Selamat
Datang Era Baru SMA
Akh Muzakki ; Guru
Besar serta Dekan FISIP dan FEBI
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 02 Januari
2017
TANGGAL
2 Januari 2017 menjadi saksi era baru SMA/SMK. Amanat UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah mewajibkan pengalihan kewenangan pengelolaan
SMA/SMK dari pemerintah kota/kabupaten ke pemerintah provinsi. Mulai
persoalan pengelolaan sumber daya manusia guru dan tenaga kependidikan, aset,
hingga anggaran pembiayaan.
Diskusi
hebat hampir terjadi hanya pada isu anggaran pembiayaan. Para pengambil
kebijakan, terutama di pemerintahan kabupaten/kota yang dalam beberapa kurun
terakhir telah berhasil menggratiskan layanan pendidikan SMA/SMK, mencoba
menawar kebijakan pengalihan kewenangan tersebut. Sebab, pengalihan
kewenangan dimaksud berkonsekuensi langsung pada hilangnya kesempatan layanan
pendidikan gratis yang selama ini dinikmati warga kabupaten/kota itu.
Bagi
pemerintah provinsi, kebijakan pengalihan kewenangan pengelolaan di atas
merupakan dan sekaligus memberikan kesempatan baik untuk kepentingan dua hal:
redistribusi dan penyetaraan kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Dengan
berada di bawah kewenangan kabupaten/kota, bisa diupayakan pengurangan
disparitas layanan pendidikan serta ketersediaan guru dan tenaga kependidikan
di jenjang pendidikan yang sangat instrumental untuk mencetak generasi muda
yang siap masuk pendidikan tinggi atau pasar kerja.
Masalah
yang selama ini dihadapi di lapangan pendidikan adalah adanya ketersediaan
SDM yang berlebih di satu kabupaten/kota dan kekurangan di daerah lain,
sehingga ada disparitas yang cukup kuat sari sisi ketersediaan. Hal itu
berimplikasi langsung terhadap penciptaan kualitas layanan pendidikan yang
diselenggarakan. Akibatnya, penyetaraan kualitas penyelenggaraan pendidikan
menjadi isu besar di interval wilayah provinsi.
Bagi
pemerintah kabupaten/kota, pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan
SMA/SMK berkaitan langsung dengan layanan pendidikan di daerah masing-masing.
Apalagi bagi pemerintah kabupaten/kota yang dalam beberapa waktu terakhir
berhasil menyelenggarakan pendidikan SMA/SMK gratis, pengalihan kewenangan
berarti segera berakhirnya jaminan sekolah gratis. Sebab, pemerintah provinsi
tidak mungkin bisa menjamin sekolah gratis bagi siswa SMA/SMK seluruh daerah
di wilayah administratif provinsi dimaksud.
Apalagi,
pendidikan SMA/SMK diyakini memiliki irisan yang dekat dan kuat dengan pasar
politik. Di era otonomi daerah di mana kepala daerah muncul dari hasil
kontestasi politik terbuka melalui pilkada, tentu para siswa SMA/SMK adalah
pasar politik menarik. Para siswa SMA/SMK adalah pasti para pemilih pemula.
Jumlah mereka cukup gemuk sebagai dampak dari munculnya generasi baby boomers
yang akan membentuk generasi emas Indonesia 15 hingga 20 tahun ke depan.
Lebih
dari itu, sebagai calon pemilih pemula, mereka memiliki preferensi dan
orientasi politik yang pasti berbeda dengan pemilih dewasa. Mereka belum
memiliki masa lalu politik. Karena itu, mereka pasti memiliki preferensi
politik yang berbeda dibanding pemilih dewasa. Yang mereka lihat dan rasakan
saat ini dan di depan mata mereka akan sangat memengaruhi preferensi politik
mereka.
Juga,
yang menjadi orientasi politik mereka adalah partai dan atau kuasa politik
yang bisa menawarkan program yang dekat dengan kebutuhan mereka saat berjalan
atau berlangsung. Catatan kognitif mereka terhadap apa yang terjadi pada masa
silam sangat lemah karena mereka memang tidak terlahir atau berkembang dalam
situasi dan hegemoni sosial politik saat itu.
Nah,
dalam situasi seperti itu, siswa SMA/SMK sebetulnya adalah calon pemilih yang
sangat empuk. Mereka menjadi sasaran bagi kampanye dan persuasi politik yang
sedang dikembangkan. Pendidikan gratis adalah sebuah produk dan bentuk dari
kampanye dan persuasi politik yang sangat efektif untuk memenangkan dan
meraih simpati serta hati kaum muda calon pemilih pemula.
Karena
itu, pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan SMA/SMK yang berkonsekuensi
pada hilangnya jaminan sekolah gratis bagi siswa SMA/SMK tentu memberikan
dampak yang sangat besar bagi upaya politik kekuatan partai dan kuasa politik
di kabupaten/kota. Sebab, mereka akan kehilangan kesempatan untuk
mengondisikan calon pemilih pemula. Sebagai calon pemilih pemula, para siswa
SMA/SMK akan dilepas menjadi medan pertempuran yang betul-betul longgar bagi
kontestasi politik lokal.
Jeruk Makan Jeruk
Dalam
situasi yang mengimpit seperti itu, pemerintah kabupaten/kota yang selama ini
sudah mempraktikkan penyelenggaraan pendidikan gratis untuk siswa SMA/SMK
mencoba untuk tetap menunjukkan perhatiannya kepada siswa jenjang pendidikan
itu. Salah satu perhatian tersebut ditunjukkan Pemkot Surabaya.
Alokasi
anggaran dicoba tetap disediakan oleh Pemkot Surabaya melalui instrumen APBD.
Skemanya tentu bukan dengam pembiayaan langsung terhadap penyelenggaraan
pendidikan SMA/SMK, melainkan dengan memberikan bantuan pendanaan ke Pemprov
Jawa Timur. Bantuan pendanaan itu diperuntukkan bagi siswa SMA/SMK Kota
Surabaya.
Ikhtiar
Pemkot Surabaya semacam itu akan dihadapkan pada persoalan administrasi
keuangan pemerintahan. Sebab, pada prinsipnya, skema bantuan penganggaran
tidak boleh oleh atau dari satu instansi pemerintah ke instansi pemerintah
yang lain. Aturan administrasi semacam itu dikenal juga dengan kebijakan pelarangan
’’jeruk makan jeruk’’. Maka, skema yang diupayakan oleh Pemkot Surabaya ke
Pemprov Jawa Timur tidak mungkin dilakukan karena sama-sama instansi
pemerintah.
Opsi Kartu Sejahtera
Selama
tidak ada ihwal revisi oleh putusan judicial review MK, UU Nomor 23 Tahun
2014 sudah tidak memungkinkan lagi pengelolaan pendidikan SMA/SMK oleh
pemkot/pemkab. Pengalokasian anggaran pun, sebagai konsekuensinya, hanya akan
menabrak substansi regulasi itu. Apalagi kalau alokasi penganggaran tesebut
lalu diteruskan dengan pencairan. Tentu, itu akan menjadi temuan pelanggaran
hukum.
Yang
paling efektif, efisien, dan taat asas hukum untuk dilakukan adalah
pengembangan semacam ’’subsidi’’ silang kepada warga kota atau kabupaten
dalam bentuk penguatan kesejahteraan warga masing-masing kabupaten/kota.
Substansinya mirip dengan Kartu Indonesia Sejahtera dengan mengambil bentuk
seperti Kartu Surabaya Sejahtera sebagai misal.
Jadi, pintu masuk bagi ’’subsidi’’ silang
itu adalah pada peningkatan kesejahteraan, bukan layanan pendidikan,
khususnya bagi warga siswa SMA/SMK. Dengan skema tersebut, pemerintah
kabupaten/kota tetap bisa melaksanakan tugas dan pengabdian untuk memperkuat
pendidikan warganya melalui formula pengembangan kesejahteraan tetapi tidak
menabrak aturan hukum yang berlaku.
Kita tunggu skema yang efektif, efisien,
dan taat asas hukum dari pemerintah kabupaten/kota dengam pemprov. Semoga
ditemukan skema seperti ’’subsidi’’ silang model Kartu (Surabaya) Sejahtera
seperti di atas. Lalu, kita ucapkan bareng-bareng: Selamat datang era baru
SMA dan penyelenggaraannya secara lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar