Resolusi
Implementasi Dana Desa 2017
Trisno Yulianto ; Koordinator
Forum Kajian dan Transparansi Anggaran Desa; Alumnus FISIP Undip
|
SUARA MERDEKA, 30
Desember 2016
“Korupsi
dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol
dan partisipasi yang lemah masyarakat desa.”
PEMERINTAH Pusat berencana menaikkan volume
dana transfer ke desa atau dikenal sebagai dana desa menjadi Rp 60 triliun
pada 2017. Dengan anggaran Rp 60 triliun bagi 74.000 desa seluruh Indonesia,
tiap desa minimal akan mendapatkan jatah anggaran Rp 800 juta/ tahun. Hal itu
akan menambah pos pendapatan APBDes yang diperkirakan Rp 1,5 miliar – Rp 2
miliar.
Alokasi anggaran dana desa (DD) dari APBN
2016 sebesar Rp 46,7 triliun telah sukses berhasil memperkuat postur APBDes.
APBDes untuk setiap desa di Jawa rata-rata memiliki pos pendapatan hampir Rp
1 miliar. Mengingat selain memperoleh dana desa dari Pemerintah Pusat, desa
juga mendapat kucuran dana transfer daerah dari persentase dana alokasi umum minimal
10% dikurangi beban belanja pegawai. Rata-rata desa di Jawa Tengah pos
pendapatan dana transfer daerah atau yang dikenal Alokasi Dana Desa ADD)
minimal Rp 400 juta/desa.
Belum lagi dari pendapatan asli desa dan
pendapatan bagi hasil pajak-retribusi daerah untuk desa yang kian meningkat
dari tahun ke tahun. Pertanyaannya?
Efektifkah dan tepat ke programankah
penggunaan dana desa dan alokasi dana desa bagi pelaksanaan pembangunan desa,
pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan? Sepanjang 2016 harus
diakui penggunaan dana desa dan alokasi dana desa baru efektif untuk mendanai
program pembangunan fisik yang dirumuskan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan
Desa (RKPDes).
Program pembangunan desa menjadi orientasi
pembelanjaan dana desa dan alokasi dana desa. Efek surat edaran Menteri Desa
dan PDTT 2015 yang mendorong optimalisasi dana desa untuk pembangunan
infrastruktur desa masih dijadikan acuan dalam pembelanjaan dana desa dan
alokasi dana desa untuk Tahun Anggaran 2016. Bagi desa penggunaan dana desa
atau alokasi dana desa untuk proyek pembangunan fisik lebih mudah dalam
eksekusi dan pelaporan administrasi.
Proyek pembangunan fisik dipersepsikan
lebih jelas tolok ukur capaian dan dimensi keberhasilannya. Sekaligus sebagai
media untuk memperbaiki fasilitas infrastruktur desa yang tidak layak di
bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pertanian. Paham
developmentalisme dalam pengelolaan dana desa atau alokasi dana desa lebih
merasuki pengambil kebjakan anggaran di desa.
Desa diprioritaskan menjadi ruang untuk
segala program pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat desa.
Hal itu tidak salah tapi belum sepenuhnya tepat dalam filosofi penganggaran
desa. Sesuai dengan mandat UU Nomor 6 Tahun 2014, program transfer fiskal dari
Pemerintah Pusat, dana desa digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat
demi kesejahteraan sosial, ekonomi, selain pembangunan dan pembiayaan
operasional pemerintah desa.
Kepentingan
Birokrasi
Sayang penggunaan dana desa atau alokasi
dana desa lebih berat pada kepentingan birokrasi pemerintahan desa, kewajiban
penyerapan anggaran dana desa atau alokasi dana desa 30 % untuk belanja
operasional pemerintah desa lebih diprioritaskan.
Demikian dengan anggaran untuk pembangunan
fisik yang eksekutornya adalah pelaksana kegiatan yang keanggotannya juga
terdiri atas aparatur desa. Namun, inovasi program dalam skema pemberdayaan
masyarakat serta penanggulangan kemiskinan masih belum optimal.
Paradoks pengelolaan dana desa selama 2016
adalah partisipasi masyarakat yang minim dari mulai tahap perencanaan,
implementasi, dan evaluasi. Sesuai dengan kaidah aturan dalam Permendagri
Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, peran masyarakat
sebatas pada usulan kegiatan dan anggaran dalam forum musyawarah pembangunan
desa. Namun, dalam tahap krusial yakni penyusunan RPJMdesa, RKPdesa dan yang
utama RAPBDes masyarakat desa kurang mendapatkan ruang untuk berpartisipasi.
Tim penyusun RPJMDesa, RKPDes, dan RAPBDes
adalah aparatur pemerintah desa dan elite desa yang terpresentasikan dari
keterwakilan LPM dan BPD. Sangat jauh dari konsep partisipasi keprograman di
dalam PNPM Mandiri Perdesaan, pada 2007-2014 saat partisipasi masyarakat
mendapatkan ruang optimal dalam tahapan musyawarah desa perencanaan, musyawarah
desa sosialisasi, musyawarah desa penetapan sampai musyawarah desa
pertanggungjawaban.
Partisipasi dan aspirasi masyarakat di
dalam musyawarah desa yang menentukan dalam produksi kebijakan pembangunan
desa.
Pada era UU Nomor 6 Tahun 2014, partisipasi
dan aspirasi masyarakat desa yang diwadahi dalam musrenbang desa berkesan
formalitas dan tidak menentukan dalam kebijakan program dan anggaran.
Pengelolaan dana desa 2016 juga penuh
dengan masalah penyalahgunaan. Banyak kepala desa dan aparatur desa yang
terkena perkara hukum tindak pidana korupsi dana desa atau alokasi dana desa
sebagai akibat pengawasan yang lemah dari pemangku kepentingan di desa dan
masyarakat desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar