Kejahatan
Digital
Todung Mulya Lubis ; Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin)
|
KOMPAS, 17 Januari
2017
Digitalisasi
adalah keseharian yang semakin menguasai kehidupan manusia di mana-mana.
Meski belum semua orang punya akses terhadap kehidupan digital, bisa
dikatakan ini hanya soal waktu.
Mayoritas
orang di dunia ini sudah tak bisa menghindar dari digitalisasi. Kita sekarang
hidup dalam demokrasi digital, belajar digital, ekonomi digital, dan
sebagainya yang datang dalam berbagai istilah, seperti e-commerce, e-banking,
e-learning, e-democracy, dan e-governance. Anak-cucu kita sudah mulai
tenggelam dalam berbagai gadget yang membuat mereka tidak sama dengan kita.
Mereka lebih sadar dan mengerti mengenai kehidupan digital di masa depan.
Digitalisasi
adalah ruang publik yang menjadi tempat buat kebebasan berpendapat, kebebasan
bergerak, dan kebebasan bertindak. Di sana ada ”pasar ide” yang berkompetisi
satu sama lain, di sana ada kontestasi ideologi, di sana ada penularan ilmu
pengetahuan dan budaya, di sana ada transaksi serba cepat, dan di sana ada
kebencian serta kejahatan.
Urgensi regulasi
Kita
mengenal apa yang disebut hate speech
dan hate crimes. Kita mengenal cyber harassment dan cyberstalking. Kita tak bisa
menghindar karena memang digitalisasi itu menghadirkan ruang publik yang
memang tak menghendaki regulasi karena setiap regulasi akan mengancam
kebebasan berpendapat, berkreasi, dan berdemokrasi.
Namun,
apakah regulasi memang tak dibutuhkan sama sekali? Kalaupun dibutuhkan,
sejauh mana regulasi itu dibuat?
Pertanyaan
inilah yang mesti dijawab karena memang kita tengah dihadapkan pada banyak
sekali berita, video, ceramah, gambar, meme, dan cuitan yang diunggah di
media sosial, praktis tanpa sensor. Lebih jelek lagi banyak yang diunggah
sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga sekarang dikenal pula istilah hoax.
Gubernur
DKI (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengeluhkan editan terhadap
video pidatonya di Kepulauan Seribu. Pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) baru saja memblokir 11 situs yang
ditengarai menyebarkan radikalisme. Menko Polhukam Wiranto mengatakan bahwa
ekonomi dan perbankan kita terancam kejahatan siber. Di Amerika Serikat,
pemilihan presiden dinodai oleh berita-berita palsu dan hacking oleh pihak
Rusia.
Beberapa
protes terhadap banyaknya ujaran kebencian, fitnah, dan manipulasi berita di
media sosial memang memprihatinkan, juga mengancam kohesi dan fabrik sosial
kita sebagai bangsa. Ketika ada ceramah yang mengobarkan sentimen rasialis
dan sektarianis, maka pada saat itu kita goyah. Celakanya, ujaran kebencian
itu diunggah berulang-ulang di berbagai media sosial, seperti Facebook,
Twitter, Whatsapp, dan Youtube. Tiba-tiba kita tak lagi melihat Indonesia
yang dulu kita kenal, tiba-tiba kita melihat Indonesia yang sesak napas
karena kebencian, kemarahan, kecemasan, dan ketakutan. Ke mana Indonesia
melangkah?
Kita
bukannya tak memiliki peraturan perundangan untuk menangani semua kasus
ujaran kebencian, fitnah, dan pencemaran digital tersebut. Pasal 310-321
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bisa dijadikan dasar untuk mengejar
mereka yang menyebarkan ujaran kebencian, fitnah, dan pencemaran.
Lalu,
ada juga Pasal 27-28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terhadap
Basuki dikenakan Pasal 156a KUHP (walau saya tak setuju karena keberadaan
pasal ini sudah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi). Yang
mau dikatakan di sini adalah sebetulnya ada basis peraturan perundangan untuk
menangkal ujaran kebencian, fitnah, dan pencemaran yang termasuk pada apa
yang disebut sebagai hate crimes atau kejahatan digital.
Implementasi
dari peraturan perundangan itu terlihat tidak efektif. Aparat penegak hukum
menghendaki basis hukum yang lebih kuat dan rinci mengenai kewenangannya
untuk menindak situs, akun, termasuk akun anonim, percakapan digital, dan
sebagainya. Hal ini terlihat dari kegamangan aparat penegak hukum bertindak
tegas terhadap berbagai situs, pemilik akun, dan mereka yang mengunggah ulang
berita, ceramah, video di Youtube, meme, dan gambar yang bernada ujaran
kebencian, permusuhan rasial, sektarianisme, radikalisme, dan SARA.
Aparat
penegak hukum tak mau dipersalahkan melanggar HAM serta diminta bertanggung
jawab di muka pengadilan dan kehilangan kesempatan untuk promosi jabatan.
Karena itu, ada kesan pembiaran (omission).
Dapat dimengerti kalau aparat penegak hukum dihadapkan pada dilema karena
secara akademik dan juga kalau ditilik dari kacamata demokrasi, ”kebebasan
berpendapat” itu sesuatu yang conditio
sine qua non. Tidak perlu ada regulasi. Regulasi akan membuahkan chilling effects.
Merusak sendi bernegara
Prasyarat
demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Karena itu pula hakim Louis Brandeis
mengatakan, ”The freedom to think as
you will and to speak as you think are means indispensable to the discovery
and spread of political truth, that, without free speech and assembly,
discussion would be futile” (kebebasan untuk berpikir seperti yang Anda
inginkan dan berbicara seperti yang Anda pikirkan adalah sarana yang sangat
diperlukan untuk menemukan dan menyebarkan kebenaran politik, di mana tanpa
kebebasan berbicara dan berserikat, diskusi akan sia-sia).
Lanjutnya,
adalah warga negara, bukan pemerintah, yang mesti menentukan subyek yang
perlu diperdebatkan. John Stuart Mill dalam bukunya, On Liberty, mengatakan bahwa proteksi paling tangguh terhadap
kebencian dan kecurigaan adalah debat terbuka dan kontra-argumen. Dalam alam
berpikir seperti inilah aparat penegak hukum bekerja. Mereka tak berani
menginterupsi kebebasan berpendapat, tetapi mereka tahu bahwa kebebasan
berpendapat sekarang ini berpotensi merusak sendi-sendi bernegara,
kemajemukan bangsa, dan harmoni sosial yang selama ini kita banggakan.
Idealnya
kebebasan berpendapat dalam kehidupan digital, dalam media sosial, diatur
oleh masyarakat digital itu sendiri. Merekalah yang harus membentuk self-governance, bukan melalui
regulasi yang dibuat oleh negara. Pertanyaannya: apakah masyarakat digital
kita peduli dengan self-governance
dan siapa yang akan merumuskannya?
Sementara
itu, ujaran kebencian, fitnah, rasialisme, SARA, dan sebagainya menggerus
kemajemukan kita, melemahkan fabrik sosial kita. Negara ini berada dalam
ambang bahaya kalau tak ada pengawasan dan tindakan terhadap semua kejahatan
digital dalam berbagai bentuknya ini.
Namun,
perlu dibuat batasan yang jelas sejauh mana negara bisa mengintervensi
kehidupan digital, situs, dan media sosial. Pemblokiran, penindakan,
penangkapan, dan proses hukum mesti dilakukan dengan sangat selektif dan
kalau mungkin bersifat sebagai upaya terakhir.
Memang,
menjaga keseimbangan antara hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan
berpendapat dengan keamanan nasional serta kelangsungan kemajemukan bukanlah
pekerjaan mudah. Namun, itu tetap mesti menjadi agenda pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar