Perubahan
Politik Timur Tengah
Ibnu Burdah ; Pemerhati
Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA MERDEKA, 30
Desember 2016
ADA dua unsur baru dalam perubahan politik
Timur Tengah pada 2016 dan beberapa tahun sebelumnya, yaitu suara sipil dan
kelompok teror. Dua hal itu tidak menjadi variabel penting dalam waktu
panjang sebelumnya. Penguatan suara sipil tercermin secara jelas dalam
gerakan rakyat di sejumlah negara Arab yang sukses menumbangkan sejumlah
diktaktor sejak pengujung 2010 hingga kini.
Gerakan rakyat itu lintas ideologi, less
leadership, bahkan less organization. Tapi, dampaknya terhadap perubahan
rezim begitu nyata. Bagi rezim-rezim yang masih bertahan, kekuatan baru ini
menakutkan dan berpengaruh besar terhadap perilaku politik mereka.
Gelombang dan arus kekuatan baru yang
terajut melalui media-media baru ini lebih menakutkan rezim daripada
kelompok-kelompok gerakan dengan ideologi dan organisasi kuat. Harapan dari
munculnya pilar kekuatan baru ini sungguh besar bagi terciptanya Timur Tengah
yang lebih demokratis, stabil-damai, sejahtera dan bermartabat. Namun, jalan
sejarah ternyata berbeda jauh dari harapan itu.
Istilah Musim Semi Arab (al-rabií
al-Arabiy/Arab springs) yang menyiratkan makna harapan tak layak lagi
digunakan. Istilah yang tepat bagi fakta Timur Tengah sekarang adalah
al-Karitsah al-Arabiyyah (tragedi atau bencana Dunia Arab), bukan lagi Musim
Semi. Faktanya memang demikian. Pada 2016 dapat disaksikan tragedi kemanusiaan
yang makin parah di banyak negara Arab. Suriah luluh lantak, korban nyawa
sudah tak terkira, separuh lebih penduduk jadi pengungsi. Tetapi, semua itu
tak cukup membuat para aktor berhenti berperang.
Mereka berkali-kali gagal mencapai
kesepakatan damai. Yaman yang semula optimistis dapat melakukan transisi
damai, 2016 juga terjadi kekacauan luar biasa. Perebutan kekuasaan
antarkelompok, sekte, konstestasi antarkabilah, dan campur tangan aktor-aktor
regional mewarnai perjalanan Yaman sepanjang tahun ini. Operasi Ashifah
al-Hazm (Badai Penentuan) pimpinan Saudi semakin menyempurnakan kehancuran
Yaman. Demikian pula di Libya. Solusi politik apa pun di negeri ini menjadi
lemah ketika diimplementasikan di lapangan.
Libya terlalu rumit dibicarakan di meja negosiasi.
Aktor bersenjata yang begitu banyak, keterlibatan sejumlah negara tetangga
plus leluasanya kelompokkelompok radikal al-Qaeda dan IS. Yaman, Suriah, dan
negeri ini adalah tempat yang nyaman bagi kelompok-kelompok radikal itu.
Kondisi ini diperparah dengan pengalaman Libya yang minim dalam membangun
kehidupan bersama baik dalam konteks kenegaraan maupun sosial. Negeri ini
selama 42 tahun dipimpin Khadafi hampir tak mengenal proses pemilu meski
secara formal saja.
Mereka juga tak terbiasa dengan partai
politik atau ormas sosial yang abalabal sekalipun. Pada 2016, praktis hanya
Tunisia yang memberi harapan. Kendati sempat terjadi kekhawatiran akan
terjadi skenario Mesir, negeri pelopor Musim Semi Arab itu bisa landing
selamat.
Bahkan, peran kwartet masyarakat sipil
negeri itu memperoleh anugerah Nobel Perdamaian. “Kemurahan hati” Partai
Nahdhah memberi saham besar bagi capaian ini. Hanya Tunisia yang memberi
catatan menggembirakan pada 2016. Di negeri Musim Semi Arab lain,
institusionalisasi hasil gerakan bisa dikatakan gagal. Pemilu di Mesir
berujung pada kenaikan kembali militer ke tampuk kekuasaan. Adapun di Yaman,
Suriah, dan Libya, seperti diulas di atas, harapan berubah jadi bencana luas
dan mengerikan.
Kelompok
Teror Baru?
Sebagaimana 2016, pada 2017 negara-negara
Timur Tengah sepertinya masih menghadapi tantangan sama. Upaya penghentian
konflik lewat perundingan damai di sejumlah negara Arab serta
insitusionalisasi hasil-hasil gerakan rakyat dalam lembaga demokratis.
Persoalan lain yang tak kalah penting,
kelompokkelompok teror merajalela di tengah suasana konflik yang meluas.
Kekacauan adalah rumah idaman bagi kelompok-kelompok teror untuk merekrut dan
melatih dengan kekerasan. Mereka juga memperoleh medan praktik secara
langsung di arena konflik sesungguhnya. Cabang-cabang atau sel-sel al- Qaeda
dan IS tetap menjadi variabel sangat penting untuk melihat perkembangan Timur
Tengah tahun ini. Keduanya bukan kelompok besar yang mewakili lapisan arus
utama masyarakat muslim atau Timur Tengah.
Tetapi dampak dari kehadiran mereka sungguh
luar biasa. Pada 2016, dapat disaksikan puncak perluasan wilayah teritorial
IS di Irak dan Suriah. Bahkan mereka memproklamirkan provinsi (wilayat) di
banyak negara seperti di Sinai Mesir, Yaman, dan Libya. Sel-sel mereka
menyebar ke hampir seluruh benua. Tapi pada 2016 ini pula kekuasaan
teritorial ISIS menyusut. Diperkirakan di pengujung tahun ini, mereka tumbang
di Irak.
Wilayah teritorial mereka menyempit di
Suriah dan terdesak di negara-negara lain. Tapi mereka masih punya sel-sel
yang bisa diaktifkan ketika mereka terdesak atau kapan saja. Sel-sel IS tak
kalah dengan al-Qaeda, kelompok teror yang tanpa doktrin teritorial, di masa
puncaknya. IS dan al-Qaeda tampaknya masih akan menjadi variabel penting bagi
perubahan politik Timur Tengah pada 2017. Dua kelompok itu mungkin masih
bertahan seperti sekarang.
IS masih punya basis teritorial dan
berpusat di Raqqa Suriah serta memiliki sel yang menyebar dan al-Qaeda dengan
sel-sel yang bertamu di banyak negara. Namun mungkin IS tumbang di kedua
wilayah pusatnya, yaitu Irak dan Suriah, pada 2017. Lalu mereka berubah
menjadi sel-sel dengan jaringan luas sebagaimana al-Qaeda.
Tapi mereka pasti matimatian mempertahankan
teritorial. Sebab, doktrin inilah yang membedakan mereka dengan al-Qaeda,
pesaingnya. Kemungkinan lain juga bisa terjadi, yakni kelahiran payung
kelompok teror baru. Sebagaimana diketahui, al-Qaeda pascapenyerbuan
Afghanistan hanya payung ideologi bagi kelompok- kelompok teror di berbagai
negara. IS berpotensi juga menjadi kelompok semacam itu. Jika itu yang
terjadi, ada kemungkinan bagi kelahiran payung teroris global baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar