Bangsa
Yatim Piatu
Muhammad Ainun Nadjib ; Budayawan; Pimpinan Jamaah Maiyah
|
KOMPAS, 19 Januari
2017
Bangsa
Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di
antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah
tabungan kebencian, dendam, dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam.
Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau
untuk mencelakakan anak-cucu kita sendiri kelak.
Masing-masing
yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya.
Dan, tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan
mempersalahkan pihak ini atau itu. Minimal, untuk sementara, ada baiknya
menghindari ”kenikmatan” menuding ”siapa yang salah”. Sebab, kalau
salah-benar diposisikan pada subyek, kemudian yang ditegakkan adalah
pro-kontra, maka semua akan terjebak situasi subyektif: kalau ”pro” suatu
pihak, maka ia ”benar 100 persen”; kalau ”kontra” suatu pihak, maka ia ”salah
100 persen”. Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir.
Produknya,
kita bermasalah terhadap dua hal. Pertama, anak cucu kita akan kebingungan
mempelajari sejarah ”kebenaran melawan kebenaran” dan ”kebaikan melawan
kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri sebab
”setiap orang dan pihak ada benarnya dan ada salahnya”. Tidak bisa benar
mutlak, tidak bisa salah absolut.
Meskipun
pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan
mendiskusikan ”siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih
menemukan ”apa yang salah”. Itu perlu pengorbanan pada harga diri subyektif
masing-masing. Sebab, keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran,
kejernihan, dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran
orang lain.
Berpikir, bersikap, dan
bertindak NKRI
Yang
saya maksud ”puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan
di panggung di mana ”yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin
akan menang di pengadilan ataupun di pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor
yang dianggap kontraproduktif terhadap kemenangan itu mungkin akan dipastikan
untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau
dikebiri. Minimal dieliminasi.
Mungkin
yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih
mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang
muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia?
Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan,
apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai
bineka?
Kalau
belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah sopo siro
sopo ingsun (siapa kamu siapa aku, emang-nyakamu siapa!). Salah satu
outputnya adalah adigang adigung adiguna (sok kamu ini, saya lindas!).
Konstelasi dikotomisnya adalah ”Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah
”Putih melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa yakin dan memiliki
argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil sehingga
mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa
dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang
ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah ”Habil yang dibunuh Qabil” dan ”Putih
yang diberangus oleh Hitam”.
Mana
Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil ataupun Qabil adalah putra-putranya sendiri.
Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya meskipun ia mengancam
putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam-Hawa
mempelajari keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh,
tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh
Habil. Posisi Adam tak ubahnya berpikir dan bersikap Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Yatim piatu tiada tara
Bangsa
Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya bapak yang disegani dan tidak
ada ibu yang dicintai. Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi.
Pertama,
ketika lahir, NKRI memang lebih berpikir ”membikin sesuatu yang baru” dan
kurang berpikir ”meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih ”sejarah
adopsi” dan tidak merasa perlu menekuni ”sejarah kontinuasi”. Kita dirikan
”negara” dan ”republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai,
birokrasi, dan hukum.
Kita
meneruskan ”mesin Belanda” meskipun dengan memastikan pengambilalihan
kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil
karya kita sendiri, yang merupakan kontinuitas kreatif dari apa yang sudah
dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak merdeka kita memang seolah-olah
”sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri. Padahal, Belanda sendiri, juga
banyak negara Eropa lain, tetap berpijak pada kerajaan ”orangtua” mereka.
Fakta yang itu justru tidak kita adopsi.
Juga
tidak belajar kepada Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam
Wuruk adalah kepala negara, Gajah Mada adalah perdana menteri. Kepala negara
bikin kebijakan dan sistem kontrol, perdana menteri berposisi eksekutif dalam
kontrol negara. Hari ini kepala pemerintahan kita adalah juga kepala negara.
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
sebagainya adalah lembaga negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai
lembaga pemerintah karena bangsa Indonesia tidak merasa perlu membedakan
antara negara dan pemerintah.
Negara
adalah bapak, Tanah Air adalah ibu (Pertiwi). Negara adalah keluarga,
pemerintah adalah rumah tangga. Manajemen rumah tangga adalah bagian dari
manajemen keluarga. Pegawai negeri sipil (PNS) yang diganti namanya jadi
aparatur sipil negara (ASN) tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi
negara, yang patuh kepada UU negara. Bukan abdi pemerintah, yang taat kepada
atasan. Kalau anak merasa ia adalah bapak yang memiliki dan menguasai ibu,
maka sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa
depan.
Sekarang
anak-anak sedang nikmat bertengkar, tidak ada bapak yang mereka segani, tidak
ada ibu yang mereka cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para
tetangga mengincar kita, menginfiltrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa
kita, menggerogoti hak milik kita untuk dijadikan milik mereka.
Kedua,
di antara bapak-ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberikan pesan tentang
sandang pangan papan, keris pedang cangkul, gundul pacul, kawula gusti, dan
sebagainya. Pasti banyak juga pesan dari nenek moyang mereka yang Sunda,
Minang, Bugis, Batak, Sasak, Madura, dan ratusan lainnya, yang setelah
merdeka semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita
lupakan. Itu menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya ”pusaka”, dalam
dimensi kejiwaan bangsa ataupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi, dan
hukum pengelolaan kebersamaannya.
Yang tak kita ketahui
Apa
yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai ”puncak eskalasi pertengkaran” adalah
jika pemerintah, yang bertindak atas nama negara, menerapkan ing ngarsa sung
kuwasa: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai dan dengan
kekuatan untuk mengalahkan.
Adapun
posisi manusia itu ngawula atau menghamba. Maka, sila ke-1 Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba kepada Tuhan. Dalam
peradaban kerajaan, raja diverifikasi, dikualifikasi, kemudian dipercaya
sebagai representasi dari Tuhan. Maka, kawula, rakyat, menghamba kepada raja
sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.
Bangsa
Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses
identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan
melalui raja atau presiden siapa, bisa keliru, itu persoalan lain. Dan, ini
bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi, jelas
ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut
formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani bangsa Indonesia.
Kita
membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali cara
pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang,
bahkan kearifan pandangterhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware
ataupun software-nya. Bineka harus kita tunggal-ika-kan, bukan memelihara dan
memperuncing permusuhan di antara bineka.
Untuk
jangka pendek, secara pribadi, saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat
sehari-hari. Bahwa, kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak
kau perlakukan sebagai subyek utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih
bisa menunda bencana. Tapi, kalau NKRI bukan konsiderasi primer
langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana.
Engkau
bisa mudah menguasai pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga,
menaklukkan ormas-ormas. Tapi, pemerintah berbeda dengan bangsa Indonesia,
bangsa Indonesia berbeda dengan rakyat Indonesia, rakyat Indonesia berbeda
dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. NU berbeda dengan nahdliyin,
Muhammadiyah berbeda dengan muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan
umat Islam, dan umat Islam berbeda dengan Islam.
Ada
yang bisa kau kalahkan, kau taklukkan, kau rampok, kau tindas, dan
perhinakan. Tapi, ada yang tidak. Yang tidak bisa kau taklukkan itu adalah
dimensi dan energi yang juga ada di semesta dan tanah yang disebut Indonesia.
Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang besok pagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar