Ayah-Bunda
Menculik Ananda
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
|
KORAN SINDO, 03 Januari
2017
Instruksi
Presiden Nomor 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang
diluncurkan pekan pertama Desember 2016 menggenapi dua kado akhir tahun bagi
dunia perlindungan anak di Tanah Air.
Sebelumnya,
tak terpaut jauh, Undang-Undang Nomor 17/2016 tentang Revisi Kedua
Undang-Undang Perlindungan Anak juga diresmikan. Inpres Nomor 12/2016, setali
tiga uang dengan penjabaran Nawacita, juga menempatkan masalah perlindungan
anak pada ranah hukum. Yaitu, di poin (h) pada Program Gerakan Indonesia
Tertib: menumbuhkan lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan
komunitas yang ramah dan bebas kekerasan. Poin tersebut berada di bawah
koordinasi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan.
Inpres
tersebut merupakan sandaran ideal bagi penyikapan terhadap sejumlah kejadian
mengenaskan sekaligus unik yang menggegerkan jagat berita daring dan media
sosial di pengujung akhir 2016 ini. Bukan kejadian berupa kasus-kasus yang
sudah lazim menyedot perhatian publik, semisal kejahatan terhadap anak maupun
anak yang sakit parah lalu meninggal dunia. Melainkan, peristiwa yang betapa
pun merupakan bentuk kegagalan perlindungan anak, tetapi hingga kini masih
cenderung ditanggapi secara kikuk oleh otoritas penegakan hukum nasional.
Seorang
bocah berusia 3,5 tahun hilang. Dikabarkan, bocah tersebut dijemput paksa
oleh para penculik di tempat umum. Polisi melacak hingga ke Banyumas. Sekian
bulan silam, peristiwa serupa juga berlangsung di pusat perbelanjaan. Terekam
kamera, anak kecil yang tengah berjalan di belakang ibunya itu tiba-tiba
diringkus oleh sejumlah orang dewasa. Anak itu juga disebut-sebut telah
menjadi korban penculikan. Namun, tak lama setelah kejadian, anak-anak
tersebut berhasil ditemukan. Kegemparan berakhir seiring dengan terungkapnya
rahasia bahwa pihak yang berada di belakang aksi-aksi tersebut tak lain
adalah orang tua kandung anak-anak itu sendiri.
Latar
belakang peristiwa-peristiwa semacam itu adalah memburuknya relasi suami dan
istri. Baik setelah bercerai maupun menjelang perceraian, salah satu orang
tua menutup akses orang tua yang lain untuk bertemu darah daging mereka. Tak
kuasa menahan rindu, orang tua yang diasingkan tersebut memutuskan mengambil
anak tanpa sepengetahuan (mantan) pasangannya. Panik, orang tua yang
kehilangan anak bergegas melapor ke polisi dan menyebar warta dengan judul
“anak saya diculik”. Masuk akal untuk memprediksi bahwa seiring terus
meningginya angka perceraian pada 2017 nanti, dengan kuasa asuh atas anak
menjadi salah satu masalah pelik, kejadiankejadian penculikan semacam di atas
akan kian sering berlangsung.
Di
sejumlah negara, perbuatan seperti itu disetarakan dengan tindak penculikan
sehingga dikenal terma penculikan oleh orang tua (parental abduction,
parental kidnapping, custodial interference). Sangat mungkin di Indonesia
menggandeng “penculikan” dan “orang tua” akan mengundang kerut dahi karena
penculikan biasanya diasosiasikan dengan aksi kejahatan yang dilakukan oleh
satu pihak terhadap pihak lain yang tidak memiliki pertalian darah secara dekat.
Beberapa penyikapan yang perlu diambil adalah; Pertama, harus digarisbawahi
bahwa kepemilikan akan hak asuh tidak menjustifikasi orang tua untuk
mengasingkan anak dari orang tuanya yang lain.
Untuk
mencegah terjadi pengasingan tersebut, hakim patut menambahkan ke dalam
putusannya satu poin tambahan. Yaitu, mewajibkan kedua orang tua untuk
memberikan laporan berkala perihal disediakannya dan dimanfaatkannya akses
anak untuk tetap menjalin tali asih dengan orang tua yang tidak mendapat hak
asuh. Integrasi antara kerja lembaga peradilan dan lembaga kesejahteraan
sosial juga dapat dibangun untuk keperluan pelaporan maupun pemantauan
tersebut. Kedua, manakala diketahui bahwa pemutusan relasi telah terjadi,
lembaga peradilantidakbolehtinggal diam.
Agar
marwah Dewi Yustisia tetap terpelihara dan demi menjamin terejawantahkannya
keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, tindakan penutupan akses harus
dipandang sebagai pelecehan terhadap putusan pengadilan. Secara spesifik,
sebagaimana praktik yang berlangsung di banyak negara, pengabaian semacam itu
dapat diperkarakan dengan tuduhan penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court). Ini menjadi agenda
legislasi ke depan, yakni menyusun perundang- undangan tentang peng hinaan
terhadap lembaga peradilan.
Paralel
dengan itu, ketiga, tindakan pengasingan terhadap anak harus disikapi
setidaknya sebagai bentuk kekerasan psikis dan sosial yang dilakukan oleh
orang tua terhadap anak yang berada dalam kuasa asuhnya. Dan, itu merupakan
persoalan pidana. Apalagi, karena UU Perlindungan Anak (UU PA) mencantumkan
klausa “orang dekat” sebagai syarat pemberatan sanksi bagi pelaku, penculikan
oleh orang tua pun semestinya bisa disikapi sebagai bentuk tindak pidana oleh
orang dekat. Konsekuensinya, agar sistem peradilan pidana lebih memiliki
kemantapan hati dalam melindungi hak anak, revisi UUPA dan UU KDRT maupun
penyusunan UU baru mengenai pengasuhan patut mengelaborasi lebih konkret dan
deskriptif pasal-pasal tentang penganiayaan semacam itu.
UU
yang secara spesifik membahas ihwal penculikan oleh orang tua juga bukan
sesuatu yang tanpa preseden. Walau banyak pihak menganggap peristiwa
custodial interference sebagai masalah perdata, seriusnya dampak yang terjadi
pada anak mendorong sekian banyak negara memberlakukan pemidanaan terhadap
orang tua yang menculik anak mereka sendiri. Di Amerika Serikat, sebagai
misal, Distrik Kolombia dan puluhan negara bagian lainnya memiliki peraturan
hukum yang memidana pelaku.
Ancaman
sanksinya berkisar dua tahun penjara serta denda USD5.000 hingga USD10.000.
Selanjutnya, keempat, ketika salah satu orang tua membawa anak ke luar negeri
tanpa sepengetahuan maupun seizin orang tua lainnya, ini akan mempersulit
upaya mempertemukan kembali anak dengan orang tuanya yang terpisah tersebut.
Situasi seperti ini akan dapat ditanggulangi apabila Indonesia menjadi negara
pihak dalam The Hague Abduction Convention.
Konvensi
ini merupakan treaty (perjanjian) yang ditujukan untuk melindungi anak dari
efekefek membahayakan yang diakibatkan oleh penculikan lintas negara oleh
orang tua si anak sendiri. Treaty ini mendorong pengembalian anak ke negara
asal mereka, sekaligus menata dan menjamin terealisasinya hakhak orang tua
untuk bertemu dengan darah daging mereka. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar