Trump
Mengusik Hegemoni Tiongkok
Mira Murniasari ; Alumnus S-3 Hubungan Internasional, Southeast
Asia Studies Xiamen University, Fujian, Tiongkok
|
MEDIA INDONESIA,
17 Januari 2017
TIGA
hari lagi Donald John Trump resmi menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat
(AS). Belum lagi menjabat, Trump telah berhasil membuat dunia sedikit 'panik'
dengan berbagai sikap dan pernyataan kontroversialnya, khususnya yang
berkaitan dengan Tiongkok. Setelah dunia ramai memprediksi bagaimana hubungan
Tiongkok-AS ke depan pascaterpilihnya Trump, dunia kembali ramai
memperbincangkan pernyataan tidak populis Trump yang menilai tidak perlu
memegang prinsip one China policy dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok.
Bahkan
kontak telepon Trump dengan pemimpin Taiwan Cai Yingwen sempat mendapat
protes keras dari pemerintah Tiongkok. Tidak hanya itu, Trump juga pernah
diprediksi membuat ketegangan di Laut China Selatan semakin meningkat. Dalam
menangani urusan Tiongkok, Trump diberitakan akan mengangkat Michael
Pillsbury, seorang pakar Tiongkok, yang mencetuskan teori China Threat,
menjadi penasihat khusus urusan Tiongkok. Pengangkatan Pillsburry ini
menunjukkan 'kekhawatiran' Trump akan kekuatan dan ancaman Tiongkok pada masa
pemerintahannya.
Meski
demikian, sikap pragmatis Trump dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok tetap
diharapkan demi keberlangsungan perdamaian dunia dan kestabilan wilayah di
kawasan Asia Pasifik.
Sinyal Tiongkok
Setelah
terpilih sebagai Presiden AS, Trump sepertinya memberikan perhatian khusus
kepada Tiongkok. Namun, Tiongkok cenderung tidak terlalu responsif dalam
menangapi semua 'pernyataan' Trump, dan menilai bahwa apa yang dilakukan
Trump adalah satu bentuk 'kepanikan' atau cara menguji reaksi dunia sebelum
secara resmi masuk Gedung Putih. Protes keras Tiongkok terhadap kontak
telepon Trump dengan Cai Yingwen hanya disikapi dengan pernyataan bahwa
memegang teguh prinsip one China policy adalah dasar politik perkembangan
hubungan Tiongkok-AS. Namun, Tiongkok tetap menaruh harapan besar dapat terus
menjalin hubungan baik dengan AS, dan menekankan bahwa kerja sama harmonis
Tiongkok-AS adalah satu-satunya cara yang bermanfaat bagi hubungan kedua
negara dan rakyat masing-masing, juga demi perdamaian dan kestabilan dunia.
Tiongkok
memang terlihat cukup kalem dalam mengomentari pernyataan Trump. Namun,
Tiongkok punya cara sendiri untuk menunjukkan kekuatan dan eksistensi sebagai
salah satu negara kuat dunia yang tidak ingin diremehkan. Setelah armada tim
tempur utama Angkatan Laut (AL) Tiongkok melakukan perjalanan panjang dan
latihan perang besar-besaran pada 4-27 Mei 2016 di Laut China Selatan yang
juga melayari alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), menjelang Trump masuk
Gedung Putih, Tiongkok memilih untuk melakukan latihan perang kapal induk
pertama mereka, Liaoning Hao, ke Samudra Pasifik Barat yang dimulai pada 26
Desember 2016. Diberitakan latihan ini lebih besar dan lama ketimbang latihan
armada tim tempur pada Mei 2016 lalu.
Posisi Indonesia
Banyak
pengamat menilai posisi strategis Indonesia memungkinkan Indonesia menjadi
rebutan kekuatan kedua negara besar tersebut. Indonesia dapat mengambil
manfaat dari posisi ini. Kebijakan pemerintah Indonesia saat ini, yang
dinilai cenderung mendekat ke Tiongkok, justru telah memunculkan reaksi
gerakan anti-Tiongkok meskipun saat ini tidak membawa dampak negatif terhadap
hubungan Indonesia-Tiongkok.
Pakar
masalah Laut China Selatan dari Xiamen University, Prof Zhuang Guotu, pada 5
Desember 2016 juga mengakui bahwa hubungan Tiongkok-AS akan terus menegang.
Indonesia relatif membutuhkan Tiongkok. Itu karena yang Indonesia butuhkan
saat ini, yakni perkembangan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, mampu
diberikan Tiongkok. AS dan negara besar lainnya adalah negara maju yang lebih
mementingkan teknologi tinggi, seperti salah satunya teknologi ruang angkasa.
Indonesia saat ini belum memerlukan hal tersebut.
Tak
dimungkiri, mesranya hubungan Indonesia-Tiongkok juga meningkatkan nilai
investasi Tiongkok di Indonesia. Pada 2015 investasi Tiongkok mengalami
peningkatan tajam, yakni sekitar 47%. Namun, investasinya baru sebesar
US$2,16 miliar, dengan realisasi sekitar 7%. Presiden Joko Widodo
mengharapkan realisasinya dapat mencapai paling rendah 30%. Meningkatnya
jumlah investasi Tiongkok ini telah mendorong besarnya pertambahan jumlah
tenaga kerja asing asal Tiongkok di Indonesia. Pada 2016 jumlahnya mencapai
sekitar 21 ribu yang tidak hanya tenaga profesional, tapi juga tenaga kasar.
Hal ini telah memunculkan berbagai masalah sosial yang harus dihadapi
pemerintah Indonesia.
Nilai
perdagangan Indonesia Tiongkok terus meningkat, tetapi terus defisit sejak
lima tahun terakhir. Pada 2015 nilai perdagangan kedua negara mencapai US$80
miliar, defisit sekitar US$14 miliar bagi Indonesia. Adapun jumlah turis
Tiongkok ke Indonesia juga meningkat tajam pascapemberlakukan bebas visa
kunjungan (BVK). Pada 2016 tercatat sekitar 1,3 juta, naik dari 2015 yang
berjumlah 1,2 juta dan 2014 yang hanya mencapai 950 ribu wisatawan.
Kestabilan kawasan
AS
dan Tiongkok adalah dua negara besar dunia. Ketegangan di antara keduanya
tentu akan membawa pengaruh bagi kondisi kestabilan kawasan. Sikap Trump yang
mungkin akan mengakui Taiwan sebagai sebuah negara, bahkan mungkin akan
membuka peluang membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan, dapat dipastikan
akan menambah ketegangan baru hubungan Tiongkok-AS. Terkait dengan hal
tersebut, juru bicara Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara Tiongkok, An
Fengshan, pada 28 Desember 2016 telah menyatakan bahwa sejak 2008 hubungan
cross strait dibangun atas dasar politik bersama yang menyepakati berpegang
teguh pada 'Konsensus 1992' dan menolak 'Taiwan Merdeka'. Namun, sejak 20 Mei
2016, hubungan kedua selat dinilai mengalami perubahan. Partai berkuasa saat
ini, Democratic Progressive Party (DPP), tidak mengakui 'Konsensus 92' dan
one China policy. Hal ini dinilai telah merusak dasar politik bersama
hubungan cross strait dan merusak asas saling percaya. Tiongkok bahkan secara
tegas menyatakan bahwa akan terus menangani masalah hubungan Taiwan dengan
negara lain. Apa pun, upaya membangun 'Dua China' (satu Tiongkok, satu
Taiwan), pasti akan gagal.
Dari
pernyataan tersebut, sangat jelas terlihat sikap Tiongkok terhadap Taiwan.
Ketegasan ini pula yang diperlihatkan Tiongkok dalam masalah Laut China
Selatan, Xinjiang, dan Tibet, yang merupakan kepentingan inti Tiongkok. Bagi
Tiongkok, tidak ada tawar-menawar dalam masalah tersebut. Karena itu,
sepertinya upaya Trump mencoba mengakui Taiwan akan sia-sia. Mungkin Trump
lebih baik tidak mengusik kepentingan Tiongkok demi kestabilan geopolitik di
kawasan Asia Pasifik dan perdamaian dunia, juga untuk lebih menjaga hubungan
yang harmonis dan saling menguntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar