Peringkat
Ke-40 dan Pelaksanaan Kontrak
HA Zen Umar Purba ; Dosen
Program Pascasarjana FH UI dan Arbiter
|
KOMPAS, 30 Desember
2016
"Target saya tentu
saja kita berada di 40 besar daftar negara dengan kemudahan berusaha."
Presiden Joko Widodo di
depan enam CEO Belanda, 23/11/2016
Angka
40 di atas sudah beberapa kali diucapkan Presiden RI akhir-akhir ini. Tetapi,
itu memang perlu sebagai pemicu semangat untuk bisa meningkatkan peringkat
kemudahan berusaha di RI.
Dalam
laporan Doing Business (DB) 2017 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia
menduduki peringkat ke-91 dari 190 negara dalam ease of doing business
ranking. Ini lompatan lumayan dari peringkat ke-109 tahun sebelumnya. Langkah
kebijakan pembangunan Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah
mendapat catatan khusus oleh Bank Dunia.
Tetapi,
Presiden ingin lebih jauh dari itu. Ia mencita-citakan peringkat ke-40
sehingga tidak tertinggal jauh dari negara-negara jiran, seperti Malaysia dan
Thailand, yang untuk 2017 masing-masing di peringkat ke-23 dan ke-46.
Peringkat ke-91 yang tercapai sekarang, kata Jokowi, jangan ditepuki dulu.
Sebetulnya
kita sudah merasa puas dengan peringkat di bawah 100 itu. Sebab, sejak
dikeluarkannya Doing Business pada 2004, Indonesia tiap tahun selalu berada
di peringkat di atas 100. Bukan hanya itu. Tidak pernah terdengar kepedulian
dari otoritas untuk memperhatikan aspek kemudahan berusaha yang dikeluarkan
oleh badan dunia itu. Baru pada Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, pada akhir
2013, Menko Perekonomian Hatta Rajasa waktu itu mengatakan keinginannya agar
tahun berikutnya (2014) Indonesia berada pada peringkat di bawah 100.
Tanda tangan basah
Beberapa
langkah peningkatan dicatat Bank Dunia. Misalnya, telah adanya forum
peradilan untuk gugatan kecil sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung No 2/2015.
Perhatian yang besar bagi kelompok UMKM menyebabkan diperlukannya pengaturan besar modal yang sesuai sehingga lahirlah
PP No 29/2016 yang memungkinkan modal perseroan terbatas (PT) kurang
dari Rp 50 juta. Selama ini Bank Dunia mencatat persyaratan jumlah modal di Indonesia termasuk sebagai penghambat
kemudahan berusaha.
Reformasi
menyeluruh terhadap aspek korporasi masih ditunggu. Sementara itu, perusahaan
di pasar modal dewasa ini sedang dirintis kemungkinan penggunaan sistem
pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pada rapat umum pemegang saham
(RUPS) PT Terbuka. E-voting, yang sudah dilakukan di beberapa negara, akan
melancarkan pemegang saham atau kuasanya menghadiri beberapa RUPS dalam waktu bersamaan.
Masih
perihal elektronik, berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda
tangan elektronik pun sebetulnya sudah dimungkinkan. Tetapi, tampaknya ini
perlu sosialisasi yang lebih luas, terutama bagi pengadilan yang masih
mengandalkan tanda tangan basah.
Seperti
diketahui, peringkat kemudahan berusaha ditentukan oleh 10 indikator atau
komponen, yang untuk DB 2017 adalah pembukaan usaha; perizinan konstruksi; pendaftaran properti;
pemerolehan listrik; pembayaran pajak; perdagangan lintas negara; pemerolehan kredit; perlindungan
pemegang saham minoritas; pelaksanaan kontrak
(enforcing contracts); dan penyelesaian insolvensi.
Ke-10
indikator ini oleh Bank Dunia masing-masing diberi peringkat, lalu dari keseluruhannya
didapatlah peringkat kemudahan berusaha. Indikator pelaksanaan kontrak perlu
diperhatikan karena peringkatnya yang
terburuk: 166. Padahal, di Malaysia indikator ini berada di peringkat ke-42
dan Thailand ke-51.
Indikator
ini terdiri atas tiga sub-indikator, yakni waktu, biaya, dan kualitas
putusan. Tentang waktu di Indonesia diperlukan 471 hari. Dibandingkan
Malaysia dan Thailand, jumlah hari ini tak begitu besar bedanya.
Biaya? Di sinilah soalnya. Di Indonesia,
untuk melaksanakan kontrak dibutuhkan
biaya 118,1 persen dari klaim; jadi hilang ayam, tebus dengan kambing.
Di Malaysia dan Thailand, biaya ini masih wajar: 37,3 persen dan 19,5 persen
dari total klaim. Biaya dipecah ke tiga bagian: biaya pengadilan (3,1 persen); pelaksanaan putusan (25
persen); dan biaya advokat, yang besarnya cukup mencengangkan: 90 persen!
Saya
pikir pihak-pihak terkait perlu membahas hal ini. Profesi advokat dan
kalangan bisnis pengusaha mungkin tidak begitu menggubris hal ini karena
mereka telah puas dengan alternatif penyelesaian sengketa, termasuk
arbitrase. Apalagi arbitrase sedang mendapat panggung di Indonesia.
Bank Dunia sendiri mencatat, praktik mediasi
dan arbitrase berjalan baik dengan memberi nilai 2,5 dalam skala 0-3. Namun,
betapapun, perbaikan indikator
pelaksanaan kontrak melalui pengadilan tetap perlu. Sebagai unsur pendukung
kemudahan berusaha, ia diharapkan dapat menyumbang tercapainya atau
terdekatinya peringkat 40 kemudahan berusaha, yang diharapkan Presiden, dan
tentu kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar