Breakthrough
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 29 Desember
2016
Kita
mulai jarang mendengar istilah breakthrough atau terobosan. Itu mungkin
karena dulu istilah tersebut kerap dipakai Soeharto, Presiden kedua Republik
Indonesia.
Tapi
juga mungkin karena kata ini sangat tak disukai para auditor, penegak hukum
atau para manajer compliance. Mungkin, bagi mereka, breakthrough diartikan
sebagai jalan pintas dan melanggar aturan. Di masyarakat kita istilah jalan
pintas kerap berkonotasi negatif.
Anda
yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan dan ingin cepat selesai kerap
menempuh jalan pintas dan itu pasti menyuap. Anda yang kerap ke toko buku
tentu menemukan banyak buku yang membahas soal jalan pintas. Salah satunya
cara cepat menjadi orang kaya. Atau cara cepat menggapai kesuksesan, instant
learning, dan sebagainya. Bukannya mengajarkan kerja keras.
Fenomena
semacam inilah yang membuat istilah breakthrough menjadi kurang laku dan
dijauhi. Padahal, menurut saya, breakthrough adalah konsep manajemen yang
vital dan negara kita masih memerlukan sangat banyak terobosan. Kita misalnya
pernah terkagumkagum dengan terobosan yang dilakukan Dahlan Iskan, baik
ketika menjadi wirausaha, direktur utama (dirut) PT PLN maupun saat menjadi
menteri BUMN. Ada saja idenya.
Beberapa
di antaranya kerap menabrak-nabrak. Tapi itu demi kelancaran yang sering
disumbat. Misalnya sewaktu menjadi dirut PLN. Dahlan sebal betul dengan
olokolok tentang PLN yang dilabeli sebagai Perusahaan Lilin Negara atau kalau
listrik mati “Pasti Lama Nyalanya”. Dahlan pun melakukan banyak terobosan. Di
antaranya program 3459. Artinya listrik hanya boleh padam selama 3 jam dalam
setahun, waktu respons 45 menit, dan 9 kali padam per pelanggan per tahun.
Semua
target itu kemudian dijadikan indikator kinerja perusahaan. Lalu diteruskan
lagi menjadi indikator direksi, wakil direktur, general manager, manajer, dan
terus sampai lini terbawah di PLN menggunakan key performance indicator
(KPI)— sesuatu yang ketika itu kurang lazim diterapkan di BUMN.
Maklum,
BUMN kita masih banyak yang menganut prinsip sama rata, sama rasa. Kerja
keras atau kerja kendur, gajinya sama. Masih banyak terobosan lain yang
dilakukan Dahlan ketika menjadi menteri BUMN. Anda ingat dengan mobil listrik
yang diujicobanya sendiri? Idenya mengalir deras dan kebanyakan di luar
pakem. Maka tak mengherankan kalau jajaran birokrasinya terkaget-kaget.
Empat Faktor
Di
industri migas, Pertamina termasuk salah satu BUMN yang juga kerap melakukan
terobosan. Namun mereka melakukannya secara sistematis. Ada rencana, eksekusi
hingga evaluasi. Saya masih ingat saat membantu CEO Transformatif Ari Sumarno
memimpin perubahan. Pertamina mengemasnya dalam Breakthrough Project
(BTP)—program yang sudah mereka lakukan sejak 2015.
Hasilnya
pun kelihatan. Kini hasilnya kelihatan di era Dwi Soetjipto saat Pertamina mengalihkan
impor minyak dari Petral, anak usahanya yang berbasis di Singapura, ke
integrated supply chain (ISC). Melalui program ini ternyata sepanjang
Januari-Juni 2016 Pertamina mampu menghemat biaya hingga USD91 juta.
Lalu
Pertamina juga mengubah pola pengadaan barang dan jasa dari desentralisasi ke
sentralisasi. Perubahan ini juga mampu menghemat anggaran. Program BTP
lainnya yang menekan biaya adalah pembenahan tata kelola dan arus minyak, di
antaranya untuk memperkecil volume losses minyak dan produk minyak.
Tentu
masih banyak lagi lainnya. Hasilnya selama semester I/2016, melalui program
BTP, Pertamina mampu menghemat anggaran USD1,089 miliar atau 144% dari
target. Angka penghematan itu jelas berpengaruh signifikan terhadap kinerja
bisnis Pertamina. Sebagai gambaran, selama semester I/2016, laba bersih
Pertamina adalah USD1,83 miliar.
Pengalaman
Pertamina dengan program BTP-nya membuktikan bahwa kita masih
memerlukanbanyakterobosan, termasuk di industri migas. Apalagi menurut kajian
Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia, tingkat kesejahteraan
yang kita peroleh dari industri migas selama tahun 2000 hingga 2011 terus
menurun.
Sebaliknya
pada periode yang sama, tingkat kesejahteraan para kontraktor migas justru
meningkat. Apa penyebabnya? Menurut kajian itu, ada empat faktor yang
semuanya berkaitan erat dengan cost recovery. Pertama, lemahnya kemampuan
pemerintah dalam mengendalikan cost recovery yang diajukan para kontraktor.
Banyak
biaya yang kurang relevan dengan kegiatan eksplorasi, tetapi dimasukkan para
kontraktor sebagai biaya. Kedua, sangat tingginya barrierto entry untukpengadaan
berbagai barang dan jasa di sektor hulu migas. Alasan utama adalah karena
industri migas adalah bisnis yang padat modal dan teknologi.
Maka
pengadaan barang dan jasa harus selektif. Namun, ini yang ketiga, ternyata
banyak juga kontraktor skala kecil yang masuk di bisnis hulu migas. Ini
menciptakan inefisiensi. Keempat, sesuai dengan isi production sharing
contract, peran kontraktor sangat dominan dalam mengendalikan aspek keuangan.
Butuh Keberanian
Saya
kira kondisi yang menimpa industri migas juga terjadi pada industri-industri
lainnya, termasuk yang dikelola BUMN. Inefisiensi masih terjadi di mana-mana.
Lalu apa solusinya? Pembentukan holding company bisa menjadi salah satunya.
Melalui pembentukan holding company, misalnya, Pertamina dan PT Perusahaan
Gas Negara Tbk tak perlu duplikasi membangun jaringan pipa di jalur sama.
Cukup
salah satu saja. Ini tentu akan menghemat biaya. Sejatinya sebagai sebuah
gagasan, pembentukan holding company, adalah hal biasa sebagaimana juga
merger atau akuisisi. Atau di sisi lainnya ada spin off, penjualan anak
usaha, dan bahkan penutupan perusahaan. Banyak teknik untuk melakukannya.
Namun
yang ingin saya tekankan adalah meski pembentukan holding company hal biasa,
untuk mewujudkannya butuh banyak terobosan. Anda tahu, banyak BUMN kita yang
perilakunya masih bak organisasi pemerintahan. Birokrasinya berbelit. SDM-nya
belum bermental melayani dan belum memiliki mindsetbahwa setiap masalah
adalah peluang.
Ini
bukan hanya di level bawahan, tetapi juga manajerial. Mereka belum memiliki
mindset seperti ucapan Michael Dell, “Every
breakthrough business idea begins with solving a common problem. The bigger
the problem, the bigger the opportunity.” Jadi, ke depan resistensi
pembentukan holding company bakal sangat tinggi. Saat ini ibarat fenomena
gunung es, yang kelihatan di permukaan tak sebesar masalah yang sesungguhnya.
Namun
kita beruntung. Duet Jokowi-JK adalah sosok yang terbiasa melakukan terobosan
dan bernyali. Ini penting, sebab setiap BUMN punya backing, termasuk dari
kalangan politisi. Melakukan terobosan kadang tidak bisa sukarela. Bahkan
bisa memaksa. Maka dibutuhkan keberanian.
Saya
bermimpi seandainya pembentukan holding company BUMN sesuai dengan bidang
industrinya bisa kita realisasi, kelak bukan hanya Pertamina yang masuk
daftar Fortune Global 500. Mungkin akan ada lima atau enam BUMN lainnya yang
menyusul.
Dan
itu artinya kita akan punya reputasi dan kemampuan me-leverage financial yang
lebih produktif. Sebab dengan mengatasi masalah ekonomi hari ini, kita akan
menghadapi masalah baru di masa depan, yaitu energi akan selalu dirasa
kurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar