Menyegarkan
Kembali Gagasan Konvensi
Akbar Tandjung ; Ketua Umum DPP Partai Golkar (1998-2004)
|
KOMPAS, 19 Januari
2017
Pemberitaan
Kompas (14/1), ”Perekrutan Calon Jadi Penentu”, menggarisbawahi perkembangan
pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu terkait pentingnya konvensi
sebagai metode penjaringan calon presiden dan wakil presiden di internal
masing-masing partai politik peserta pemilu.
Sebagai
perbandingan, Kompas juga mengetengahkan ulasan tentang pemilihan pendahuluan
atau primary dalam tradisi pemilihan Presiden AS. Pemberitaan Kompas (16/1),
”Konvensi Diusulkan”, kembali mengetengahkan perkembangan menguatnya gagasan
penerapan metode konvensi dalam pembahasan RUU itu oleh beberapa fraksi.
Secara
umum dapat dicatat bahwa dalam metode konvensi, proses menghadirkan capres
dan cawapres dilakukan secara bottom up atau dari bawah ke atas dengan
melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder)
partai yang bersangkutan.
Konvensi
juga dilakukan dengan mengedepankan prinsip transparansi dan keterbukaan di
mana partai membuka kesempatan bagi segenap tokoh bangsa ikut berkiprah di
dalamnya. Dengan demikian, metode konvensi menegaskan penguatan kelembagaan
partai sebagai basis perekrutan kepemimpinan nasional. Konvensi juga menegaskan
bahwa partai bukan entitas yang eksklusif, melainkan inklusif dalam fungsi
perekrutan politiknya. Melalui konvensi, partai memberi kesempatan kepada
para tokoh terbaik bangsa berkompetisi sebagai kandidat presiden.
Jadi,
konvensi dilakukan bukan sekadar demi kebaikan partai bersangkutan dalam
memperkuat kelembagaannya, melainkan juga memberikan ruang bagi kehadiran
kandidat pemimpin nasional yang berkualitas melalui suatu proses politik yang
transparan, partisipatif, dan demokratis. Karena itu, mengemukanya gagasan
konvensi dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu saat ini
seyogianya disambut positif.
Konvensi Partai Golkar
Gagasan
tentang konvensi tentu saja mengingatkan kita pada pengalaman Partai Golkar.
Dalam sejarah politik Indonesia, metode konvensi pertama kali dilakukan
Partai Golkar saat saya memimpin partai ini (1998-2004). Terlepas dari
berbagai kekurangan, Partai Golkar telah memelopori mekanisme perekrutan
kandidat presiden secara terbuka melalui konvensi. Konvensi tersebut telah
memperoleh banyak apresiasi dari ilmuwan politik yang memandangnya sebagai
inovasi atau terobosan politik yang konstruktif.
Penyelenggaraan
konvensi Partai Golkar tak lepas dari pertimbangan-pertimbangan di atas.
Wacana mengenai konvensi memang mengemuka di internal Partai Golkar saat itu.
Sebagai ketua umum, saya sangat mengapresiasi gagasan konvensi yang diperkuat
pengalaman konvensi di AS. Golkar bertekad hendak mengambil kepeloporan dalam
menghadirkan kandidat presiden yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan
demokratis.
Konvensi
Partai Golkar telah mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai ini. Hal
ini dibuktikan Partai Golkar sebagai pemenang utama Pemilu 2004 dengan
dukungan 24.480.757 suara atau 129 dari 550 kursi di DPR.
Konvensi
diikuti oleh puluhan tokoh, termasuk cendekiawan Nurcholish Madjid yang
karena alasan tertentu mengundurkan diri. Konvensi diselenggarakan melalui
dua putaran pemilihan. Pada putaran pertama terseleksi nama-nama Akbar
Tandjung, Wiranto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya
Paloh, dan Sultan Hamengku Buwono X. Pada putaran kedua, tinggal Akbar
Tandjung dan Wiranto, di mana konvensi akhirnya dimenangi Wiranto.
Terkait
realitas tersebut, sejarah kepemimpinan politik Indonesia pun mencatat bahwa
para alumni konvensi kemudian mampu berkiprah menjadi elite-elite politik
utama di Indonesia dewasa ini. Wiranto yang pernah menjadi capres dari Partai
Golkar hasil konvensi mendirikan Partai Hanura dan kini menjabat Menko
Polhukam.
Prabowo
Subianto, yang mendirikan Partai Gerindra, juga pernah menjadi capres. Jusuf
Kalla juga pernah menjadi capres, saat ini menjadi wakil presiden. Aburizal
Bakrie pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Surya Paloh mendirikan Partai
Nasdem. Ini menunjukkan bahwa konvensi Partai Golkar, bagaimanapun, telah
menjadi candradimuka kepemimpinan nasional.
Konsekuensi
Sayangnya,
dalam perkembangannya metode konvensi ditiadakan. Sebagai penggagas dan pihak
yang pernah menyelenggarakan dan terlibat sebagai peserta konvensi, saya
sangat menyayangkan tak dilanjutkannya tradisi ini. Kalaupun ada kekurangan
dan keterbatasan, mestinya konvensi tetap dipertahankan dengan membenahi
sistem dan format penyelenggaraannya.
Apabila
gagasan konvensi diakomodasi dan diterima, dalam arti menjadi salah satu
ketentuan dalam UU Penyelenggaraan Pemilu, konsekuensinya semua partai
peserta pemilu wajib melakukan.Format penyelenggaraannya bisa bervariasi,
tetapi intinya tetap menjamin implementasi prinsip-prinsip keterbukaan,
transparansi, dan demokrasi sehingga bermuara pada kandidat presiden yang
berkualitas. Hal itu mencerminkan bagaimana proses demokrasi internal partai
politik berkembang, selaras dengan spirit demokrasi yang dijamin konstitusi
dan perundang-undangan.
Karena
itu gagasan konvensi perlu terus disegarkan dan didorong. Perlu ditumbuhkan
keyakinan bahwa konvensi metode paling tepat untuk menghadirkan calon
pemimpin nasional yang berintegritas dan kompeten. Apabila terdapat kritik
bahwa metode konvensi membuka peluang bagi suburnya praktik
pragmatisme-transaksional, hal tersebut perlu dijawab dengan penguatan sistem
yang menjamin implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Di
sisi lain, konvensi yang berjalan dalam prosesnya yang demokratis diharapkan
turut memperkuat budaya demokrasi di internal partai. Dalam paradigma modern,
parpol sebagai pilar penyangga kehidupan demokrasi sudah seharusnya
memberikan contoh nyata melalui implementasi berbagai aspek pendidikan
politik. Konvensi, tentu saja merupakan bagian integral dari proses
pendidikan politik, tidak saja kepada kader internal partai bersangkutan,
tetapi juga kepada masyarakat.
Parpol
yang sehat senantiasa berorientasi pada penguatan kelembagaan, bukan
semata-mata sebatas bertumpu pada sosok sentral elitenya. Melalui metode
konvensi, parpol berpeluang memperkuat tradisi demokrasi yang berorientasi
kualitas, inklusif, dan partisipatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar