Memahami
Arus Balik
Saurip Kadi ; Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI
Angkatan Darat
|
KOMPAS, 19 Januari
2017
Tulisan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di harian Kompas pada 2 Januari 2017 dan 9
Januari 2017 perlu kita tanggapi dengan serius agar tidak membuat publik
galau dan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berfalsafah Pancasila.
Pasalnya,
SBY luput membaca situasi geopolitik dan geoekonomi yang sedang berada pada
masa ”arus balik" (turning point)
sejarah peradaban bangsa-bangsa terkait 10 isu besar dunia dengan Indonesia
menjadi pusat perhatian dunia sebagai cikal bakal kemunculan tata dunia baru
(New World Order). Sepuluh isu
besar itu adalah HAM, narkoba dan terorisme, lingkungan hidup, ketahanan
pangan, ketahanan energi, kemiskinan struktural, perdagangan manusia, tata
ruang, tata uang dunia pasca rontoknya ”gelembung ekonomi", dan ledakan
jumlah penduduk,
SBY
meminjam istilah game changers (pengubah jalannya sejarah/ permainan) yang
sering dipakai korporasi dalam memenangi persaingan tanpa berdarah-darah
karena gagasan dan cara yang brilian. Seperti yang telah dilakukan Jeff
Bezos, pendiri Amazon.com, di dunia perdagangan ritel atau yang dilakukan
oleh Elon Musk, pendiri Tesla Motors, yang merajai dunia industri otomotif dengan
temuan mobil listriknya.
Dan
di Indonesia tampaknya kini Go-Jek juga mulai mendesak layanan logistik
lokal, transportasi lokal, sekaligus menyemarakkan bisnis top kuliner,
mengorganisasikan tukang pijat freelance,
tukang salon freelance dalam
mendapatkan pelanggan,serta belanja praktis secara daring dan diantar ke
rumah. Masih banyak contoh lainnya.
Paul
Krugman, peraih Nobel ekonomi, dalam bukunya A Country Is Not a Corporate, menjelaskan bahwa pengelolaan
sebuah negara jauh lebih kompleks daripada korporasi. Meski demikian, tetap
ada game changers atau terobosan
cerdas yang bisa mengubah jalannya sejarah dalam tataran pengelolaan negara
sebagaimana terobosan di dunia korporasi.
Terlepas
dari pro dan kontra pandangan Krugman tentang negara dan korporasi, dalam
konteks negara, game changers adalah pemimpin cerdas dari negara-negara yang
mampu menjebol pasungan realitas yang ada dan kemudian berbenah dengan
platform baru memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan bangsanya.
Pilihan haruslah tepat
Dalam
tulisannya tersebut, SBY menjelaskan, teman-temannya, para pemimpin dunia
yang dia kenal (kecuali Trump) yang menjadi game changers di abad ini, yaitu
Donald Trump (Presiden AS), Xi Jinping (Presiden Tiongkok), Vladimir Putin
(Presiden Rusia), Angela Merkel (Kanselir Jerman). Pertanyaan yang perlu
dijawab adalah betulkah dalam konteks Indonesia sejumlah pilihan tersebut
tepat untuk kita jadikan contoh?
Sesungguhnya
jika disederhanakan, konsep nasionalisme (nation-state) adalah sebuah tatanan
universal dunia abad modern pasca kolonialisme yang rohnya adalah tetap,
yaitu korporasi. Tatanan nation-state tersebut dirangkai dengan sistem
keuangan global di mana mata uang adalah ”bendera” setiap negara untuk
alattransaksi yang disepakati antarbangsa.
Dewasa
ini mata uang bukan lagi sebagai alat persatuan antarnegara dalam merumuskan
tata dunia bersama (World Order), melainkan kini sudah berubah menjadi ”alat
pertempuran” dalam “perang” di era globalisasi. Faktor selanjutnya adalah asymmetric warfare/proxy warfare yang
sangat mengandalkan intelegensia dan antropologi karakter bangsa melalui
dunia maya untuk meyakinkan ilusi kekuasaan dan dampak ikutannya.
Apabila
dilihat dari faktor penentu (dominant
factor), pilihan game changers bagi seorang kepala negara menjadi sangat
mendasar karena otomatis akan memengaruhi kebijakan yang hendak diterapkan.
Dan menjadi fatal jika pilihannya justru yang bertentangan dengan falsafah
dan cita-cita luhur yang membarengi dibentuknya negara dalam konteks Indonesia
adalah Pancasila. Untuk bahan perbandingan bisa diambil sejumlah contoh.
Pertama,
Bung Karno. Sebagai game changer yang diakui dunia pada masanya, Bung Karno
melihat ketimpangan antara Barat-Timur danUtara-Selatan. Ditilik dari potensi
sumber daya alam dan manusia sebagai penggerak ekonomi, mayoritas berada di
negara-negara Selatan dan Timur. Namun, dalam praktiknya yang tampilsebagai
negara maju di mana rakyatnya menikmati kemakmuran justru di Barat dan
belahan Utara. Maka, membaca Konferensi Asia Afrika akan lebih tepat jika
dimaknai sebagai pendefinisian baru tentang aset dunia dan perumusan tata
dunia baru yang lebih adil sehingga tercapai perdamaian dunia.Sangat
disayangkan ide besar yang dikenal dengan sebutan konsep ”jalan tengah” itu
harus kandas karena Bung Karno keburu lengser.
Kedua,
Hun Jin Tao. Tiongkok tak menganut hukum teori permintaan dan penawaran (demand and supply theory), teori
penentuan harga (pricing theory), dan model ekonomi ala Barat yang diajarkan
di universitas pada umumnya. Yang penting bagi Tiongkok adalah rakyat
bekerja, memproduksi apa saja mulai dari peniti sampai satelit.
Barang-barangTiongkok kemudian membanjiri pasar dunia dengan harga yang tak
tertandingi. Melalui marketing corp yang dibangun di negara-negara Eropa dan AS,
perdagangan barang-barang Tiongkok kemudian masuk bursa.
Banjir
produk Tiongkok tersebut dijuluki sebagai kebangkitan kemiskinan global
karena berbagai kemewahan elitis menjadi produk merakyat yang terjangkau
secara global. Tanpa peperangan antarkelas sebagaimana revolusi sosial
sebelumnya dalam peradaban, Tiongkok telah melakukan proses revolusi sosial
secara global. Dan yang pasti cadangan devisa Tiongkok mencapai 3 triliun
dollar AS.
Ketiga,
Mahathir Mohammad. Dengan program Malaysia Incorporated, Mahathir melakukan
tata ulang, tata ruang, dan tata uang yang dibarengi kebijakan
restrukturisasidi mana peran pemerintah diubah sebagai pelayan publik dan
pemimpin bisnis dengan membukakan peluang bisnis global bagi sebanyak mungkin
pebisnis Malaysia, terutama ke Timur Tengah dan negara-negara Islam, termasuk
Indonesia. Dibangun pasar Islam yang prinsipnya seperti masjid (tak ada
kepemilikan privat), siapa datang duluan silakan memilih tempat yang terbaik
(caravan model) di mana diharapkan guild (sentra produksi) mendapat tempat
berdagang secara adil dan tidak monopolistis. Dan Malaysia disulap sebagai
tourism hub Asia Pasifik.
Keempat,
Thaksin Shinawatra. Hampir sejenis Mahathir, tetapi pilihan Thaksin pada
agrobisnis, yakni dengan mengembangkan pertanian, peternakan, dan perikanan
yang dimantapkan sebagai sektor unggulan rakyat yang produknya semua dibeli
oleh pemerintah untuk pasar global dan domestik. Hasilnya, kini Thailand
menjadi hub agrobisnis tingkat dunia.
Contoh
lain yang tak kalah cerdas adalah Hugo Chaves (Presiden Venezuela),
Ahmadinejad (Presiden Iran), Rafael Correa(Presiden Ekuador), dan Lula da
Silva (Presiden Brasil) yang terbukti mampu menerapkan konsep Jalan Tengah
bercirikan kerakyatan kapitalistik dan coopetitive (cooperative and competitive) antarbangsa.
Warisan amburadul
Buruknya
warisan yang diterima Presiden Joko Widodo tak bisa lepas dari lintasan
sejarah negeri ini. Di zaman Orde Lama, pemerintah membentuk 200 lebih BUMN
yang mengurus semua kebutuhan rakyat, dari garam sampai pesawat terbang,
semuadiurus negara. Di era Orde Baru, sesungguhnya yang diterapkan sistem
negara liberal di mana sejumlah kroni pengusaha asing dan domestik diberi hak
dan atau lisensi sehingga tambang, hutan, pasar, produksi, dan lainnya
dikapling-kapling dan diatasnamakan konsep efek menetes ke bawah (trickle down effect). Pemilihan model
tata kelola ekonomi ini justru melahirkan proses pemiskinan.
Ambil
contoh, rakyat kita mulai dari Sabang hingga Merauke makan mi merek sama,
minyak goreng merek sama, dan produk lainnya. Dampak ikutan yang tak bisa
dihindari adalah jutaan usaha kecil pembuat mi, minyak goreng, kecap, dan
lain-lainnyadi desa-desa mati semua. Maka lahirlah pengangguran dan akibatnya
terjadi urbanisasi ke kota.
Di
zaman reformasi, pada hakikatnya yang kita praktikkan adalah mencampur aduk
gaya Orde Lama dan Orde Baru tanpa ada perombakan mendasar, bahkan diperparah
dengan munculnya elite politik baru produk UUD 1945 hasil amandemen yang
mendadak berkuasa dan merasa berhak atas kapling-kapling bisnis untuk sumber
dana politik. Lebih parah lagi, cara tercepat untuk kepentingan dana politik
adalah dengan memungut komisi dari impor komoditas. Itu sebabnya kini sekitar
60 komoditas utama adalah impor dan ini jelas mematikan petani, nelayan, dan
produsen dalam negeri. Belum lagi kebijakan pendirian mal di tengahkota dan
jaringan minimarket masuk ke desa-desa yang nyata-nyata menutup lapangan
kerja puluhan juta tenaga kerja yang selama ini terlibat dalam pasar dan
warung tradisional.
Alhasil,
rakyat Indonesia sudah jatuh tertimpa tangga, diinjak-injak lagi. Bayangkan
jika kontraktor pembangunan swasta harus tender melawan BUMN raksasa seperti
Adhi Karya, Wijaya Karya, Pembangunan Perumahan (PP), Waskita Karya, dan
lainnya. Proyek pemerintah, modal dari pemerintah dan dijamin bank
pemerintah. Bagaimana mungkin rakyat dengan modal sendiri dan kalau rugi
ditanggung sendiri harus tender melawan BUMN yang kalau rugi ditanggung
negara. Di mana keadilan, kalau macan dan kambing dalam satu kandang?
Menjadi
wajar kalau kemudian muncul pertanyaan, sesungguhnya Indonesia negara seperti
apa? Komunis? Tidak, karena rakyat bebas bicara dan dibiarkan mengurus
semuanya sendiri, bahkan malah pakai ongkos. Liberal? Juga tidak, karena
rakyatnya tak kebagian apa-apa. Bukankah semua ladang gemuk sudah dikapling
negara lewat ratusan BUMN dan yang tersisa dikapling oleh sejumlah kroni
asing dan domestik serta kaum politisi? Sementara itu dalam praktiknya BUMN
lebih sebagai ”sapi perahan” rezim berkuasa.
Padahal,
kuncinya sederhana, bangunlah, jangan terus mimpi. Dan ketika bangun cepat
gosok mata agar tidak silau, niscaya akan segera sadar bahwa diri kita inilah
pusat dunia masa depan. Zamrud khatulistiwa terbentang sama panjangnya dengan
Benua Eropa, tebaran mutiara mutu manikam, belasan ribu pulau, ribuan suku
dan bahasa, ratusan agama dan kepercayaan yang Bhinneka Tunggal Ika, menyatu
dengan alam semestanya yang tata tentrem kerto raharjo, damai untuk alam
semesta.
Sepanjang
para menterinya tidak gagal paham, Nawacita dan revolusi mental bukan tak
mungkin menjadi formula yang tepat untuk menyelamatkan negeri tercinta yang
begitu amburadul untuk segera diubah menjadi Negara Korporasi Rakyat
Indonesia, perekonomian sepuluh besar di dunia. Di sinilah saya berbeda rasa
dengan SBY, yakni soal pilihan, sama sekali bukan soal ”selalu ada pilihan”. Namun,
pilihan tepat yang mana, agar ke depan kita tidak lagi menggunakan label
Pancasila namun yang dilaksanakan kapitalisme brutal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar