Hoax
dan Harmonisasi Sosial
Suwaib Amiruddin ;
Dosen Sosiologi FISIP Untirta
|
KORAN SINDO, 18 Januari
2017
Fenomena
hoax menjadi perbincangan di Indonesia saat ini, terutama di kalangan
pencinta media sosial. Kehadiran media sosial sebagai wadah berbincang dan
bertukar informasi antara satu dengan yang lain tentu memberikan dampak yang
sangat positif.
Sayangnya,
media sosial juga menjadi arena bagi penyampaian opini, ujaran penuh
kebencian (hate speech), dan berita-berita palsu (hoax). Bagaimanapun,
penggunaan media sosial sebagai media informasi tentu perlu tetap
memperhatikan tata nilai dalam berkomunikasi.
Memang
media sosial sebagai alat atau wadah untuk menyampaikan ide dan gagasan,
namun tetap ada batas dan rambu-rambu. Memang penggunaan media sosial untuk
menyerang seseorang sangat mudah karena hanya memiliki modal melempar isu,
kemudianisuitudikembangkan dan selanjutnya diangkat ke masyarakat.
Setelah
diangkat, laludikomentarisecara bersamasama dan semakin banyak jumlahnya yang
mengomentari, seolah- olah sudah menjadi pembenaran bahwa berita tersebut
sudah benar adanya.
Multitafsir Kebebasan
Berpendapat
Publikasi
berbagai pernyataan di media sosial merupakan cerminan bahwa era keterbukaan
informasi dan kebebasan berpendapat saat ini dimanfaatkan sebagian kalangan
masyarakat untuk berekspresi berdasarkan keinginan mereka masing-masing.
Karena
merasa bahwa keterbukaan itu sudah diberikan sepenuhnya, apa saja boleh
diketahui dan boleh dibuka ke publik. Padahal, terminologi keterbukaan dalam
alam demokrasi kita adalah keterbukaan berdasarkan tata regulasi yang ada.
Boleh terbuka, tapi tidak membuka aib, apalagi menjelek-jelekkan.
Bukankah
masyarakat yang santun tetap memiliki tata nilai dan norma-norma sosial yang
mengikat? Kebebasan menyampaikan gagasan dan ide-ide sebenarnya diperbolehkan
sepanjang tidak mengganggu pribadi seseorang atau menyinggung
kelompokkelompok sosial lain.
Bukankah
negara kita menjamin warga negaranyauntukberekspresiuntuk menyampaikan
pendapatnya, namun bukan untuk menyinggung orang lain. Negara kita negara
yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi.
Sebagai negara Pancasila, sila keempat menegaskanbahwawarganegara diberi hak
berdemokrasi, yang salah satunya menyampaikan hak suara dan berpendapat.
Banyaknya
bermunculan akun-akun di media sosial yang dianggap tidak bertanggung jawab
membuat serangan-serangan dengan kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan
seseorang semakin berkembang. Sejauh itukah perilaku yang terjadi pada
masyarakat pengguna media sosial, yang pada akhirnya menghasilkan permusuhan,
pertengkaran, bahkan mengusik ketenangan individu seseorang sebagai warga
negara yang harusnya saling menghargai hak hidup yang aman dan tenteram?
Bila
seorang individu terusik dan sudah dianggap tren di media sosial, isu itu
lalu digiring sedemikian rupa untuk menjatuhkan seseorang tersebut dari apa
yang dia lakukan berdasarkan kompetensi dan hak-haknya untuk mengembangkan
diri dan profesinya. Lebih urgen lagi, media sosial seakan-akan menjadi
pembenaran dalam dunia nyata.
Karena
sudah menjadi kesepakatan di dunia media sosial, hasil perdebatan di media
sosial (dunia maya) itu diantarkan ke dunia nyata (kenyataan) dan seakanakan
sudah dianggap sebagai bagian dari kebenaran hakiki. Setelah diantarkan ke
dunia nyata dan dianggap bagian dari kesepakatan, muncullah kelompokkelompok
pembela atas berbagai tuduhan yang sudah didiskusikan dalam dunia media
sosial.
Setelah
munculnya isu hasil diskusi dari media sosial itulah kemudian semakin
diperuncing lagi oleh kelompok-kelompok pembela atas tuduhan kebenaran atau
tidak benarnya sebuah isu yang sedang diperbincangkan. Tata nilai dan
norma-norma sosial yang mengikat kita sebagai manusia sebenarnya bukan hanya
saat interaksi bertatap muka secara langsung.
Dalam
dunia media sosial (dunia maya) pun seharusnya setiap individu perlu
memperhatikan normanorma sosial itu dalam menyampaikan pesan dan
gagasan–antara lain tidak berisi tentang ancaman dan kekerasan. Komunitas
pengguna media sosial harusnya memperhatikan aturan- aturan tidak tertulis
pula, di antaranya ada prinsip saling menghargai, saling memanusiakan
manusia, menjaga aib seseorang, serta tidak menyinggung hak-hak orang lain.
Kebebasan
memang suatu sisi dalam berdemokrasi, namun bukan berarti bahwa kita bebas
menyebarkan berita dan informasi yang belum tentu ada fakta dan data
pendukungnya. Dunia media sosial, memang membenarkan kebebasan berekspresi
menyampaikan pendapat, namun sebelum disebarkan harus terlebih dulu didukung
oleh data dan fakta-fakta. Mengapa penting data dan fakta-fakta pendukung?
Agar informasi yang disampaikan dapat mendidik dan memberikan pencerahan bagi
masyarakat yang membacanya.
Dunia Maya vs Dunia Nyata
Fenomena
pertarungan opini di media sosial sangat memengaruhi kehidupan sosial di
dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia yang penuh dengan realitas, kasatmata,
terbukti secara fakta, dan diperkuat oleh data. Adapun dunia maya yaitu dunia
yang tidak dapat diraba dan tidak dapat bertemu secara langsung dan bertatap
mata dengan lawan interaksi sosial.
Dunia
maya selama ini hanya lebih banyak mengandalkan pencarian identitas seseorang
yang melakukan posting, sehingga untuk menemukan orang yang menyebar berita
macam itu siapa pun kesulitan. Kini ada inisiatif pemerintah untuk memberikan
pembatasan penggunaan media sosial.
Pemerintah
sudah memasang portal akses ke media sosial tertentu dan menghapus berbagai
konten media sosial yang dianggap mengampanyekan unsur-unsur keresahan
sosial. Lebih mutakhir pemerintah mengharapkan agar pembuatan konten media
sosial dilengkapi identitas pemiliknya. Pembatasan penggunaan media sosial
dan kelengkapan identitas pemilik akunnya merupakan langkah maju bagi
pemerintah untuk mengantisipasipemakaian media sosial yang tidak bertanggung
jawab. Keberadaan media sosial memang sangat bermanfaat bagi masyarakat,
namun perlu ada penyaringan agar masyarakat tidak terjebak oleh berita-berita
yang merugikan.
Harmonisasi
Kebenaran
dalam dunia maya, menurut asumsi dasar saya, sebenarnya bukan dilihat pada
ketajaman analisis sebuah kalimat demi kalimat, namun lebih pada berapa yang
suka pada konten tersebut. Persoalan, apakah konten yang sudah disukai oleh
banyak orang itu sudah valid dan benar bila dilihat dari berbagai aspek lain?
Sebagai
solusi, desakan pemerintah agar pendaftar mencantumkan identitas yang
sebenarnya demi memperoleh akun di media sosial tertentu sepantasnya
diapresiasi. Hal itu dilakukan agar kita bertanggung jawab atas apa yang kita
sampaikan.
Keinginan
pemerintah agar pemilik akun di media sosial mencantumkan identitas yang
sebenarnya merupakan salah satu cara untuk menciptakan harmonisasi di tengah
hiruk- pikuk penyebaran berita hoax. Saya berpendapat, memperlihatkan
identitas di dunia maya berarti turut dalam upaya menciptakan harmonisasi.
Saling mengenal identitas yang sebenarnya di dunia maya akan bermuara pada
sikap lebih akrab dan berimplikasi baik di dunia nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar