Kebebasan
dan Masa Depan Pendidikan Kita
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
02 Januari 2017
“AKU bukan nasionalis,
bukan Katolik, bukan sosialis, bukan Buddha, bukan Protestan, bukan
Westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan human. Aku semuanya. Mudah-mudahan
inilah yang disebut muslim.”
(Ahmad Wahib, 1942-1973).
PENGGALAN
kalimat Ahmad Wahib itu tentu tak mewakili pola pikir umat Islam Indonesia
secara umum. Namun, jika dilihat dari semangatnya, bisa jadi penanda seorang
muslim bagi Ahmad Wahib ialah orang yang berani bersandar pada keyakinan
tentang adanya perbedaan yang harus diterima lahir dan batin. Semangat
menerima perbedaan ialah sandaran masa depan Indonesia yang sesungguhnya,
yaitu sepanjang 2016 terus diuji kejahatan politik, hukum, sosial, dan budaya
masyarakat yang semakin terlihat bodoh dan mudah diperbodoh.
Kesimpulan
itu menambah panjang hipotesis saya sejak lama, bahwa Indonesia hari ini
ialah produk sistem pendidikan yang salah dan sama sekali tak menghargai
kemanusiaan dalam 45 tahun terakhir. Dan akan terus bertambah runyam jika
presiden dan jajarannya tak memiliki konsep ketahanan pendidikan yang baik.
Ketahanan
pendidikan hanya bisa diperoleh jika struktur anggaran pendidikan disusun,
direncanakan, dan diimplementasikan berdasarkan satuan unit analisis yang
jelas dan bisa diukur, yaitu dengan menempatkan sekolah sebagai cost figure
pengembangan pendidikan di tiap-tiap wilayah.
Mengapa
hal ini masih sangat sulit terjadi karena sekolah tak pernah melibatkan
seluruh pemangku kepentingan yang ada di sekitarnya untuk diajak menyusun
RAPBS. Itulah mengapa ketahanan pendidikan kita tak pernah kuat mengakar ke
masyarakat karena sekolah bukan merupakan milik masyarakat. Hal itu menyebabkan
masyarakat apatis dan tidak peduli dengan sekolah. Karena itu, bisa jadi
peran sekolah yang laksana pabrik akan terus bertahan dalam memproduksi
robot-robot yang tak punya hati.
Masalah moral
Kebebasan
dalam pendidikan sebenarnya sebuah konsep yang absurd jika tak didukung bukti
empiris tentang keterlibatan berbagai aspek. Kebebasan menjadi hilang
manakala pendidikan ditarik menjadi komoditas politik, hukum dan budaya
tertentu tanpa pernah menyadari bahwa sebenarnya persoalan pendidikan adalah
masalah moral semata. Jika kita percaya bahwa pendidikan masalah moral,
pertanyaannya ialah, mengapa kita tetap bermain-main dengan persoalan
pendidikan bahkan menarik-narik pendidikan ke dalam ranah politik dan hukum?
Itulah
kebijakan yang tidak disadari para pengelola negara karena menjadikan
persoalan pendidikan sebagai ajang untuk pertarungan politik, pembuktian
hukum, dan pembelaan terhadap kesenjangan sosial-budaya. Padahal, sejatinya
pendidikan harus diyakini sebagai persoalan moral, yaitu prosesnya harus dijaga
kesungguhan hati nurani, bukan kepura-puraan politik dan hukum. Ini terlihat
dari cara birokrasi pendidikan kita membuat dan merekayasa program pendidikan
dalam balutan kebijakan yang sangat politis dan tak berpihak pada aspek
moral.
Kajian-kajian
terbaru tentang filsafat pendidikan membuktikan masyarakat melihat tujuan
pendidikan tidak lagi untuk mendidik manusia sebagai manusia, tetapi untuk
penciptaan makhluk yang berpusat pada kepentingan ekonomi. Beberapa ahli
bahkan berpendapat arti sebenarnya dari pendidikan bagi umat manusia di era
globalisasi telah kehilangan entitas yang sebenarnya, yaitu moral hazard, dan
lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Efek buruk dari cara pandang
seperti ini dapat dilihat dari cara proses belajar-mengajar di sekolah yang
tidak jarang antirealitas karena yang ada di otak mereka tujuan akhir
pendidikan ialah hasil, dan itu berarti harus ada kelulusan dan ijazah.
Bagi
saya, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus secara
sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk membebaskan anak didik dari
keterasingan realitas sosial yang berlangsung di sekitar mereka. Belajar dari
warisan Paulo Freire, seyogianya pendidikan harus dibebaskan dari penindasan
dan kesewenang-wenangan birokrasi, guru, dan pendidik yang selalu mencoba
membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya, dan terbenam ke dalam
kebudayaan bisu (submerged in the
culture of silence).
Proses
pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap
kritis dan daya-cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan
bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga memiliki kemampuan untuk
mengasah daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat mereka
bertempat tinggal. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar
guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran
(consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan
psikomotorik.
Dalam
bahasa yang gamblang bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek
dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar
(siswa/mahasiswa) dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar merupakan subjek
yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia ialah objek yang harus
disadari (cognizable). Pertanyaannya adalah, apakah skema pengajaran dalam
sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika ini? Kita
berani mengatakan tidak. Karena hampir semua bahan ajar yang diajarkan di
ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi
pengulangan seringkali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak
memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka
ajarkan.
Dalam
konteks inilah Paula Allman dalam Critical
Education Against Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical
Education (2010), dengan gamblang menjelaskan kegagalan sistem pendidikan
yang terlalu berorientasi kepada pasar dan dunia industri. Ada dua alasan
mengapa Allman sangat pesimistis, yaitu (1) dunia saat ini tidak bisa
menghindari kapitalisme dalam segala bentuknya. Dan (2) hampir dapat
dipastikan bahwa seluruh proses belajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas
saat ini justru cenderung antirealitas sehingga antara das sein dan das solen
dalam dunia pendidikan tak pernah nyambung.
Kebebasan
dalam pendidikan harus terus hidup dan itu harus dimulai dari pengelolaan
sistem pendidikan yang benar dan pro pada keterlibatan masyarakat secara
penuh, agar anggaran pendidikan dapat dikelola dengan transparan dan
akuntabel. Serta menjadikan sekolah sebagai unit cost analysis meskipun Lant
Pritchett dalam The Rebirth of
Education: Schooling Ain’t Learning (2013) menengarai sistem persekolahan
di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat. Karena
pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur
sosial-budaya tempat sekolah itu berada, kita bisa melihat ada banyak sekolah
yang mulai berani keluar dari zona nyaman birokrasi dan mau bekerja bersama
masyarakat membesarkan sekolah mereka. Selamat datang kebebasan pada 2017! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar