Holding
BUMN Migas,
Jangan
Sampai Ketinggalan Kereta (Lagi)
Rhenald Kasali ; Akademisi
dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM, 31 Desember
2016
Memasuki penghujung tahun 2016, kami di
kampus Magister Manajemen, Universitas Indonesia, menggelar diskusi
tentang value
creation dari pembentukan holding company BUMN. Salah satu fokus
diskusi kami adalah tentang peran BUMN migas dalam ketahanan energi.
Entah mengapa hanya holding migas yang
selalu bikin heboh. Padahal saat ini ada 6 holding yang sedang dipersiapkan
Mentri BUMN. Dan semuanya sama pentingnya, termasuk pangan, keuangan dan
perumahan rakyat yang bertahun-tahun diabaikan negara.
Risaulah Selagi Murah
Mungkin karena ini amat vital. Siapa yang
tidak risau dengan kondisi ketahanan energi kita. Bicara angka, misalnya,
cadangan minyak bumi kita hanya akan bertahan untuk sekitar 11 tahun ke
depan. Sementara, kita sama sekali belum menunjukkan gelagat untuk menekan
konsumsi minyak secara signifikan dan menyimpan sisa cadangannya bagi
generasi mendatang.
Kita masih dimanjakan oleh lebih murahnya
biaya produksi dan pengadaan minyak dibandingkan dengan sumber energi yang
lain, sehingga enggan beralih. Upaya kita untuk mengubah kebiasaan dari
konsumsi energi dari minyak ke gas belum berkembang secara signifikan.
Lihatlah kendaraan yang kita pakai. Sebagian besar masih berbasis minyak.
Baiklah, pada waktunya kita terpaksa
memakai gas. Amankah cadangannya? Juga tidak. Tanpa ada penemuan baru,
cadangan gas kita diperkirakan hanya bakal bertahan untuk 30 tahun ke
depan.
Bayangkan saat kita menemukan cadangan gas
terbesar dunia di Arun- Lhokseumawe (1971) dengan perkiraan
cadangan mencapai 17,1 triliun kaki kubik yang kabarnya akan habis dalam
25 tahun ke depan. Nyatanya ia terus menyusut akan berakhir begitu saja pada
tahun 2018.
Jika itu terjadi, benar-benar habis dan
matilah segala industri, termasuk pabrik pupuk yang dibangun
bersebelahan.
Bagaimana dengan batu bara? Memang, batu
bara kita cadangannya masih cukup hingga lebih dari 75 tahun ke depan. Meski
begitu energi batubara sangat polutif. Belum ada teknologi yang secara
signifikan mampu menekan efek polutif dari batu bara.
Kecemasan lainnya adalah karena porsi
perusahaan minyak nasional-nya (National Oil Company/NOC) terhadap produksi
migas di negaranya cukup tinggi, sementara porsi Pertamina relatif sedikit.
Lihat saja angkanya. NOC asal Brasil,
Petrobras, menguasai 90 persen dari total produksi migas nasional. Di China,
BUMN migasnya menguasai 89%. Lalu, Statoil, BUMN migas asal Norwegia,
menguasai lebih dari 62 persen.
Sekarang kita ke negara tetangga. Petronas
dari Malaysia menguasai 46% dari total produksi migas di negaranya. Ada PTT
asal Thailand yang rasionya mencapai 32 persen.
Berapa porsi yang dikuasai Pertamina? Hanya
berkisar 24 persen, meski kabarnya sekarang sudah naik menjadi 28 persen,
karena produksi secara nasionalnya turun.
Pertamina Masih Kecil
Sumber kecemasan lainnya adalah banyak NOC
yang diperintahkan pemerintahnya untuk memburu cadangan migas ke luar negara
asalnya. BUMN China berburu hingga ke Venezuela, Sudan dan lebih dari 50
negara lainnya. Petronas sudah menjelajah hingga ke lebih dari 16 negara.
Statoil punya cadangan minyak di 14 negara.
Petrobras beroperasi di 10 negara. PTT ada di delapan negara. Bahkan
PetroVietnam asal Vietnam sudah beroperasi di empat negara. Pertamina?
Sampai saat ini baru di lima negara yang
sudah benar-benar terbukti punya cadangan migas yang diharapkan. Jadi siapa
yang tak cemas melihat Pertamina seakan-akan ketinggalan kereta. Kita butuh
modal besar untuk membawa pulang energi itu dan mengamankan pasokan jauh ke
depan.
Tanpa energi bukan cuma tak akan ada
industri dan lapangan pekerjaan, melainkan juga kita tak bisa menyimpan
vaksin karena lemari pendingin tak bisa bekerja. Dan mana bisa kita
berkomunikasi kalau listriknya tak punya bahan bakar.
Untung belakangan, seiring dengan
merosotnya harga minyak mentah di pasar dunia, Pertamina malah semakin
agresif memburu minyak di luar wilayah Indonesia. Pada tahun 2015, misalnya,
aset-aset Pertamina ada di tiga negara, yakni Aljazair, Malaysia dan
Irak.
Lalu sepanjang 2016, lokasi aset-aset baru
Pertamina lebih bervariasi. Ada dua di Eropa, yakni Prancis dan Italia, dua
di kawasan Amerika, yakni di Kanada dan Kolombia. Lalu, ada satu di Myanmar,
dan empat lainnya di Afrika, yakni di Namibia, Tanzania, Nigeria dan
Gabon.
Saya senang dengan agresivitas Pertamina
dalam dua tahun belakangan ini. Secara bisnis, langkah Pertamina sudah benar.
Kita memang harus selalu bergerak di depan kurva, bukan di belakangnya.
Ketika pasar melemah, kita masuk. Bukan sebaliknya, ketika pasar menguat baru
masuk. Kalau itu yang kita lakukan, biayanya menjadi sangat mahal dan bisa
ketinggalan kereta lagi.
Meski begitu semua upaya tersebut belum
cukup. Dalam banyak kesempatan dan tulisan, saya selalu menyebutkan bahwa
ukuran Pertamina masih terlalu kecil. Jangankan dibandingkan dengan
International Oil Company (IOC), dengan sesama NOC di sebelah kita yang
negaranya kecilpun Pertamina terbilang mini.
Mari kita bandingkan. Pendapatan Pertamina
pada tahun lalu berkisar 41,76 miliar dollar AS. Mau tahu berapa
pendapatan IOC? Royal Dutch Shell asal Belanda (bayangkan Belanda, negara
yang luas wilayahnya masih kalah dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur,
punya IOC sebesar itu) mencapai 272,16 miliar dollar AS atau
6,5 kali lipat lebih besar dibanding Pertamina.
Exxon Mobil dari Amerika Serikat
pendapatannya 246,2 miliar dollar AS (hampir
6 kali lipat), BP asal Inggris 225,9 miliar dollar AS (hampir
5,4 kali lipat), atau Total SA dari Prancis 143,4 miliar dollar AS (hampir
3,5 kali lipat).
Pertamina terlihat lebih kecil lagi kalau
dibandingkan dengan NOC dari China. Misalnya, dengan China National Petroleum
yang pendapatannya hampir mencapai 300 miliardollar AS (7,2
kali lipat lebih besar dibandingkan Pertamina), atau Sinopec 294,3 miliar dollar AS (7
kali lipat). Begitu juga jika dibandingkan dengan Petrobras, Petronas atau
PTT, ukuran Pertamina tetap lebih kecil.
Anda tahu, kalau ukuran perusahaan kita
terlalu kecil, ke mana-mana geraknya serba terbatas. Mau berkongsi dengan
perusahaan lain—apalagi sekelas multinasional, dipandang sebelah mata. Mau
cari pinjaman ke luar negeri, dapatnya juga tak seberapa.
Efek Sinergi
Maka, diholdingkan dua BUMN migas, yakni
Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) menjadi solusi agar kita memiliki
NOC yang ukurannya lumayan besar. Pendapatan Pertamina, itu tadi, 41,76
miliar miliar dollar AS, sementara PGN 3,07 miliar dollar AS. Jika digabung
seolah-olah “hanya” menjadi 44,83 miliar dollar AS. Masih kalah dibandingkan
dengan Petrobras (97,31 miliar dollar AS), Petronas (63,5 miliar dollar AS) atau PTT (59,2 miliar dollar AS).
Tapi, ingat bahwa pembentukan holding company akan
menciptakan sinergi. Kalau bicara sinergi, 1 + 1 tidak sama dengan 2, tetapi
bisa 10 atau bahkan 100. Dari mana saja datangnya sinergi?
Menurut saya, setidak-tidaknya bakal ada
lima area yang terbuka peluangnya untuk sinergi. Lima area itu meliputi
konsolidasi pembangunan infrastruktur LNG dan mini LNG, fasilitas
regasifikasi, pembangunan pipanisasi, jaringan distribusi serta biaya
pengadaan barang dan jasa.
Jadi, kelak pembangunan infrastruktur
migasnya tidak lagi tumpang tindih. Cukup dilakukan oleh Pertamina saja, atau
PGN. Dari sini saja jelas sudah akan ada penghematan biaya. Lalu, keduanya
juga bisa sama-sama meningkatkan utilisasi dari aset-aset yang ada.
Dari sisi bisnis, Pertamina akan lebih baik
jika berkonsentrasi pada sektor hulu migas, sementara PGN fokus pada
distribusinya. Sinergi ini juga akan meningkatkan kapasitas investasi dari
keduanya, Pertamina dan PGN.
Selain itu, ini yang ingin saya tekankan,
sinergi keduanya juga bakal memberi banyak manfaat bagi para stakeholders, terutama
konsumen gas. Saya berharap, setelah keduanya digabungkan—PGN menjadi anak
usaha Pertamina dan Pertagas akan digabung ke PGN--harga gas bisa ditekan
menjadi lebih murah.
Tapi ini bukan akhir, masih banyak PR untuk
mengawal tahap eksekusinya, dengan disruptive mindset tentunya. Kalau ini
bisa direalisasikan, tentu dampaknya bakal sangat positif. Banyak industri,
yang selama ini tertekan akibat mahalnya harga gas, bakal tertolong.
Begitulah kalau Pertamina dan PGN bisa
digabungkan, sinergi dari keduanya akan menciptakan daya ungkit untuk
meningkatkan kinerja. Akan terjadi lompatan. Bukan saja bagi keduanya, Pertamina
dan PGN, tetapi juga bagi perekonomian nasional.
Maka, jangan sampai pembentukan holding company ini
kandas dan hanya tinggal angan-angan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar