Pendangkalan,
Kekerasan, dan Kebencanaan Agama
Syamsul Arifin ; Wakil
Rektor dan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang
|
KORAN SINDO, 03 Januari
2017
Sebagaimana
yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, hari-hari jelang pergantian tahun
dari 2016 ke 2017 juga diwarnai ketegangan. Secara berseloroh saya katakan
kepada banyak kawan, Desember adalah bulan yang sensitif. Ketegangan yang
terjadi pada Desember mengingatkan saya pada kajian Mujiburrahman, guru besar
IAIN Antasari, Banjarmasin. Dalam buku, Feeling
Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (2006),
Mujiburrahman mencandra tentang fenomena perasaan terancam (feeling threatened) pada kelompok
agama di Indonesia utamanya antara Islam dan Kristen. Seperti membuktikan
tesis Mujiburrahman, pada bulan ke-12 dalam kalender masehi ini perasaan
terancam tersebut mengemuka.
Tesis
Mujiburrahman kian memperoleh pembuktian manakala mencermati ikhtiar yang
dilakukan oleh pihak kepolisian dalam memperketat keamanan pada Desember ini.
Ikhtiar pihak kepolisian membuahkan hasil. Dalam sepekan terakhir ini, Densus
88 Polri berhasil melumpuhkan orang-orang yang diduga akan melakukan aksi
teroris. Berita yang paling anyar, Densus 88 Polri kembali berhasil membekuk
terduga teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu malam, 25
Desember.
Tidak
ada yang bisa menjamin Indonesia bisa steril dari aksi teroris kendati para
pelakunya bisa dilumpuhkan. Salah satu faktor yang mempersulit pencegahan
aksi teroris adalah mengakarnya justifikasi keagamaan. Terorisme sejatinya
merupakan tindakan yang dikutuk oleh setiap agama. Tindakan terorisme
seringkali berujung pada kematian bahkan secara masif dan cepat terutama dari
kalangan sipil. Akibat mengerikan inilah yang paling dikutuk oleh agama.
Islam
misalnya menyetarakan dosa bagi pelaku pembunuhan satu jiwa dengan pembunuhan
terhadap seluruh umat manusia. Kendati sebagai tindakan terkutuk, masih saja ada
tindakan terorisme, baik dilakukan secara individual atau tunggal (lone wolves) dan berkelompok, yang
justru dilandasi oleh keyakinan agama. Menariknya lagi, meskipun memberikan
efek mematikan yang bahkan secara sengaja dikenakan kepada pelakunya sendiri
(bom bunuh diri), terorisme tetap dijadikan pilihan sebagai strategi
perjuangan oleh individu dan kelompok tertentu. Seperti membenarkan pandangan
bahwa agama memiliki jutaan jiwa, terorisme yang digerakkan oleh agama
tampaknya sulit dimatikan.
Kendati
beberapa pentolan pelaku teror ditangkap, bahkan di antara mereka telah
dieksekusi melalui hukuman mati, ternyata di sisi lain bukan malah mematikan
keberadaan kelompok terorisme, tetapi justru menginspirasi munculnya
aktor-aktor baru yang memiliki keberanian yang kurang lebih sama dengan
aktor-aktor sebelumnya. Pada terorisme kita lalu menangkap ada paradoks.
Agama yang sejatinya merupakan instrumen ilahiah untuk mewujudkan kebaikan
personal dan publik, tetapi di sisi lain tampil dengan wajah yang menakutkan
yang terkadang diperlihatkan secara vulgar pada wilayah yang disakralkan oleh
para pemeluk agama seperti masjid dan gereja.
Ihwal Kebencanaan Agama
Kekerasan
bukan sesuatu yang inheren dalam agama. Tesis inilah yang dipegang oleh Karen
Armstrong seperti dibaca pada bukunya, Field
of Blood: Religion and the History of Violence (2014). Alih-alih
kekerasan, merujuk pada Armstrong dalam buku yang lain, Twelve Steps to a Compassionate Life (2011), agama sebenarnya
sangat kaya dengan nilai-nilai kasih sayang (compassionate) yang bahkan bisa mengeratkan dua pihak yang saling
bermusuhan sekalipun.
Pemerosotan
agama ke dalam praktik yang justru bertentangan dengan nilai-nilai keadaban
dalam agama seperti kasih sayang (compassionate)
bermula dari penafsiran yang begitu dangkal atau banal terhadap beberapa
doktrin dan narasi dalam agama sebagai justifikasi terhadap motif-motif
tertentu yang sebenarnya melampaui kepentingan agama. Cara penafsiran yang
banal ini bisa menjatuhkan agama menjadi suatu bencana yang menakutkan,
sebagaimana disinyalir oleh Charles Kimball lewat bukunya, When Religion Becomes Evil (2002).
Tanda-tanda
yang disebut Kimball adalah: (1) klaim bahwa agamanya merupakan satu-satunya
agama yang memiliki kebenaran secara mutlak (absolute truth claim); (2) ketaatan buta kepada pemimpin (blind
obidience); (3) kerinduan terhadap zaman ideal (establishing the ideal time);
(4) pencapaian tujuan ditempuh dengan menghalalkan berbagai cara (the end
justifies any means); (5) deklarasi perang suci (declaring holy war).
Jika
ingin menemukan suatu kelompok keagamaan terbaru yang padanya melekat kuat
tanda-tanda kebencanaan agama sebagaimana disinyalir oleh Kimball, Islamic
State of Iraq and Sham/Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS)
bisa dikedepankan sebagai salah satu eksemplar. Pada ISIS antara lain
terdapat imaji dan romantisme yang begitu kuat terhadap perwujudan kembali
negara Islam berbentuk khilafah (khilafatisme) yang dulunya pernah menjadi
kekuatan hegemonik Islam dalam rentang waktu ratusan tahun.
Menyebut
nama dan bentuk negara khilafah yang diimpikan ISIS mengingatkan pada masa-masa
silam Islam di mana perkembangan khilafah merentang sejak wafatnya Nabi
Muhammad sampai pada 1924 sebagai masa akhir-akhir khilafah di Turki.
Khilafah meniscayakan ada pemimpin tunggal yang disebut khalifah dan memiliki
otoritas mutlak terhadap semua wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.
Khilafatisme merupakan ideologi kontroversial. Banyak kalangan bahkan dari
Islam sendiri yang bersuara keras dan menolak terhadap khilafah karena
dinilai tidak relevan dengan semangat zaman yang lebih mengakomodasi negara
bangsa (nation-state).
Di
Indonesia terdapat kelompok Islam yang tampak getol mengusung khilatisme,
yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, HTI tidak bisa dibandingkan
dengan ISIS terutama pada aspek strategi yang dipilih untuk mewujudkan
khilafah. HTI lebih mengutamakan “perang pemikiran” (ghazwatul fikriyah). Sementara bagi ISIS, mendirikan khilafah
sebagai perwujudan kerinduan terhadap zaman ideal (estbalishing the ideal time), menyulut semangat ISIS mengobarkan
perang suci (declaring holy war)
kendati harus ditempuh dengan menghalalkan berbagai cara (the end justifies any means).
Kemudian
bagi mereka yang telah bergabung dengan ISIS hanya dihadapkan pada satu
pilihan: membaiat dan taat kepada komando pemimpin (blind obidience). Meskipun dikritik sebagai gagasan yang banal
dan dangkal, khilafatisme yang diusung ISIS tetap memiliki banyak pengikut
yang bahkan datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia.
Dukungan dari orang-orang yang berkewarganegaraan Indonesia memberikan sinyal
yang kuat terhadap keberadaan jaringan kelompok radikal yang belum bisa
diendus baik oleh pihak keamanan maupun masyarakat.
Yang
perlu diwaspadai lagi jika mereka yang pernah bergabung dengan ISIS kembali
ke Indonesia. Pengalaman mereka terlibat perang di wilayah yang menjadi
incaran ISIS sangat mungkin akan ditransformasikan di Indonesia. Menghadapi
kedua kemungkinan tersebut, kita harus memiliki kemampuan melakukan deteksi
secara dini (early warning system)
terhadap perorangan dan kelompok yang terinfiltrasi oleh paham radikal.
Deteksi secara dini perlu juga disokong oleh kegiatan deradikalisasi terutama
oleh kelompok Islam moderat yang merupakan pilar Islam Nusantara seperti
Muhammadiyah dan NU.
Yang
dimaksud dengan deradikalisasi adalah upaya menangkal laju radikalisme dengan
cara menyebarluaskan pemahaman yang lebih moderat terhadap Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar