya
silogisme politik, bahwa legitimasi kepemimpinan menentukan kualitas
demokrasi dan keberhasilan pemimpin dalam konsolidasi demokrasi (lokal),
perlu dikritisi lebih jauh. Intensi ini, misalnya, dapat diperiksa pada
fenomena kemenangan kepala daerah petahana berdasarkan raihan suara dan
tingkat partisipasi politik rakyat dalam pilkada.
Petahana
Tahun
2010, misalnya, terdapat 244 pilkada yang dilangsungkan di 7 provinsi, 202
kabupaten, dan 35 kota. Dari 146 daerah yang melakukan pilkada sejak awal
2010 menunjukkan 82 daerah (56%) di antaranya dimenangi kembali oleh mereka
yang menjabat kepala daerah setempat (petahana), 22 di antaranya ialah mereka
yg sebelumnya menjabat wakil kepala daerah. Kemenangan ini dibarengi tingkat
partisipasi yang cenderung tinggi, yakni 76 daerah yang dimenangi petahana
sebagian besar tingkat partisipasinya di atas 70%. Lebih dari 60% daerah yang
dimenangi petahana, tingkat partisipasi pemilih lebih dari 70%, 9% di
antaranya tingkat partisipasi 85%.
Begitu
pun suara yang diraup mayoritas pasangan petahana cukup tinggi. 74 dari 82
kemenangan petahana dimenangi hanya satu putaran pilkada. Dari jumlah itu 34%
di antaranya menang dengan perolehan suara di atas 55%. Sebagian bahkan
menang telak dengan suara lebih dari 80% (Kompas, 13/9/2010). Di pilkada serentak
Desember 2015 konstelasinya juga masih sama. Dari 269 daerah yang melakukan
pilkada, 31,2% dimenangi petahana. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari
rival terdekatnya dari kalangan anggota dewan (DPRD, DPR, dan DPD) yang
memenangi 17,3%.
Idealnya,
kemenangan petahana bisa dibaca sebagai kuatnya kepercayaan publik terhadap
kapabilitas kinerjanya di periode sebelumnya. Serentak membuka kesempatan
baginya untuk melanjutkan program kerjanya di periode berikut. Namun,
bagaimana jika kemenangan itu diraih lewat penyalahgunaan wewenang dan
fasilitas dengan melakukan akumulasi kekuasaan pada birokrasi pemerintahan,
untuk meraih dukungan dan popularitas lewat program-program katarsis berkedok
kampanye? Inilah yang terlihat pada hari-hari ini kala pilkada dibeceki
politik uang, politisasi birokrasi, dan fenomena kemenangan kandidat
tersangka korupsi.
Dari
segi kinerja pun, tidak ada kemajuan yang ditunjukkan petahana dalam
pengelolaan daerah. Para petahana ini ternyata tidak mendongkrak prestasi
ekonomi daerah. Bahkan, ada 45 daerah memiliki indeks sosial ekonomi yang
menurun meski petahana kembali terpilih. Jumlah petahana kelompok ini 63%
dari total petahana yang kembali menduduki kursi kepala daerah. Lalu, apa
pesannya?
Pertama,
konsolidasi demokrasi dihadang prinsip politik pragmatis yang menjadikan
pilkada sebagai instrumen mewujudkan kepentingan sempit bagi penyelenggara
pilkada, birokrasi, kandidat, dan pendukungnya. Seorang petahana terpilih
bukan karena kinerjanya, melainkan lebih karena kemampuan memobilisasi
birokrasi (anggaran, program, maupun birokrat). Kedua, edukasi pengenalan
politik rakyat terhadap kandidat yang minim. Ketiga, mutu kepemimpinan
flegmatis (kekuasaan bukan panggilan pengabdian, melainkan diselimuti pamrih
(gain politician) yang nihil orientasi kepublikan.
Ini
akar dari model demokrasi kosmetik yang oleh Maribeth Erb dalam bukunya,
Deepening Democracy in Indonesia (2009) disebut ikut memengaruhi kenapa
pembangunan demokrasi yang sudah berlangsung satu dekade lebih ini belum
menghasilkan perubahan fundamental, terutama pada paradigma berpolitik.
Mentalitas politisi yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dasar politik
tanpa pengorbanan dan sensitivitas terhadap kemiskinan rakyat hanya akan
menyalibkan rakyat dengan aneka persoalan kesehariannya meski pemimpin terus
berganti.
Investasi demokrasi
Proyek
pilkada harus dilihat sebagai dasar pematangan prinsip berpolitik, baik
sikap, karakter, maupun orientasi politisi sebagai investasi bagi penguatan
demokrasi lokal. Eric Weil (1956) tepat ketika mengatakan prinsip moral harus
menjadi rasionalitas utama dalam kontestasi politik, berikut aturan maupun
kebijakan yang dilahirkannya. Kriteria inilah yang harus dipaksakan rakyat
kepada kepala daerah jika ia sungguh-sungguh mau memimpin daerah.
Lalu,
bagaimana pemaksaan ini bisa dilakukan di tengah defisitnya wawasan politik
rakyat? Rakyat harus diberi akses untuk membongkar rekam jejak kandidat
sebagaimana sudah dijamin konstitusi. Menurut UU No 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku efektif mulai 1 Mei 2010, informasi
mengenai rekam jejak kontestan pilkada sesungguhnya tergolong informasi
publik. Maka, ini penting untuk dibuka seluas-luasnya terutama untuk menjamin
keterpilihan pemimpin yang berkualitas.
Masyarakat
diberi hak mendapatkan rekam jejak secara utuh atau objektif tentang riwayat
kontestan pilkada, baik prestasinya maupun pelanggaran etik dan hukum yg
pernah dilakukan. Ini dapat dilakukan media massa dengan aliansi dukungan
progresif akademisi, LSM, dan pemuka masyarakat, misalnya dengan bersama-sama
menginventarisasi politisi-politisi bermasalah menurut kriteria yang
disepakati bersama untuk kemudian diumumkan ke khalayak.
Dengan
ini ada dua manfaat yang dipetik, yakni pertama, ada jaminan referensi yang komprehensif
yang didapat rakyat pemilih terhadap kandidat. Kedua, dapat mematahkan
tudingan sejumlah pihak yang mencurigai bahwa pers/jurnalis selama ini ikut
andil meraih keuntungan ekonomi di balik pelaksanaan pilkada dengan terlibat
menjadi tim sukses bayangan atau bekerja sama dengan tim sukses kandidat
tertentu lewat politik pemberitaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar