Bersyukur
Itu Menemukan Diri Sendiri
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis; Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM, 17 Januari
2017
Ada
teman saya yang dengan sinis mengatakan,”Bersyukur itu ndingkluk. Artinya
merendahkan standar harapan kita. Dengan begitu, kita akan merasa bahwa kita
sudah mendapat lebih. Lalu kita merasa senang.”
Contohnya,
kita lihat orang-orang miskin, atau orang-orang yang hidupnya menderita. Lalu
kita lihat diri kita, ternyata kita lebih baik. Lalu kita merasa senang.
Itulah bersyukur.
Pernah
saya temukan meme yang menjengkelkan. Isinya tentang anak yang (terpaksa)
berjualan, untuk menyambung hidupnya. Meme diakhiri dengan pertanyaan,
masihkah kamu tidak bersyukur?
Lha,
apa hubungannya? Orang diajak bersyukur setelah melihat penderitaan orang
lain. Bersyukur artinya merasa senang bahwa kita tidak menderita seperti dia.
Syukur macam apa itu?
Suruhan
untuk bersyukur juga sering datang ketika seseorang tidak puas dengan keadaannya.
“Sudah, jangan banyak menuntut, syukuri yang sudah kau dapat!”
Apakah
bersyukur bermakna bahwa kita tidak boleh berharap mendapat yang lebih baik
lagi? Apakah menginginkan yang lebih baik selalu bermakna bahwa kita tidak
bersyukur atas apa yang kita dapat?
Bagi
saya, bersyukur tidak begitu maknanya. Bersyukur itu menyadari diri kita
sendiri. Coba lihat diri kita. Kita punya tubuh, seadanya tubuh kita ini.
Kita punya 2 tangan, 2 kaki, dan berbagai organ lain.
Ada
yang hanya punya 1 tangan, atau bahkan tidak punya tangan. Juga ada yang
hanya punya 1 kaki, atau tidak punya kaki. Setiap orang mengenali dirinya,
secara apa adanya. Inilah saya. Saya adalah saya, bukan orang lain.
Lalu,
kita lihat diri kita lebih lanjut. Apa lagi yang kita miliki? Ada yang pandai
matematika. Ada yang pandai main musik. Ada pula yang kuat badannya, mampu
lari cepat, lari jauh, atau kuat mengangkat barang. Masing-masing orang punya
kelebihan. Temukan kelebihan kita sendiri.
Banyak
orang yang tidak tahu apa kelebihannya. Ia menjadi orang yang biasa saja,
atau bahkan menganggap dirinya terbelakang. Lalu ia menjadi rendah diri. Ia
tak merasa layak berdiri bersama manusia lain. Ia mungkin protes pada Tuhan.
“Kenapa Kauciptakan aku seperti itu?”
Protes
itu tak akan pernah mengubah keadaannya. Yang akan mengubah keadaan adalah
cara dia memandang dirinya sendiri.
Pernah
saya lihat acara di TV Jepang. Acara ini memberi kesempatan kepada
orang-orang yang merasa ada bagian tubuhnya yang ingin ia ubah. Setelah
diseleksi, yang disetujui akan dibiayai untuk melakukan operasi plastik.
Dalam
suatu episode, ada gadis remaja yang merasa mukanya jelek. Ia ingin operasi
plastik. Para pengisi acara itu tidak serta merta meluluskan permintaannya.
Yang “dioperasi” justru mental gadis itu. Dengan sedikit polesan kosmetik,
mereka berhasil membuat gadis itu tampil cantik. Ia diyakinkan bahwa ia sama
sekali tidak jelek. Kemudian ia menjadi percaya diri.
Begitulah.
Kita sering lebih sensitif menemukan kekurangan-kekurangan kita, ketimbang
menemukan kelebihan kita. Kita lebih sering mencoba menyembunyikan
kekurangan, ketimbang menunjukkan kelebihan.
Saking
sibuknya kita dengan kekurangan, kita merasa bahwa diri kita penuh dengan
kekurangan. Kita gagal menemukan kelebihan kita. Lalu kita mengeluh, protes
pada Tuhan.
Bahkan,
ada orang yang merasa dirinya memiliki kekurangan. Padahal yang ia anggap
kekurangan itu adalah kelebihan bagi orang lain. Misalnya, ada orang jangkung
yang terus membungkuk, karena merasa jangkung itu jelek. Padahal ada begitu
banyak orang yang ingin jangkung.
Jadi,
bersyukur itu sekali lagi, adalah soal mengenali diri kita, menemukan
keunggulan kita, menyadari bahwa itu keunggulan, bukan kekurangan. Bahkan
orang yang tangannya hanya satu pun bisa menjadikan satu tangannya itu
sebagai keunggulan.
Mungkin
ada Anda pernah menyaksikan anak Korea yang tangannya tak utuh, menjadi
pemain piano yang hebat. Ia tentu lebih hebat dari kebanyakan kita yang punya
tangan lengkap. Ia tidak saja berhasil mengalahkan “kekurangannya”, tapi justru
menjadikan tangannya itu sebagai pusat keunggulannya.
Perhatikan
juga orang-orang di sekitar kita. Orang tua, saudara, teman, guru, dan
siapapun yang mencintai kita. Mereka semua tidak sempurna. Ada saja hal yang
membuat kita tak puas kepada mereka.
Tapi
mereka semua memberi kita energi yang luar biasa, untuk menikmati hidup ini.
Jangan berharap mereka akan sempurna, karena kita juga tidak sempurna.
Lalu,
selanjutnya bagaimana? Asahlah terus keunggulan kita itu. Manfaatkan untuk
menghasilkan hal-hal yang baik, bermanfaat bagi diri kita sendiri.
Banyak-banyaklah berbuat baik, sampai perbuatan baik kita itu dinikmati oleh
banyak orang.
Perbuatan
baik, menghasilkan hal baik, akan menambah keunggulan yang tadinya sudah kita
punya. Ia juga akan menghasilkan energi yang lebih besar untuk berbuat
kebaikan lebih banyak lagi.
Ingat,
bersyukur itu bukan mencari kekurangan orang lain yang tak ada pada kita.
Bersyukur itu adalah menemukan keunggulan pada diri kita, memanfaatkannya,
menikmatinya, tanpa merendahkan orang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar