Ketika
Daerah dan Pusat Pisah Jalan
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti
INDEF
|
KORAN SINDO, 30 Desember
2016
Segala
bentuk reformasi dan kebijakan bagus yang dilakukan pemerintah pusat akan
percuma jika pemerintah daerah memilih jalan yang berbeda. Hal ini tercermin
dari mangkraknya dana simpanan pemerintah daerah di perbankan menjelang akhir
2016.
Per
Oktober, berdasarkan data Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan,
masih terdapat Rp206,85 triliun dana yang disimpan di brankas bank. Sebagian
besar disimpan dalam bentuk giro dengan porsi 58,14%, deposito 40,17%, dan
sisanya tabungan.
Pemerintah
provinsi justru mengalami kenaikan saldo simpanan sebesar Rp2,58 triliun
dibanding periode September lalu. Sementara itu, pemerintah kota juga tidak
mau kalah menumpuk saldo pada akhir tahun dengan kenaikan Rp347,4 miliar
dibanding bulan sebelumnya. Kondisi ini jelas mencemaskan.
Uang
yang seharusnya dibelanjakan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat justru
ditahan di perbankan. Pemerintah daerah tanpa bekerja keras pun akan
mendapatkan bunga dari perbankan yang cukup besar sehingga APBD terlihat
gemuk. Padahal, dana transfer pusat ke daerah bertambah signifikan selama
lima tahun terakhir.
Pada
2012 jumlahnya Rp480,6 triliun, kini pada 2016 sudah mencapai Rp723,2 triliun
atau meningkat lebih dari 50,4%. Pada 2017 anggaran yang disiapkan untuk
daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebihbesardari
belanjakementerian/ lembaga yakni Rp763,6 triliun. Artinya, pemerintah pusat
ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah.
Semangat
dari otonomi daerah memang kuat dirasakan dalam APBN 2017. Tapi, penguatan
fiskal daerah ini justru bisa menjadi blunder bagi perekonomian ketika
performa pemerintah daerah masih tidak berubah. Untuk mengatasi mangkraknya
dana pemerintah daerah di bank, pemerintah pusat telah mengeluarkan aneka
aturan tentang lelang dini misalnya dalam Perpres No 4 Tahun 2015.
Selain
itu, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah dimajukan agar
pemerintah daerah bisa cepat melakukan lelang. Namun, semua imbauan itu
bagaikan pepesan kosong. Sanksi dari pemerintah juga terbukti kurang efektif
contohnya pemotongan gaji kepala daerah dan anggota DPRD yang belum mengesahkan
APBD paling lambat 30 November.
Banyak
pemerintah daerah terbukti masih membandel. Buktinya pada Maret 2016, lelang
dini yang digadang-gadang akan meningkatkan serapan anggaran tidak terbukti.
Penyerapan hanya mencapai 8% di tingkat kabupaten/kota, dan 8,3% di level
provinsi. Serapan yang rendah jadi salah satu biang keladi ekonomi diprediksi
sulit tumbuh di atas 5% pada 2016 ini.
Pengeluaran
konsumsi pemerintah dengan lambatnya penyerapan anggaran bahkan sempat tumbuh
-2,97% pada triwulan III 2016. Karena itu, perlu diformulasikan sanksi yang
sifatnya lebih tegas seperti moratorium dana transfer daerah bagi pemerintah
daerah yang terlewat lambat menyalurkan anggaran. Dengan cara itu, pemerintah
daerah mendapatkan dua tekanan sekaligus.
Pertama,
tuntutan internal termasuk pegawai pemerintah daerah karena tunjangan menjadi
berkurang. Kedua, masyarakat lebih menekan pemerintah daerah untuk
meningkatkan penyerapan anggaran karena aneka program sosial menjadi
terhambat akibat moratorium. Masalah lain soal kinerja daerah yang perlu jadi
catatan selain lambatnya penyerapan adalah efektivitas penyaluran anggaran.
Rata-rata
anggaran daerah sebesar 39% dihabiskan untuk belanja pegawai, sedangkan sisanya
hanya 24% untuk belanja modal. Padahal, yang seharusnya lebih dominan agar
daerah maju secara ekonomi adalah belanja modal karena berkaitan dengan
peningkatan usaha dan produksi di daerah, yang akhirnya memberikan manfaat
berupa kenaikan penerimaan pajak, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran
daerah.
Renggangnya
koordinasi pusat dan daerah dalam mendorong perekonomian juga terlihat dari
implementasi paket kebijakan yang lambat. Sebanyak 14 paket kebijakan yang
telah dikeluarkan pemerintah pusat tampaknya ditanggapi dingin oleh
pemerintah daerah. Soal deregulasi dan debirokratisasi misalnya pusat dan
daerah banyak menghadapi perbedaan persepsi.
Pemerintah
pusat berkeinginan memotong segala bentuk regulasi yang selama ini dianggap
menjadi beban bagi dunia usaha dan investasi. Dengan regulasi yang lebih
singkat dan pelayanan izin investasi yang mudah akan mengurangi ekonomi
berbiaya tinggi. Apalagi pada 2017 pemerintah menargetkan peringkat kemudahan
berbisnis di posisi ke-40.
Saat
ini posisi kemudahan berbisnis masih di peringkat ke- 91 sehingga butuh upaya
ekstra untuk meningkatkan performa perizinan. Sayangnya, respons di daerah
justru melihat deregulasi yang dilakukan pusat akan menghilangkan sumber
penerimaan yang selama ini banyak dinikmati pejabat hingga pegawai yang
paling bawah.
Intinya,
ada pihakyangselamainiinginmempertahankan status quo, yaitu penikmat rente
pengurusan izin. Dampak dari lambatnya reformasi perizinan di daerah juga
terlihat dari penurunan realisasi investasi. Minat investor memang besar
untuk menanamkan modal di Indonesia. Sudah bukan rahasia bahwa kelas menengah
dengan tingkat konsumsi yang tinggi jadi daya tarik.
Sumber
daya alam yang berlimpah juga sering dibahas dalam setiap kunjungan Presiden
ke berbagai negara lain. Permasalahan muncul ketika investor mulai melakukan
pendaftaran usaha di daerah. Betul ada perizinan satu pintu, disertai janji
tiga jam izin mendirikan usaha beres. Itu terjadi di Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Sayangnya, ketika investor mengurus izin di daerah
bagaikan masuk satu pintu, tapi keluar di banyak jendela.
Pungli
pun masih berkeliaran. Alhasil, realisasi investasi cuma tumbuh 10,7% di
triwulan III 2016 lebih rendah dibanding triwulan III 2015 yang mencapai 17%.
Nalar masyarakat melihat fenomena ini jelas dibuat bingung. Saat ekonomi sedang
mengalami kelesuan dengan panjangnya deretan masalah, pemerintah daerah
seakan menutup mata dan telinga.
Karena itu,
titik berat reformasi ekonomi yang dicanangkan pusat bisa tidak berarti
walaupun sebagian besar uang sudah diberikan ke daerah, belanja infrastruktur
didorong, serta aneka program pemberantasan kemiskinan dijalankan. Jelas
diperlukan reformasi total. Fokus pemerintah pada 2017 seharusnya lebih pada
peningkatan kapasitas pengelolaan daerah, bukan sekadar peningkatan kapasitas
fiskal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar